Dinamika Karir Lulusan Sarjana Farmasi: Analisis Implikasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023
Dinamika Karir Lulusan Sarjana Farmasi: Analisis Implikasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023
Divisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa
Badan Eksekutf Mahasiswa Fakultas Farmasi UMS
PENDAHULUAN
Perubahan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah menimbulkan pertanyaan kritis mengenai masa depan karir lulusan Sarjana Farmasi di Indonesia. Berbeda dengan peraturan sebelumnya, UU terbaru ini tidak lagi memasukkan Sarjana Farmasi dalam kategori tenaga teknis kefarmasian. Perubahan signifikan ini berdampak pada status profesional dan lingkup praktik para Sarjana Farmasi, terutama bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang profesi apoteker. Implikasi dari perubahan ini meluas hingga ke aspek regulasi praktik, di mana Surat Tanda Registrasi (STR) menjadi syarat wajib bagi tenaga medis dan kesehatan untuk melakukan praktik. Namun, dengan tidak termasuknya Sarjana Farmasi dalam definisi tenaga kesehatan menurut UU baru, timbul ketidakpastian mengenai kemampuan mereka untuk memperoleh STR dan melaksanakan peran tradisional mereka dalam konseling obat-obatan. Situasi ini memunculkan dilema bagi komunitas farmasi, khususnya mahasiswa dan lulusan program Sarjana Farmasi, yang kini menghadapi tantangan dalam menentukan jalur karir mereka di sektor kesehatan. Kajian ini akan mengeksplorasi implikasi dari perubahan regulasi tersebut dan potensi solusi untuk mengatasi kesenjangan yang muncul dalam sistem pendidikan dan praktik kefarmasian di Indonesia.
PEMBAHASAN
Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) didefinisikan sebagai tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, termasuk di dalamnya Sarjana Farmasi. Mereka memiliki hak untuk praktik dan/atau bekerja dalam bidang kefarmasian. Namun, UU No. 17 Tahun 2023 membawa perubahan signifikan. Pasal 199 ayat 5 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian terdiri atas "tenaga vokasi farmasi, apoteker, dan apoteker spesialis." Perubahan ini mengakibatkan Sarjana Farmasi tidak lagi termasuk dalam kategori tenaga kefarmasian yang dapat melakukan praktik mandiri. Perubahan ini memiliki beberapa implikasi penting. Batasan Praktik : Sarjana Farmasi kini hanya bisa bekerja, namun tidak bisa melakukan praktik kefarmasian mandiri. Kebutuhan STR: Untuk melakukan praktik kefarmasian, seseorang harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang hanya diberikan kepada tenaga kefarmasian yang diakui. Transisi: Perubahan signifikan telah terjadi dalam regulasi praktik kefarmasian di Indonesia, Peraturan ini membawa implikasi penting bagi para lulusan Sarjana Farmasi. Mereka yang telah lulus dan bekerja di sektor pelayanan kesehatan sebelum diberlakukannya UU baru ini masih diizinkan untuk melanjutkan praktik kefarmasian tanpa perlu memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Secara spesifik, hal ini berlaku untuk lulusan Sarjana Farmasi angkatan 2019 dan sebelumnya. Namun, bagi mahasiswa farmasi yang lulus setelah angkatan tersebut, yaitu angkatan 2020 dan seterusnya, kini diwajibkan untuk menyelesaikan program profesi apoteker sebelum dapat melakukan praktik kefarmasian. Perubahan ini menandai sebuah tonggak penting dalam upaya meningkatkan standar profesionalisme di bidang farmasi di Indonesia.
Perubahan regulasi terkait status Sarjana Farmasi dalam praktik kefarmasian memiliki dampak multidimensi yang perlu dikaji secara komprehensif. Dari perspektif pengembangan pendidikan, ketimpangan antara jumlah Program Studi Sarjana Farmasi (PSSF) dan Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) berpotensi menjadi katalis positif. Kajian Strategis: Dinamika Tenaga Kefarmasian di Indonesia. Dalam upaya mewujudkan layanan kesehatan yang efektif, World Health Organization (WHO) merekomendasikan rasio ideal 5 apoteker per 10.000 penduduk. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga apoteker. Data terkini dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pada tahun 2022 mencatat sekitar 90.000 apoteker aktif di Indonesia. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan populasi Indonesia mencapai 277,5 juta jiwa pada tahun 2023. Berdasarkan standar WHO, Indonesia seharusnya memiliki sekitar 138.750 apoteker untuk memenuhi kebutuhan layanan farmasi yang optimal. Kesenjangan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kualitas dan aksesibilitas layanan kefarmasian di tingkat nasional.
Analisis lebih lanjut mengungkapkan ketidakseimbangan dalam sistem pendidikan kefarmasian. Menurut Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) tahun 2022, terdapat 314 Program Studi Sarjana Farmasi (PSSF) dibandingkan dengan hanya 55 Program Studi Profesi Apoteker (PSPA). Disparitas ini berpotensi menciptakan bottleneck dalam produksi tenaga apoteker yang berkualifikasi. Situasi ini diperparah dengan perubahan regulasi terbaru yang mengeluarkan Sarjana Farmasi dari kategori Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Implikasi dari kebijakan ini meliputi, Penyempitan prospek karir bagi lulusan S1 Farmasi, Potensi perlambatan pertumbuhan jumlah TTK di Indonesia, dan Risiko terhadap kualitas dan cakupan layanan kefarmasian nasional. Menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Beberapa rekomendasi meliputi: Evaluasi dan penyesuaian kurikulum pendidikan farmasi untuk memastikan relevansi dengan kebutuhan industri dan layanan kesehatan, Peningkatan kapasitas dan jumlah PSPA untuk menjembatani kesenjangan antara lulusan S1 Farmasi dan kebutuhan apoteker, Pengembangan kebijakan yang mendukung peran dan kontribusi Sarjana Farmasi dalam sistem kesehatan, meskipun tidak termasuk dalam kategori TTK, dan Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor swasta untuk menciptakan jalur karir alternatif bagi lulusan farmasi.
Institusi pendidikan tinggi mungkin akan terdorong untuk membuka lebih banyak PSPA, yang pada gilirannya dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan profesi apoteker. Hal ini tidak hanya berpotensi mengatasi kesenjangan yang ada, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas tenaga kefarmasian secara keseluruhan melalui standarisasi pendidikan yang lebih tinggi. Namun, dari sudut pandang ketenagakerjaan, perubahan ini menimbulkan kekhawatiran. Pembatasan lingkup kerja lulusan Sarjana Farmasi berpotensi meningkatkan angka pengangguran di sektor farmasi. Lulusan baru yang belum menyelesaikan program profesi apoteker mungkin akan menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Situasi ini menciptakan tantangan transisi yang signifikan, mengharuskan adanya strategi komprehensif untuk mengelola masa peralihan bagi lulusan Sarjana Farmasi yang belum memiliki kualifikasi apoteker.
Lebih lanjut, dalam konteks pemenuhan kebutuhan tenaga kefarmasian, perubahan regulasi ini dapat memperlambat proses pencapaian jumlah ideal apoteker di Indonesia. Dengan jumlah PSPA yang terbatas, produksi apoteker baru mungkin tidak akan dapat mengimbangi kebutuhan yang ada. Hal ini juga memunculkan tantangan distribusi, di mana diperlukan strategi khusus untuk memastikan penyebaran apoteker yang merata, terutama di daerah-daerah yang mengalami kekurangan tenaga kefarmasian. Di sisi lain, dari perspektif kualitas pelayanan, perubahan ini membawa potensi peningkatan yang signifikan. Standarisasi kompetensi melalui pendidikan profesi apoteker dapat memastikan bahwa semua praktisi kefarmasian memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang seragam dan terstandar. Hal ini berpotensi meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian secara keseluruhan, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada keselamatan dan kesejahteraan pasien.
PENUTUP
Dengan demikian, analisis dampak ini menunjukkan bahwa perubahan regulasi tersebut membawa baik peluang maupun tantangan. Diperlukan pendekatan yang seimbang dan strategis untuk memaksimalkan manfaat potensial sambil meminimalkan risiko dan dampak negatif yang mungkin timbul. Kolaborasi antara pemangku kepentingan di sektor pendidikan, industri, dan regulasi akan menjadi kunci dalam mengelola transisi ini secara efektif dan memastikan bahwa perubahan tersebut berkontribusi positif terhadap perkembangan sektor kefarmasian di Indonesia. Perubahan regulasi mengenai status Sarjana Farmasi dalam praktik kefarmasian membawa baik peluang maupun tantangan. Untuk mengoptimalkan dampak positif dan memitigasi dampak negatif, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan: Peningkatan Kapasitas PSPA, Mendorong dan memfasilitasi pembukaan Program Studi Profesi Apoteker di lebih banyak institusi pendidikan; Program Transisi : Merancang program transisi untuk Sarjana Farmasi yang sudah bekerja namun belum memiliki kualifikasi apoteker. Diversifikasi Peran: Mengembangkan peran-peran baru dalam industri farmasi dan kesehatan yang dapat diisi oleh Sarjana Farmasi tanpa memerlukan STR praktik. Evaluasi Berkala : Melakukan evaluasi berkala terhadap dampak perubahan regulasi ini terhadap ketersediaan tenaga kefarmasian dan kualitas pelayanan kesehatan. Kolaborasi Lintas Sektor : Membangun kerjasama antara sektor pendidikan, industri, dan regulator untuk memastikan keselarasan antara kebutuhan tenaga kerja dan output pendidikan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan adaptif, perubahan regulasi ini dapat menjadi katalis untuk peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di Indonesia, sambil tetap memperhatikan aspek ketenagakerjaan dan pemerataan akses terhadap layanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
BEM FF UMS. 2023. Kemanakah Masa Depan Para Lulusan S1 Farmasi?. https://www.bemffums.com/2023/12/kemanakah-masa-depan-para-lulusan.html. Diakses pada 30 September 2024.
UMSB. 2023. Kuliah Tamu Farmasi: Peran Tenaga Kefarmasian Pasca Undang-Undang Tenaga Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. https://umsb.ac.id/berita/index/1301-kuliah-tamu-farmasi-peran-tenaga-kefarmasian-pasca-undang-undang-tenaga-kesehatan-nomor-17-tahun-2023 . Diakses pada 30 September 2024.
Liputan Farmasi. 2023. Sosialisasi Registrasi Tenaga Kefarmasian Pasca UU No. 17 Tahun 2023. https://liputanfarmasi.com/sosialisasi-registrasi-tenaga-kefarmasian-pasca-uu-no-17-tahun-2023 . Diakses pada 30 September 2024.
UMM. 2023. Perubahan Aspek Kefarmasian dalam Pengesahan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan: Akankah Menguntungkan?. https://www.umm.ac.id/id/arsip-koran/memox/perubahan-aspek-kefarmasian-dalam-pengesahan-uu-no-17-tahun-2023-tentang-kesehatan-akankah-menguntungkan.html . Diakses pada 30 September 2024.
FH UNILA. 2023. Penyelesaian Sengketa Medis Pasca Berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. https://fh.unila.ac.id/penyelesaian-sengketa-medis-pasca-berlakunya-uu-nomor-17-tahun-2023-tentang-kesehatan/. Diakses pada 30 September 2024.
Perkumpulan Tenaga Kefarmasian Indonesia. 2023. Dampak UU No. 17 Tahun 2023 Terhadap Sarjana Farmasi. https://www.linkedin.com/posts/perkumpulan-tenaga-kefarmasian-indonesia-51301a12a_dampak-uu-no-17-tahun-2023-terhadap-sarjana-activity-7100893624774623232-bEZN . Diakses pada 30 September 2024.
Rista Awalia. 2024. Implikasi S1 Farmasi Bukan Lagi Tenaga Teknis Kefarmasian. https://majalah.stfi.ac.id/implikasi-s1-farmasi-bukan-lagi-tenaga-teknis-kefarmasian/ . diakses pada 30 September 2024.
Watuseke, Rommy David. 2023. Mengungkap Ancaman Terhadap Ribuan Lulusan Sarjana Farmasi yang Bekerja: Nakes Menjadi Gelandangan?. https://www.kompasiana.com/rommydavidwatuseke5849/64e1b29b08a8b526d027d642/mengungkap-ancaman-terhadap-ribuan-lulusan-sarjana-farmasi-yang-bekerja-nakes-menjadi-gelandangan?page=all&page_images=1 . Diakses pada 30 September 2024.