BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH
Fenomena
pelecehan seksual di lingkungan kampus menggambarkan situasi yang
memprihatinkan dan membutuhkan perhatian serius. Laporan terkini mengungkapkan
munculnya kembali kasus-kasus pelecehan seksual di institusi pendidikan tinggi,
sebuah masalah yang sebelumnya telah menjadi perhatian publik. Data statistik
menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, dengan 2.681 kasus teridentifikasi
terjadi di lingkungan kampus. Fakta ini menjadi ironis mengingat universitas
seharusnya menjadi tempat berkumpulnya individu-individu terpelajar dan
berintegritas tinggi. Lebih mengejutkan lagi, informasi terbaru mengindikasikan
adanya insiden kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus tempat kita
berada. Situasi ini dipandang sebagai masalah krusial yang memerlukan
penanganan segera dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Analisis lebih lanjut
mengungkapkan bahwa kerentanan perempuan sering kali menjadi sasaran empuk bagi
oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang berlindung di balik sistem pendidikan.
Yang lebih memprihatinkan, dalam beberapa kasus, pelaku justru berasal dari
kalangan pendidik sendiri, yaitu dosen yang seharusnya berperan sebagai figur
panutan dan pelindung bagi mahasiswa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan
serius tentang efektivitas sistem perlindungan di lingkungan akademis dan
urgensi untuk melakukan evaluasi serta perbaikan menyeluruh guna menciptakan
lingkungan belajar yang aman dan kondusif bagi seluruh civitas akademika.
Dalam
arti sebenarnya, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan,
penghinaan, pelecehan, atau serangan terhadap tubuh atau fungsi reproduksi
seseorang yang diakibatkan oleh kesenjangan kekuasaan atau hubungan gender
Masalah kejiwaan dan/atau kejiwaan menimbulkan atau dapat menimbulkan masalah
atau penderitaan fisik, termasuk gangguan kesehatan reproduksi seseorang atau
hilangnya kesempatan memperoleh pendidikan yang aman dan optimal. Komnas
Perempuan mencatat bahwa lebih dari 2,5
juta kasus kekerasan berbasis gender telah dilaporkan ke banyak institusi dalam
10 tahun terakhir pada tahun 2023 saja, Komite Catatan Tahunan Nasional
Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat 289.111 kasus kekerasan berbasis gender
karena sebagian besar adalah kekerasan dalam rumah tangga, dan sepertiganya
adalah kekerasan seksual
Komnas perempuan menerima laporan
sebanyak 4,371 kasus kekerasan terhadap perempuan dari masyarakat sepanjang
tahun 2022. Sedangkan pada 10 tahun terakhir total pengaduan sebesar 21,530.
Selain pengaduan, Komnas Perempuan juga mencatat kasus kekerasan melalui Badan
Peradilan Agama (Badilag) sebanyak 326.534 kasus dan lembaga layanan sebanyak
9.619 kasus. Sebagian besar kejadian tersebut terjadi di ruang privat,
selebihnya di ruang publik dan negara. Berdasarkan jenis kekerasan, kekerasan
fisik masih mendominasi pada tahun 2022, disusul kekerasan seksual, psikis, dan
ekonomi.
Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus
kekerasan seksual pada Mei 2022-Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan
yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik
(KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kasus KSBE yang
diterima Komnas Perempuan mencapai 2.776 kasus. Sementara itu, ada 623 kasus
pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan. Berdasarkan CATAHU
(Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan) pada tahun 2023, tercatat
sebanyak 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023. Data
tersebut menunjukkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2022 (55.920 kasus atau sekitar 12%).
CATAHU 2023 juga menemukan bahwa
karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan tren yang sama, yaitu usia
korban lebih muda dan pendidikannya lebih rendah dibandingkan pelaku. Dalam
tiga tahun terakhir, jumlah pelaku sebagai partai politik yang patut menjadi
contoh, pelindung dan simbol kehadiran negara, meningkat sebesar 9%, melebihi
rata-rata Catahu selama 21 tahun sebesar 5%. . Hal ini menegaskan bahwa akar
persoalan KTP terletak pada ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban.
Sumber kekuasaan pelaku semakin kuat
ketika pelaku mempunyai kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, dan
tokoh agama.
BAB II
LINGKUP DAN RAGAM MASALAH
Kasus-kasus
kekerasan seksual ini dapat disebabkan karena beberapa faktor. Setidaknya ada 3
faktor yang menjadi sebab dari kekerasan seksual, yang pertama adalah faktor
individu. Faktor individu merujuk dari diri sendiri, tidak bisa dipungkiri
terkadang seseorang melakukan kekerasan seksual dilakukan karena pelaku pernah
menjadi korban dari kekerasan seksual juga. Dendam dan rasa sakit di masa
lalunya tersebut menjadi api untuk pelaku membalaskan ke orang lain yang tidak
bersalah. Selain itu faktor individu bisa berdasarkan orientasi seksual dari
seseorang itu sendiri, ada seseorang yang hipermaskulinitas dan memiliki
fantasi seksual yang memaksa. Itulah mengapa pendidikan seksualitas penting
untuk diajarkan sedari dini, namun sayangnya hingga kini pendidikan seksualitas
sering kali dianggap tabu oleh banyak orang. Selanjutnya ada faktor hubungan,
hubungan yang dimaksud disini adalah hubungan antar keluarga dan antar teman.
Apalagi melihat pergaulan sekarang yang sangat mengkhawatirkan, tak jarang ada
berita bahwa anak seumuran SMA melakukan kegiatan yang pantasnya dilakukan
orang yang telah menikah. Selain itu bisa berasal dari hubungan keluarga dan
pelaku yang tidak baik, beberapa contohnya adalah terdapat riwayat konflik dan
kekerasan yang terjadi di keluarga, keluarga yang seharusnya menjadi rumah
untuk pulang malah menjadi tempat pertama yang menyakiti pelaku, hubungan
dengan keluarga buruk dan menimbulkan trauma tersendiri. Hal ini dapat memicu
kekerasan seksual. Yang terakhir adalah faktor masyarakat dan lingkungan
kemasyarakat. Lingkungan masyarakat yang abai bahkan mendukung pelecehan
seksual menjadi faktor yang berbahaya. Jika toleransi terhadap kekerasan
seksual dan sanksi masyarakat seperti rasa malu lemah, hal ini akan membuat
pelaku kekerasan tidak menyadari kesalahannya dan merasa aman. Untuk itu perlu
sekali perkuatan hukum terkait pelecehan seksual untuk melindungi korban, jika
sanksi masyarakat tidak lagi ada.
Padahal
jika seseorang menjadi pelaku dari kekerasan seksual akan berisiko untuk
dirinya sendiri untuk kedepannya, salah satunya adalah hukuman penjara. Atau
kalau dalam kasus pelecehan di kehidupan kampus akan dikeluarkan dari
lingkungan kampus tersebut. Namun nyatanya hal itu tidak membuat jera pelaku
kekerasan seksual, pun banyak pihak-pihak yang entah kenapa melindungi
predator-predator ini dan tidak menindak tegas. Hal inilah yang malah membuat
korban menderita. Korban dapat menjadi trauma seperti rendah diri, dan sulit
membangun relasi kembali sehingga perlu pendampingan psikologi. Selain itu
dapat menyebabkan korban memiliki gangguan kecemasan dan depresi. Atau parahnya
dapat membuat seseorang memiliki penyakit PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)
yang menyebabkan mereka menyakiti dirinya sendiri bahkan hingga bunuh diri.
Yang terakhir dapat menyebabkan korban memiliki masalah seksualitas, yang
menyebabkan korban tidak lagi tertarik berhubungan seks dan prahnya bisa
membuat korban tidak lagi mau dengan lawan jenis dan memilih berhubungan dengan
sesama jenis.
Mengulik
Kekerasan Seksual di Lingkungan Akademisi
Universitas Katolik Parahyangan
(Unpar) diguncang skandal yang mengungkap sisi gelap dunia akademis, ketika
Syarif Maulana, seorang Dosen Luar Biasa (DLB) Fakultas Filsafat, terbongkar melakukan
serangkaian kekerasan seksual. Kasus ini menjadi titik balik yang membuka tabir
atas realitas mencekam di balik dinding-dinding kampus yang selama ini dianggap
suci. Pengakuan Syarif Maulana di media sosial pada 10 Mei 2024 membuka kotak
pandora tentang pola predatoris yang sistematis. Mulai dari pesan-pesan tidak
senonoh hingga ajakan eksplisit untuk berhubungan seksual, menunjukkan
bagaimana otoritas akademik dapat disalahgunakan untuk mengeksploitasi
mahasiswa. Ironis bahwa seorang pengajar filsafat, yang seharusnya menjunjung
tinggi etika dan moralitas, justru menjadi predator bagi anak didiknya sendiri.
Satgas PPKS Unpar patut diapresiasi, namun sekaligus memunculkan pertanyaan
mengapa kasus-kasus serupa sebelumnya tidak pernah terungkap. Fenomena
"puncak gunung es" ini mengindikasikan adanya kultur bungkam yang
mengakar, dipicu oleh relasi kuasa yang timpang dan impunitas bagi para pelaku.
Kasus ini menyoroti urgensi reformasi sistemik dalam tata kelola perguruan
tinggi. Diperlukan mekanisme pelaporan yang aman, penegakan sanksi yang tegas,
dan transformasi budaya akademik yang mengedepankan kesetaraan dan rasa hormat.
Lebih dari sekadar menangani satu kasus, ini adalah momen krusial bagi dunia
pendidikan tinggi Indonesia untuk melakukan introspeksi mendalam dan perubahan
radikal.
Hal serupa juga terjadi di Perguruan
Tinggi Negeri di Indonesia, yaitu di
Univeristas Andalas yang mana salah satu dosen Fakultas ilmu Budaya diduga
melakukan pelecehan dan kekersan seksual terhadap delapan mahasiswa. Delapan
mahasiswa tersebut melaporkan aksi bejat pelaku kepada Satgas PPKS Unand dan
bahkan salah satu korban sampai berhenti studi sementara (BSS). Untuk
menyuarakan ketidakadilan yang dirasakan korban, sekitar seratus mahasiswa
Universitas Andalas (Unand), mengusung agenda perlindungan korban dan
penghukuman pelaku pelecehan seksual di lingkungan kampus. Seratus aktivis
mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unand menggelar demonstrasi di
depan Rektorat, menuntut tindakan tegas dan sanksi maksimal bagi pelaku.
Fenomena ini menyoroti urgensi reformasi kebijakan kampus dalam menangani kasus
kekerasan seksual, sekaligus mempertanyakan komitmen institusi pendidikan
tinggi dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan civitas akademik-nya. Tuntutan
pemecatan dan pencabutan gelar akademik terhadap terduga pelaku mencerminkan
keinginan kuat mahasiswa untuk mengakhiri budaya impunitas di lingkungan
akademis. Sementara itu, permintaan penyediaan ruang aman bagi korban
mengindikasikan kesadaran akan pentingnya pendekatan yang berpusat pada korban
dalam penanganan kasus sensitif ini. Yang lebih mengkhawatirkan, dugaan teror
terhadap anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
(Satgas PPKS) menunjukkan potensi eskalasi konflik dan ancaman terhadap mereka
yang berupaya menegakkan keadilan. Situasi ini memunculkan pertanyaan krusial:
sejauh mana institusi pendidikan tinggi mampu melindungi para pembela kebenaran
dari intimidasi dan ancaman? Kasus ini bukan sekadar isu internal kampus,
melainkan cerminan lebih luas tentang tantangan dalam mewujudkan lingkungan
akademis yang aman, adil, dan bebas dari kekerasan seksual di Indonesia.
Universitas Gadjah Mada (UGM),
institusi pendidikan tinggi ternama di Indonesia, terseret dalam pusaran
skandal yang mengungkap sisi gelap dunia akademis. Kasus pelecehan seksual yang
melibatkan Eric Hiariej, seorang dosen senior Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
(Fisipol), menjadi cermin betapa rapuhnya etika dan integritas di lingkungan
yang seharusnya menjadi mercusuar intelektualitas dan moralitas. Terungkapnya
kasus ini pada tahun 2016 membuka kotak pandora tentang penyalahgunaan wewenang
dan eksploitasi relasi kuasa di kampus. Pola perilaku predatoris yang
berlangsung selama bertahun-tahun - mencakup pelecehan verbal, non-verbal,
hingga sentuhan tidak diinginkan - menunjukkan betapa sistematis dan
mengakarnya problem ini. Fakta bahwa korban adalah mahasiswi bimbingannya
sendiri semakin memperlihatkan betapa rentan posisi mahasiswa dalam hierarki
akademik yang tidak seimbang. Reaksi publik yang masif terhadap kasus ini bukan
sekadar refleksi kemarahan sesaat, melainkan manifestasi frustrasi kolektif atas
berlarut-larutnya penanganan kasus serupa di berbagai institusi pendidikan.
Demonstrasi mahasiswa UGM yang menuntut transparansi dan ketegasan sanksi
menjadi katalis yang mempercepat proses reformasi internal kampus.
Namun, diperlukan waktu enam tahun -
periode yang cukup untuk menyelesaikan satu jenjang pendidikan doktoral -
sebelum akhirnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) mengambil tindakan tegas. Pemecatan Eric Hiariej pada 2
Maret 2022, yang tertuang dalam Putusan Mendikbud Nomor
15180/MPK.A.KP.04/03/2022, menjadi tonggak penting dalam penegakan etika
akademik di Indonesia. Alasan pemecatan yang mencakup membangun hubungan
romantis dengan mahasiswi, pelecehan seksual, hingga serangan seksual,
menggarisbawahi kompleksitas dan keparahan kasus ini. Ini bukan sekadar
pelanggaran etika ringan, melainkan serangkaian tindak kejahatan yang
sistematis dan terencana.Kasus ini memunculkan pertanyaan mendasar: Seberapa
dalam akar budaya predatoris ini tertanam dalam sistem pendidikan tinggi kita?
Mengapa diperlukan waktu begitu lama untuk mengambil tindakan tegas? Dan yang
paling krusial, bagaimana kita dapat memastikan bahwa tragedi serupa tidak akan
terulang di masa depan?. Pemecatan Eric Hiariej seharusnya bukan akhir dari
saga ini, melainkan awal dari reformasi menyeluruh dalam tata kelola dan budaya
akademik di Indonesia. Ini adalah momen kritis bagi seluruh institusi
pendidikan tinggi untuk mengevaluasi ulang protokol keamanan, sistem pelaporan,
dan mekanisme penegakan etika mereka. Lebih dari itu, ini adalah panggilan
untuk membangun lingkungan akademik yang benar-benar aman, setara, dan
memberdayakan bagi seluruh civitas academica, terlepas dari gender atau posisi
hierarkis mereka.
Menguak
Tabir Gelap Kampus Tercinta
Kejahatan seksual sudah menjamur di
berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, yang berlatar belakang
agama maupun tidak. Sepanjang tahun 2023 ditemukan lebih dari 65 kasus
kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus di Indonesia. Polemik ini
menjadi momok yang mengerikan di kalangan mahasiswa, dimana perguruan tinggi
yang sepatutnya beriklim intelektualitas dan berada pada lingkungan akademisi
yang sehat dan aman malah menjadi ancaman akan kekhawatiran dalam menjalani
masa perkuliahan. Skandal akademis mengguncang Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) pada 2 Juli 2024, mengungkap sisi gelap relasi dosen-mahasiswa
yang selama ini terselubung. Seorang mahasiswi tingkat akhir menjadi korban
pelecehan seksual oleh dosen pembimbingnya, menguak kerentanan sistem bimbingan
akademik yang kini dipertanyakan integritasnya. Peristiwa ini terjadi dalam
setting yang seharusnya menjadi ruang aman untuk pertumbuhan intelektual, namun
justru berubah menjadi arena eksploitasi kekuasaan dan pelanggaran etika
profesi yang mencoreng wajah pendidikan tinggi. Modus operandi pelaku yang
mengundang mahasiswi untuk bimbingan di rumah pribadinya tanpa kehadiran pihak
ketiga menunjukkan celah besar dalam protokol keamanan dan etika akademis.
Tindakan verbal dan non-verbal yang dilakukan, mulai dari pertanyaan invasif
hingga sentuhan fisik yang tidak diinginkan, merupakan bentuk penyalahgunaan
posisi otoritas yang sistematis dan terencana. Puncaknya, pemaksaan kontak
fisik dalam bentuk pelukan, bukan hanya melanggar batas-batas profesionalisme,
tetapi juga merupakan serangan langsung terhadap otonomi dan martabat
mahasiswa.
Insiden ini membuka diskusi kritis
tentang dinamika kekuasaan dalam lingkungan akademis, urgensi reformasi sistem
pengawasan, dan pentingnya edukasi tentang consent dan batasan profesional
dalam interaksi dosen-mahasiswa. Lebih jauh, kasus ini menyoroti kebutuhan
mendesak akan mekanisme pelaporan yang aman dan efektif, serta perlunya
transformasi budaya kampus yang masih sering menormalisasi atau bahkan
membungkam kasus-kasus pelecehan. Pertanyaannya kini, akankah skandal ini
menjadi katalis perubahan sistemik dalam tata kelola universitas di Indonesia,
atau hanya akan menjadi statistik lain dalam sejarah panjang eksploitasi di
dunia pendidikan tinggi? Bagaimana institusi pendidikan dapat memastikan bahwa
ruang-ruang akademis tetap menjadi tempat yang aman dan memberdayakan, bukan
menjadi arena untuk memanipulasi dan merendahkan martabat mahasiswa?
BAB
III
ALTERNATIF
KEBIJAKAN
Penanganan hukum terhadap kasus
pelecehan seksual di Indonesia mengungkapkan sebuah ironi yang menggelisahkan.
Meskipun fenomena pelecehan seksual marak terjadi, sistem hukum kita seolah
buta terhadap istilah ini. Alih-alih mengakui "pelecehan seksual"
sebagai terminologi hukum, kita masih terpaku pada frasa kuno "perbuatan
cabul" dan "kejahatan terhadap kesusilaan". Komnas Perempuan
telah mengidentifikasi sembilan bentuk kekerasan seksual, mulai dari pelecehan
hingga perbudakan seksual. Namun, apakah kerangka hukum kita mampu
mengakomodasi kompleksitas permasalahan ini? Ataukah kita masih terjebak dalam
labirin terminologi yang usang? KUHP, yang diklaim sebagai "kitab
suci" para penegak hukum, menyembunyikan aturan tentang kekerasan seksual
di balik label "Kejahatan Moral". Sungguh ironis bahwa tindakan yang
merenggut harkat dan martabat seseorang hanya dianggap sebagai pelanggaran
moral semata. Apakah ini cerminan dari cara pandang masyarakat kita yang masih
menganggap pelecehan seksual sebagai aib, bukan kejahatan? Lebih memprihatinkan
lagi, pelaku pelecehan seksual hanya bisa dijerat dengan pasal "pencabulan".
Seolah-olah trauma dan penderitaan korban bisa disederhanakan menjadi sekadar
masalah kesusilaan. Bukankah ini bentuk viktimisasi kedua terhadap para korban?
Meskipun UU No. 1/2023 telah hadir sebagai angin segar, pertanyaannya: apakah
ini cukup? Atau kita masih membutuhkan revolusi hukum yang lebih radikal untuk
benar-benar melindungi hak-hak korban dan memberikan efek jera kepada pelaku?
Sudah saatnya kita mempertanyakan: apakah kerangka hukum kita telah benar-benar
melindungi korban, atau justru secara tidak langsung melindungi pelaku di balik
celah-celah definisi yang kabur? Haruskah kita menunggu lebih banyak korban
berjatuhan sebelum sistem hukum kita benar-benar mengakui dan menangani
pelecehan seksual sebagai kejahatan serius yang merusak sendi-sendi
kemanusiaan?
Pada kasus yang sedang terjadi pada
salah satu mahasiswa di ums terdapat beberapa bentuk kejahatan seksual yang
terjadi. Untuk kejahatan yang pertama yaitu pelaku menanyakan berat badan
korban dan meminta untuk melihat perut korban,
selanjutnya yang dilakukan pelaku adalah mengelus-elus kaki korban dan
memegang lutut korban, untuk yang terakhir pelaku meminta dan memaksa korban
untuk melakukan pelukan, dari kejahatan seksual tersebut, terdapat beberapa
pelanggaran yang tercantum yaitu melanggar UUD No.14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen pada Pasal 60E Bab 5; tindakan ini bertentangan juga dengan
permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 yang melarang segala bentuk ucapan yang
mengandung rayuan, lelucon dan/atau siulan yang bernuansa seksual karena
tindakan tersebut termasuk pelanggaran serius; terlebih lagi tindakan ini
menunjukan ketidakpatuhan terhadap “Surat Keputusan Rektor Universitas
Muhammadiyah Surakarta” pada pasal 2 bab 2 tentang disiplin karyawan di
lingkungan universitas dan secara spesifik tindakan ini melanggar peratusan
disiplin yang telah ditetapkan oleh rector untuk memastikan lingkungan kerja
yang aman.
Merekonstruksi
Diri: Proses Pemulihan dan Tantangan yang Dihadapi Korban Kekerasan Seksual
Di tengah kemajuan zaman yang kita
alami, pelecehan seksual masih menjadi momok yang menghantui masyarakat kita.
Fenomena ini tidak pandang bulu, merenggut keamanan dan kenyamanan tidak hanya
dari wanita dewasa, tetapi juga dari anak-anak yang masih rentan. Setiap kasus
pelecehan seksual meninggalkan bekas luka yang dalam, melampaui batas fisik dan
meresap jauh ke dalam jiwa korbannya. Bayangkan seorang korban yang harus
menjalani hari-harinya dengan ketakutan yang terus membayangi. Setiap langkah
di tempat yang dulu terasa aman kini dipenuhi kecemasan. Pertemuan dengan
teman, dosen, atau bahkan orang asing di jalan menjadi momok tersendiri. Dunia
yang dulu bersahabat kini terasa begitu mengancam. Frustrasi menjadi teman
setia korban, menghantui setiap sudut pikirannya. Perasaan ini begitu kuat,
membutuhkan perhatian khusus dari para profesional untuk menguraikan benang
kusut dalam batinnya. Namun, perjuangan tidak berhenti di situ. Banyak korban
yang terjebak dalam lingkaran setan menyalahkan diri sendiri. "Mengapa aku
tidak bisa melawan?" menjadi pertanyaan yang terus menggema, membutuhkan
edukasi dan pemahaman untuk memutus rantai pikiran destruktif ini.
Rasa malu menjadi selimut tebal yang
menutupi korban dari dunia luar. Mereka merasa ternoda, kotor, dan tidak layak
berhadapan dengan orang lain. Perasaan ini sering kali berujung pada depresi
yang mendalam, menggerogoti tidak hanya kesehatan mental tetapi juga fisik.
Malam-malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat berubah menjadi medan
perang batin. Tidur menjadi sulit, dan kalaupun berhasil terlelap, mimpi buruk
sering menjadi tamu yang tidak diundang. Emosi pun menjadi tidak stabil, amarah
bisa meledak karena hal-hal sepele yang dulu tidak pernah menjadi masalah.
Ketakutan untuk beraktivitas di depan umum menjadi penghalang besar dalam
kehidupan sehari-hari. Setiap keramaian, setiap interaksi sosial, menjadi
tantangan tersendiri. Ada ketakutan yang terus mengintai, seolah-olah kejadian
buruk itu bisa terulang kapan saja.
Dalam kasus yang paling ekstrem,
rasa sakit batin yang tak tertahankan bisa mendorong korban untuk menyakiti
diri sendiri. Beberapa bahkan mempertimbangkan untuk mengakhiri hidup mereka,
merasa bahwa rasa malu dan penderitaan yang mereka alami terlalu berat untuk
ditanggung. Menghadapi realita yang begitu kelam ini, menjadi jelas bahwa
penanganan terhadap korban pelecehan seksual harus dilakukan secara menyeluruh.
Diperlukan pendekatan yang tidak hanya menyentuh aspek medis, tetapi juga
psikologis dan sosial. Lebih dari itu, dukungan dari lingkungan sekitar dan
masyarakat luas memegang peranan kunci. Hanya dengan kepedulian dan aksi nyata
dari semua pihak, para korban dapat menemukan jalan kembali menuju kehidupan
yang normal, meninggalkan bayang-bayang kelam masa lalu dan menatap masa depan
dengan harapan baru.
BAB
IV
REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Dalam perjalanan waktu, suara-suara
yang dulu terbungkam kini mulai bergema di lorong-lorong kampus. Aksi tuntutan
mahasiswa menjadi langkah awal yang berani, memecah keheningan dan membuka
jalan bagi penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini tersembunyi
di balik tembok institusi pendidikan tinggi. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun
2021 hadir sebagai lentera, menerangi jalan gelap dengan panduan yang jelas
dalam Pasal 10-19. Bagaikan sebuah jaring pengaman, peraturan ini menawarkan
perlindungan komprehensif bagi para korban. Bayangkan seorang mahasiswa yang
baru saja mengalami trauma mendalam, kini tidak lagi harus berjuang sendirian.
Tangan-tangan terampil konselor siap membantu menyembuhkan luka batin,
sementara layanan kesehatan menjaga kesejahteraan fisik mereka. Bimbingan
sosial hadir sebagai jembatan untuk membantu mereka kembali ke kehidupan
normal. Namun, peraturan ini juga menghormati pilihan korban. Jika seseorang
merasa belum siap untuk menerima bantuan, pintu tetap terbuka dengan hadirnya
orang tua atau pendamping sebagai pelindung. Lebih dari itu, kampus kini
menjadi benteng, melindungi korban dari ancaman lebih lanjut dan bahkan dari
kemungkinan gugatan hukum yang bisa menambah beban penderitaan mereka.
Proses pemulihan bukanlah perjalanan
singkat. Seperti pohon yang tumbuh perlahan setelah badai, korban kekerasan
seksual membutuhkan waktu dan perawatan intensif untuk kembali mekar. Dalam
perjalanan panjang ini, berbagai pihak bahu-membahu membentuk tim pendukung
yang kokoh. Psikolog menjadi penuntun dalam labirin emosi, tenaga medis
memastikan kesehatan fisik terjaga, pemuka agama menawarkan penghiburan
spiritual, sementara organisasi pendamping korban menjadi pilar yang terus
mendampingi setiap langkah pemulihan. Sementara korban berjuang untuk pulih,
roda keadilan pun berputar. Pelaku kekerasan seksual kini harus menghadapi
konsekuensi dari tindakan mereka. Sanksi administratif, mulai dari yang ringan
hingga yang paling berat, menjadi pedang keadilan yang diayunkan oleh pimpinan
perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi satuan tugas.
Kasus di Universitas Andalas menjadi
contoh nyata bagaimana keadilan ditegakkan. Pemberhentian tetap sebagai
pendidik bukan hanya hukuman bagi seorang individu, tetapi juga pesan keras
kepada seluruh komunitas akademik. Ini adalah pernyataan tegas bahwa kekerasan
seksual tidak akan ditoleransi, bahwa keamanan dan martabat setiap mahasiswa
adalah prioritas utama yang tidak bisa dikompromikan. Dalam narasi besar
perjuangan melawan kekerasan seksual di kampus, setiap tindakan - dari aksi
mahasiswa hingga penegakan sanksi - adalah batu pijakan menuju perubahan.
Meskipun perjalanan masih panjang, namun setiap langkah membawa kita lebih
dekat pada visi kampus yang aman, adil, dan menghormati martabat setiap
individu.
Memperkuat
Kerangka Institusional untuk Penanganan Kasus Pelecehan
Perlindungan dan pencegahan
kekerasan seksual di kampus merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen
kampus, termasuk mahasiswa, dosen, staf administrasi, dan pihak pengelola
kampus. Penanganan kekerasan seksual harus melibatkan kebijakan yang jelas, edukasi
yang menyeluruh, dan dukungan yang kuat bagi korban. Kebijakan kampus yang
tegas dan transparan dalam menangani kasus kekerasan seksual menjadi landasan
penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Peningkatan
kesadaran melalui berbagai program edukasi dan kampanye anti-kekerasan seksual
dapat membangun budaya saling menghormati dan mendorong sikap proaktif dalam
mencegah terjadinya kekerasan seksual. Selain itu, pentingnya adanya mekanisme
pelaporan yang mudah diakses dan proses penanganan yang cepat dan rahasia akan
memberikan rasa aman bagi korban untuk melapor tanpa takut akan stigma atau
pembalasan. Dukungan psikologis dan hukum bagi korban juga menjadi aspek
krusial dalam membantu mereka pulih dan mendapatkan keadilan, Kerjasama antara
kampus dengan lembaga eksternal, seperti lembaga perlindungan perempuan dan
anak, polisi, serta layanan kesehatan, juga penting untuk memberikan
perlindungan yang komprehensif dan menyeluruh bagi korban kekerasan seksual.
Dengan adanya langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari seluruh
pihak, diharapkan kekerasan seksual di kampus dapat diminimalisir, sehingga
tercipta lingkungan akademik yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk
kekerasan.
Peran Berbagai Pihak dalam
Perlindungan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus
Untuk mengatasi masalah kekerasan
seksual di kampus, peran aktif dari berbagai pihak sangatlah penting. Mahasiswa
harus meningkatkan pemahaman mereka tentang kekerasan seksual, termasuk
mengenali tanda-tanda, memahami dampaknya, dan mengetahui cara melaporkannya.
Mereka dapat mengikuti pelatihan dan seminar yang diselenggarakan oleh kampus
atau organisasi eksternal. Sikap proaktif sangat diperlukan, di mana mahasiswa
berani melaporkan insiden kekerasan seksual yang mereka alami atau saksikan.
Dukungan kepada teman-teman yang menjadi korban dan membantu mereka mencari
bantuan juga merupakan tindakan yang sangat penting. Selain itu, partisipasi
dalam kampanye anti-kekerasan seksual di kampus, seperti kampanye kesadaran,
forum diskusi, dan aksi solidaritas, dapat membantu meningkatkan kesadaran dan
pencegahan kekerasan seksual. Dosen dan staf juga memiliki peran penting dalam
pencegahan kekerasan seksual. Mereka harus mengikuti pelatihan terkait
pencegahan kekerasan seksual dan memahami kebijakan kampus tentang penanganan
kasus kekerasan seksual. Sebagai pendukung dan penasehat, dosen dan staf harus
siap memberikan bimbingan dan arahan kepada mahasiswa yang menjadi korban
kekerasan seksual tentang langkah-langkah yang dapat diambil. Penegakan
kebijakan anti-kekerasan seksual harus dilakukan dengan tegas di lingkungan
akademik, termasuk di kelas dan kegiatan ekstrakurikuler. Pengelola kampus
bertanggung jawab untuk menyusun dan mengimplementasikan kebijakan yang jelas
dan komprehensif tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kebijakan
ini harus mencakup prosedur pelaporan, mekanisme penanganan, dan sanksi bagi
pelaku. Selain itu, pengelola kampus harus menyediakan fasilitas yang mendukung
korban kekerasan seksual, seperti pusat konseling, hotline darurat, dan layanan
kesehatan. Kerjasama dengan lembaga perlindungan perempuan dan anak, layanan
kesehatan, serta aparat penegak hukum sangat penting untuk memberikan
perlindungan dan penanganan yang komprehensif bagi korban. Orang tua dan
keluarga juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Mereka harus memberikan
dukungan moral dan emosional kepada anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Mendengarkan dengan baik dan memberikan rasa aman bagi korban adalah langkah
awal yang sangat penting.
Pendidikan seksual yang tepat sejak
dini juga dapat diberikan oleh orang tua, sehingga anak-anak memiliki pemahaman
yang baik tentang hubungan yang sehat dan tanda-tanda kekerasan seksual.
Pengawasan dan komunikasi yang terbuka tentang pengalaman dan masalah yang
dihadapi anak-anak di kampus juga harus dijaga. Lembaga eksternal seperti
lembaga perlindungan perempuan dan anak, serta lembaga hukum, dapat memberikan
advokasi dan bantuan hukum bagi korban kekerasan seksual di kampus. Mereka juga
dapat melaksanakan program edukasi dan kampanye kesadaran di kampus-kampus
untuk mencegah kekerasan seksual dan mempromosikan kesetaraan gender. Kerjasama
dengan pengelola kampus dalam menyusun kebijakan dan mekanisme penanganan
kekerasan seksual, serta memberikan pelatihan bagi mahasiswa, dosen, dan staf,
juga sangat diperlukan. Dengan adanya langkah-langkah konkret dan komitmen yang
kuat dari seluruh pihak, diharapkan kekerasan seksual di kampus dapat
diminimalisir, sehingga tercipta lingkungan akademik yang aman, nyaman, dan bebas
dari segala bentuk Kekerasan
Kerangka Strategi Implementasi
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Di tengah kemajuan zaman, bayangan
kelam pelecehan seksual masih menghantui masyarakat kita, terutama di
lingkungan yang seharusnya menjadi tempat pengembangan diri dan intelektual -
kampus universitas. Kisah-kisah pilu korban pelecehan seksual seringkali
terkubur dalam keheningan, terhalang oleh tembok rasa malu dan ketakutan yang
membelenggu. Banyak mahasiswa yang menjadi korban memilih untuk memendam
penderitaan mereka, khawatir bahwa suara mereka akan membawa konsekuensi
negatif terhadap perjalanan akademis yang sedang mereka tempuh. Namun, kita
tidak bisa membiarkan ketakutan ini terus menguasai. Diperlukan sebuah revolusi
dalam cara kita memandang dan menangani masalah pelecehan seksual di kampus.
Langkah pertama adalah membangun sistem hukum yang tidak pandang bulu, yang
dengan tegas menghukum para pelaku tanpa memberikan celah untuk lolos dari
jeratan keadilan. Bersamaan dengan itu,
kita harus menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, di mana setiap korban
merasa didukung untuk berbicara dan melaporkan kejadian yang mereka alami. Ini
bukan hanya tentang menyediakan ruang fisik yang aman, tetapi juga membangun
atmosfer kepercayaan dan empati di seluruh komunitas kampus. Sumber daya yang
memadai juga harus dialokasikan untuk penanganan kasus-kasus ini. Dari
konseling psikologis hingga bantuan hukum, setiap aspek dukungan harus tersedia
bagi korban yang membutuhkan. Lebih dari itu, edukasi dan peningkatan kesadaran
tentang hak-hak korban harus menjadi prioritas. Setiap mahasiswa, staf, dan
fakultas harus memahami apa yang termasuk pelecehan seksual, bagaimana
mencegahnya, dan apa yang harus dilakukan jika menyaksikan atau mengalaminya.
Akhirnya, implementasi kebijakan
yang jelas dan transparan dalam menangani laporan pelecehan seksual adalah
kunci. Proses pelaporan harus dibuat sejelas mungkin, dengan jaminan
kerahasiaan dan perlindungan bagi pelapor. Dengan menerapkan langkah-langkah komprehensif
ini, kita berharap dapat membangun sebuah budaya baru di kampus - budaya di
mana keberanian untuk bersuara dihargai, keadilan ditegakkan, dan rasa aman
menjadi hak setiap individu. Upaya ini bukan hanya bertujuan untuk mengurangi
angka pelecehan seksual di lingkungan kampus, tetapi juga untuk menciptakan
efek riak yang positif ke masyarakat luas.Perjalanan menuju kampus yang bebas
dari bayang-bayang pelecehan seksual mungkin panjang dan penuh tantangan.
Namun, dengan tekad yang kuat dan tindakan nyata, kita dapat memastikan bahwa
setiap mahasiswa dapat mengejar impian akademis mereka tanpa rasa takut, dan
setiap korban mendapatkan dukungan serta perlindungan yang mereka butuhkan dan
berhak dapatkan.
DAFTAR ISI
DetikNews.com.2023. “5 Fakta Kasus Eric Hiariej, Dosen UGM Dipecat atas
Pelecehan Seks”. 5 Fakta Kasus Eric
Hiariej, Dosen UGM Dipecat atas Pelecehan Seks (detik.com). Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024.
Detiknews (2024). Komnas Perempuan
Catat 4,179 Kasus Kekerasan Seksual Pada 2022-2023.https://news.detik.com/berita/d-7323790/komnas-perempuan-catat-4-179-kasus-kekerasan-seksual-pada-2022-2023#:~:text=Komnas%20Perempuan%20Catat%204.179%20Kasus%20Kekerasan%20Seksual%20pada%202022%2D2023,-Gisella%20Previan%20Laoh&text=Komnas%20Perempuan%20mencatat%20jumlah%20kasus,Desember%202023%20mencapai%204.179%20kasus Diakses pada Minggu 21 Juli 2024
Dikti Kemendikbud (2020).
Menciptakan Kampus Aman dan Nyaman Bebas dari Perundungan dan Kekerasan
Seksual. http://www.dikti.go.id/kabar-dikti/kabar/menciptakan-kampus-aman-dan-nyaman-bebas-dari-perundungan-dan-kekerasan-seksual/ Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024
Pukul 19.30 WIB.
DPPPA Pemerintah Kabupaten Bantul
(2022). Hati - Hati Ini Dampak Kekerasan Seksual Pada Psikis dan Fisik Korban. https://dp3appkb.bantulkab.go.id/news/hati-hati-ini-dampak-kekerasan-seksual-pada-psikis-dan-fisik-korban. Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024.
Halodoc.com.2022.Ini Dampak Jangka
Panjang Kekerasan Seksual yang Terjadi pada Anak.https://www.halodoc.com/artikel/ini-dampak-jangka-panjang-kekerasan-seksual-yang-terjadi-pada-anak .Diakses pada Senin 22 Juli 2024.
Halodoc.com.2023.Kekerasan Seksual.https://www.halodoc.com/kesehatan/kekerasan-seksual.Diakses pada Senin 22 Juli 2024.
Hukumonline.com. 2024. Jerat pidana
Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya. https://www.hukumonline.com/klinik/a/pidana-pasal-pelecehan-seksual-cl3746/. Diakses pada Kamis 22 Februari
2024.
Kompas.id. 2022. “Kasus Kekerasan Seksual Dosen terhadap Mahasiswa
Unand Dilanjutkan ke Kemendikbudristek”. Kasus Kekerasan
Seksual Dosen terhadap Mahasiswa Unand Dilanjutkan ke Kemendikbudristek -
Kompas.id. Diakses
pada Sabtu, 20 Juli 2024 pukul 20.36 WIB
Kementerian Sekretariat Negara
RI.2024. “Stop Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus!”.https://www.setneg.go.id/baca/index/stop_kekerasan_seksual_di_lingkungan_kampus . Diakses pada Minggu, 21 Juli
2024.
Suara.com (2022). 10 Dampak
Pelecehan Seksual Bagi Korban, Salah Satunya Keinginan Bunuh Diri. https://www.suara.com/health/2022/06/15/115532/10-dampak-pelecehan-seksual-bagi-korban-salah-satunya-keinginan-bunuh-diri. Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024.
Kompas.com.2022.Pasal yang Mengatur
Kekerasan Seksual. https://nasional.kompas.com/read/2022/02/22/00000091/pasal-yang-mengatur-kekerasan-seksual.Diakses pada Selasa, 22 Februari
2022 Pukul 00.00 WIB.
Kupipedia.id. 2021. Sistem Hukum
Terkait Kekerasan Seksual di Indonesia dan Reformasi Hukum yang Dibutuhkan. https://kupipedia.id/index.php/Sistem_Hukum_Terkait_Kekerasan_Seksual_Di_Indonesia_Dan_Reformasi_Hukum_Yang_Dibutuhkan. Diakses pada Jumat 20 Agustus 2021
Pukul 05.43.
Kementerian Sekretariat Negara
Republik Indonesia (2024). Stop Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. https://www.setneg.go.id/baca/index/stop_kekerasan_seksual_di_lingkungan_kampus#:~:text=Penanganan%20korban%20kekerasan%20seksual%20diatur,dan%20rohani%20berdasarkan%20persetujuan%20korban . Diakses pada Minggu 21 Juli 2024.
UPH.2024. “ELEFAITH 2024: Aksi UPH
Siapkan Mahasiswa Jadi Agen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Kampus”.https://www.uph.edu/en/2024/05/02/elefaith-2024-aksi-uph-siapkan-mahasiswa-jadi-agen-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-di-kampus/ . Diakses pada Minggu, 21 Juli
2024.
Siaran Pers (2024). Siaran Pres
Komnas Perempuan Tentang Peluncuran Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan Tahun 2023. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peluncuran-catatan-tahunan-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2023 Diakses Pada Minggu 21 Juli 2024