Kabinet harshabrata

Visi Kami

Menjadikan BEM FF UMS sebagai tonggak dan fasilitator dalam lingkup yang kolaboratif, prestatif dan solutif untuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh civitas akademika FF UMS

Misi Kami Tentang Harshabrata

Divisi Seni dan Olahraga Divisi Pengembangan Intelektual Divisi Pengembangan Organisasi dan Kaderisasi Divisi Islamic Student Center Divisi Eksternal Divisi Hubungan dan Sosial Masyarakat

Divisi Dana dan Usaha Divisi Media dan Publikasi Divisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa

News

Tuesday, October 15, 2024

Dinamika Karir Lulusan Sarjana Farmasi: Analisis Implikasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Dinamika Karir Lulusan Sarjana Farmasi: Analisis Implikasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

 


Dinamika Karir Lulusan Sarjana Farmasi: Analisis Implikasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023


Divisi Advokasi dan  Kesejahteraan  Mahasiswa

Badan Eksekutf Mahasiswa Fakultas Farmasi UMS


PENDAHULUAN

Perubahan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah menimbulkan pertanyaan kritis mengenai masa depan karir lulusan Sarjana Farmasi di Indonesia. Berbeda dengan peraturan sebelumnya, UU terbaru ini tidak lagi memasukkan Sarjana Farmasi dalam kategori tenaga teknis kefarmasian. Perubahan signifikan ini berdampak pada status profesional dan lingkup praktik para Sarjana Farmasi, terutama bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang profesi apoteker. Implikasi dari perubahan ini meluas hingga ke aspek regulasi praktik, di mana Surat Tanda Registrasi (STR) menjadi syarat wajib bagi tenaga medis dan kesehatan untuk melakukan praktik. Namun, dengan tidak termasuknya Sarjana Farmasi dalam definisi tenaga kesehatan menurut UU baru, timbul ketidakpastian mengenai kemampuan mereka untuk memperoleh STR dan melaksanakan peran tradisional mereka dalam konseling obat-obatan. Situasi ini memunculkan dilema bagi komunitas farmasi, khususnya mahasiswa dan lulusan program Sarjana Farmasi, yang kini menghadapi tantangan dalam menentukan jalur karir mereka di sektor kesehatan. Kajian ini akan mengeksplorasi implikasi dari perubahan regulasi tersebut dan potensi solusi untuk mengatasi kesenjangan yang muncul dalam sistem pendidikan dan praktik kefarmasian di Indonesia.


PEMBAHASAN

Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) didefinisikan sebagai tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, termasuk di dalamnya Sarjana Farmasi. Mereka memiliki hak untuk praktik dan/atau bekerja dalam bidang kefarmasian. Namun, UU No. 17 Tahun 2023 membawa perubahan signifikan. Pasal 199 ayat 5 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian terdiri atas "tenaga vokasi farmasi, apoteker, dan apoteker spesialis." Perubahan ini mengakibatkan Sarjana Farmasi tidak lagi termasuk dalam kategori tenaga kefarmasian yang dapat melakukan praktik mandiri. Perubahan ini memiliki beberapa implikasi penting. Batasan Praktik : Sarjana Farmasi kini hanya bisa bekerja, namun tidak bisa melakukan praktik kefarmasian mandiri. Kebutuhan STR: Untuk melakukan praktik kefarmasian, seseorang harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang hanya diberikan kepada tenaga kefarmasian yang diakui. Transisi: Perubahan signifikan telah terjadi dalam regulasi praktik kefarmasian di Indonesia, Peraturan ini membawa implikasi penting bagi para lulusan Sarjana Farmasi. Mereka yang telah lulus dan bekerja di sektor pelayanan kesehatan sebelum diberlakukannya UU baru ini masih diizinkan untuk melanjutkan praktik kefarmasian tanpa perlu memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Secara spesifik, hal ini berlaku untuk lulusan Sarjana Farmasi angkatan 2019 dan sebelumnya. Namun, bagi mahasiswa farmasi yang lulus setelah angkatan tersebut, yaitu angkatan 2020 dan seterusnya, kini diwajibkan untuk menyelesaikan program profesi apoteker sebelum dapat melakukan praktik kefarmasian. Perubahan ini menandai sebuah tonggak penting dalam upaya meningkatkan standar profesionalisme di bidang farmasi di Indonesia.

Perubahan regulasi terkait status Sarjana Farmasi dalam praktik kefarmasian memiliki dampak multidimensi yang perlu dikaji secara komprehensif. Dari perspektif pengembangan pendidikan, ketimpangan antara jumlah Program Studi Sarjana Farmasi (PSSF) dan Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) berpotensi menjadi katalis positif. Kajian Strategis: Dinamika Tenaga Kefarmasian di Indonesia. Dalam upaya mewujudkan layanan kesehatan yang efektif, World Health Organization (WHO) merekomendasikan rasio ideal 5 apoteker per 10.000 penduduk. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga apoteker. Data terkini dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pada tahun 2022 mencatat sekitar 90.000 apoteker aktif di Indonesia. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan populasi Indonesia mencapai 277,5 juta jiwa pada tahun 2023. Berdasarkan standar WHO, Indonesia seharusnya memiliki sekitar 138.750 apoteker untuk memenuhi kebutuhan layanan farmasi yang optimal. Kesenjangan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kualitas dan aksesibilitas layanan kefarmasian di tingkat nasional.

Analisis lebih lanjut mengungkapkan ketidakseimbangan dalam sistem pendidikan kefarmasian. Menurut Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) tahun 2022, terdapat 314 Program Studi Sarjana Farmasi (PSSF) dibandingkan dengan hanya 55 Program Studi Profesi Apoteker (PSPA). Disparitas ini berpotensi menciptakan bottleneck dalam produksi tenaga apoteker yang berkualifikasi. Situasi ini diperparah dengan perubahan regulasi terbaru yang mengeluarkan Sarjana Farmasi dari kategori Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Implikasi dari kebijakan ini meliputi, Penyempitan prospek karir bagi lulusan S1 Farmasi, Potensi perlambatan pertumbuhan jumlah TTK di Indonesia, dan Risiko terhadap kualitas dan cakupan layanan kefarmasian nasional. Menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Beberapa rekomendasi meliputi: Evaluasi dan penyesuaian kurikulum pendidikan farmasi untuk memastikan relevansi dengan kebutuhan industri dan layanan kesehatan, Peningkatan kapasitas dan jumlah PSPA untuk menjembatani kesenjangan antara lulusan S1 Farmasi dan kebutuhan apoteker, Pengembangan kebijakan yang mendukung peran dan kontribusi Sarjana Farmasi dalam sistem kesehatan, meskipun tidak termasuk dalam kategori TTK, dan Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor swasta untuk menciptakan jalur karir alternatif bagi lulusan farmasi.

Institusi pendidikan tinggi mungkin akan terdorong untuk membuka lebih banyak PSPA, yang pada gilirannya dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan profesi apoteker. Hal ini tidak hanya berpotensi mengatasi kesenjangan yang ada, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas tenaga kefarmasian secara keseluruhan melalui standarisasi pendidikan yang lebih tinggi. Namun, dari sudut pandang ketenagakerjaan, perubahan ini menimbulkan kekhawatiran. Pembatasan lingkup kerja lulusan Sarjana Farmasi berpotensi meningkatkan angka pengangguran di sektor farmasi. Lulusan baru yang belum menyelesaikan program profesi apoteker mungkin akan menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Situasi ini menciptakan tantangan transisi yang signifikan, mengharuskan adanya strategi komprehensif untuk mengelola masa peralihan bagi lulusan Sarjana Farmasi yang belum memiliki kualifikasi apoteker.

Lebih lanjut, dalam konteks pemenuhan kebutuhan tenaga kefarmasian, perubahan regulasi ini dapat memperlambat proses pencapaian jumlah ideal apoteker di Indonesia. Dengan jumlah PSPA yang terbatas, produksi apoteker baru mungkin tidak akan dapat mengimbangi kebutuhan yang ada. Hal ini juga memunculkan tantangan distribusi, di mana diperlukan strategi khusus untuk memastikan penyebaran apoteker yang merata, terutama di daerah-daerah yang mengalami kekurangan tenaga kefarmasian. Di sisi lain, dari perspektif kualitas pelayanan, perubahan ini membawa potensi peningkatan yang signifikan. Standarisasi kompetensi melalui pendidikan profesi apoteker dapat memastikan bahwa semua praktisi kefarmasian memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang seragam dan terstandar. Hal ini berpotensi meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian secara keseluruhan, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada keselamatan dan kesejahteraan pasien.


PENUTUP

Dengan demikian, analisis dampak ini menunjukkan bahwa perubahan regulasi tersebut membawa baik peluang maupun tantangan. Diperlukan pendekatan yang seimbang dan strategis untuk memaksimalkan manfaat potensial sambil meminimalkan risiko dan dampak negatif yang mungkin timbul. Kolaborasi antara pemangku kepentingan di sektor pendidikan, industri, dan regulasi akan menjadi kunci dalam mengelola transisi ini secara efektif dan memastikan bahwa perubahan tersebut berkontribusi positif terhadap perkembangan sektor kefarmasian di Indonesia. Perubahan regulasi mengenai status Sarjana Farmasi dalam praktik kefarmasian membawa baik peluang maupun tantangan. Untuk mengoptimalkan dampak positif dan memitigasi dampak negatif, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan: Peningkatan Kapasitas PSPA, Mendorong dan memfasilitasi pembukaan Program Studi Profesi Apoteker di lebih banyak institusi pendidikan; Program Transisi : Merancang program transisi untuk Sarjana Farmasi yang sudah bekerja namun belum memiliki kualifikasi apoteker. Diversifikasi Peran: Mengembangkan peran-peran baru dalam industri farmasi dan kesehatan yang dapat diisi oleh Sarjana Farmasi tanpa memerlukan STR praktik. Evaluasi Berkala : Melakukan evaluasi berkala terhadap dampak perubahan regulasi ini terhadap ketersediaan tenaga kefarmasian dan kualitas pelayanan kesehatan. Kolaborasi Lintas Sektor : Membangun kerjasama antara sektor pendidikan, industri, dan regulator untuk memastikan keselarasan antara kebutuhan tenaga kerja dan output pendidikan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan adaptif, perubahan regulasi ini dapat menjadi katalis untuk peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di Indonesia, sambil tetap memperhatikan aspek ketenagakerjaan dan pemerataan akses terhadap layanan kesehatan.


DAFTAR PUSTAKA


BEM FF UMS. 2023. Kemanakah Masa Depan Para Lulusan S1 Farmasi?. https://www.bemffums.com/2023/12/kemanakah-masa-depan-para-lulusan.html.  Diakses pada 30 September 2024.


UMSB. 2023. Kuliah Tamu Farmasi: Peran Tenaga Kefarmasian Pasca Undang-Undang Tenaga Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. https://umsb.ac.id/berita/index/1301-kuliah-tamu-farmasi-peran-tenaga-kefarmasian-pasca-undang-undang-tenaga-kesehatan-nomor-17-tahun-2023 . Diakses pada 30 September 2024.


Liputan Farmasi. 2023. Sosialisasi Registrasi Tenaga Kefarmasian Pasca UU No. 17 Tahun 2023. https://liputanfarmasi.com/sosialisasi-registrasi-tenaga-kefarmasian-pasca-uu-no-17-tahun-2023 . Diakses pada 30 September 2024.


UMM. 2023. Perubahan Aspek Kefarmasian dalam Pengesahan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan: Akankah Menguntungkan?. https://www.umm.ac.id/id/arsip-koran/memox/perubahan-aspek-kefarmasian-dalam-pengesahan-uu-no-17-tahun-2023-tentang-kesehatan-akankah-menguntungkan.html . Diakses pada 30 September 2024.


FH UNILA. 2023. Penyelesaian Sengketa Medis Pasca Berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. https://fh.unila.ac.id/penyelesaian-sengketa-medis-pasca-berlakunya-uu-nomor-17-tahun-2023-tentang-kesehatan/.  Diakses pada 30 September 2024.


Perkumpulan Tenaga Kefarmasian Indonesia. 2023. Dampak UU No. 17 Tahun 2023 Terhadap Sarjana Farmasi. https://www.linkedin.com/posts/perkumpulan-tenaga-kefarmasian-indonesia-51301a12a_dampak-uu-no-17-tahun-2023-terhadap-sarjana-activity-7100893624774623232-bEZN . Diakses pada 30 September 2024.

Rista Awalia. 2024. Implikasi S1 Farmasi Bukan Lagi Tenaga Teknis Kefarmasian. https://majalah.stfi.ac.id/implikasi-s1-farmasi-bukan-lagi-tenaga-teknis-kefarmasian/ . diakses pada 30 September 2024.

Watuseke, Rommy David. 2023. Mengungkap Ancaman Terhadap Ribuan Lulusan Sarjana Farmasi yang Bekerja: Nakes Menjadi Gelandangan?. https://www.kompasiana.com/rommydavidwatuseke5849/64e1b29b08a8b526d027d642/mengungkap-ancaman-terhadap-ribuan-lulusan-sarjana-farmasi-yang-bekerja-nakes-menjadi-gelandangan?page=all&page_images=1 . Diakses pada 30 September 2024.



Thursday, August 15, 2024

Menyingkap Keheningan : Analisis Komprehensif Fenomena Pelecehan Seksual di Kampus

Menyingkap Keheningan : Analisis Komprehensif Fenomena Pelecehan Seksual di Kampus


Menyingkap Keheningan : Analisis Komprehensif Fenomena Pelecehan Seksual di Kampus


BAB I

LATAR BELAKANG MASALAH

Fenomena pelecehan seksual di lingkungan kampus menggambarkan situasi yang memprihatinkan dan membutuhkan perhatian serius. Laporan terkini mengungkapkan munculnya kembali kasus-kasus pelecehan seksual di institusi pendidikan tinggi, sebuah masalah yang sebelumnya telah menjadi perhatian publik. Data statistik menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, dengan 2.681 kasus teridentifikasi terjadi di lingkungan kampus. Fakta ini menjadi ironis mengingat universitas seharusnya menjadi tempat berkumpulnya individu-individu terpelajar dan berintegritas tinggi. Lebih mengejutkan lagi, informasi terbaru mengindikasikan adanya insiden kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus tempat kita berada. Situasi ini dipandang sebagai masalah krusial yang memerlukan penanganan segera dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa kerentanan perempuan sering kali menjadi sasaran empuk bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang berlindung di balik sistem pendidikan. Yang lebih memprihatinkan, dalam beberapa kasus, pelaku justru berasal dari kalangan pendidik sendiri, yaitu dosen yang seharusnya berperan sebagai figur panutan dan pelindung bagi mahasiswa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas sistem perlindungan di lingkungan akademis dan urgensi untuk melakukan evaluasi serta perbaikan menyeluruh guna menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif bagi seluruh civitas akademika.

Dalam arti sebenarnya, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan, penghinaan, pelecehan, atau serangan terhadap tubuh atau fungsi reproduksi seseorang yang diakibatkan oleh kesenjangan kekuasaan atau hubungan gender Masalah kejiwaan dan/atau kejiwaan menimbulkan atau dapat menimbulkan masalah atau penderitaan fisik, termasuk gangguan kesehatan reproduksi seseorang atau hilangnya kesempatan memperoleh pendidikan yang aman dan optimal. Komnas Perempuan  mencatat bahwa lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan berbasis gender telah dilaporkan ke banyak institusi dalam 10 tahun terakhir pada tahun 2023 saja, Komite Catatan Tahunan Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat 289.111 kasus kekerasan berbasis gender karena sebagian besar adalah kekerasan dalam rumah tangga, dan sepertiganya adalah kekerasan seksual



 

 

 

Komnas perempuan menerima laporan sebanyak 4,371 kasus kekerasan terhadap perempuan dari masyarakat sepanjang tahun 2022. Sedangkan pada 10 tahun terakhir total pengaduan sebesar 21,530. Selain pengaduan, Komnas Perempuan juga mencatat kasus kekerasan melalui Badan Peradilan Agama (Badilag) sebanyak 326.534 kasus dan lembaga layanan sebanyak 9.619 kasus. Sebagian besar kejadian tersebut terjadi di ruang privat, selebihnya di ruang publik dan negara. Berdasarkan jenis kekerasan, kekerasan fisik masih mendominasi pada tahun 2022, disusul kekerasan seksual, psikis, dan ekonomi.

Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022-Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan yang paling banyak diterima adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), diikuti oleh pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kasus KSBE yang diterima Komnas Perempuan mencapai 2.776 kasus. Sementara itu, ada 623 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan. Berdasarkan CATAHU (Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan) pada tahun 2023, tercatat sebanyak 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022 (55.920 kasus atau sekitar 12%).

CATAHU 2023 juga menemukan bahwa karakteristik korban dan pelaku masih menunjukkan tren yang sama, yaitu usia korban lebih muda dan pendidikannya lebih rendah dibandingkan pelaku. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah pelaku sebagai partai politik yang patut menjadi contoh, pelindung dan simbol kehadiran negara, meningkat sebesar 9%, melebihi rata-rata Catahu selama 21 tahun sebesar 5%. . Hal ini menegaskan bahwa akar persoalan KTP terletak pada ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Sumber kekuasaan pelaku  semakin kuat ketika pelaku mempunyai kekuasaan politik, pengetahuan, jabatan struktural, dan tokoh agama.

 

BAB II           

LINGKUP DAN RAGAM MASALAH

            Kasus-kasus kekerasan seksual ini dapat disebabkan karena beberapa faktor. Setidaknya ada 3 faktor yang menjadi sebab dari kekerasan seksual, yang pertama adalah faktor individu. Faktor individu merujuk dari diri sendiri, tidak bisa dipungkiri terkadang seseorang melakukan kekerasan seksual dilakukan karena pelaku pernah menjadi korban dari kekerasan seksual juga. Dendam dan rasa sakit di masa lalunya tersebut menjadi api untuk pelaku membalaskan ke orang lain yang tidak bersalah. Selain itu faktor individu bisa berdasarkan orientasi seksual dari seseorang itu sendiri, ada seseorang yang hipermaskulinitas dan memiliki fantasi seksual yang memaksa. Itulah mengapa pendidikan seksualitas penting untuk diajarkan sedari dini, namun sayangnya hingga kini pendidikan seksualitas sering kali dianggap tabu oleh banyak orang. Selanjutnya ada faktor hubungan, hubungan yang dimaksud disini adalah hubungan antar keluarga dan antar teman. Apalagi melihat pergaulan sekarang yang sangat mengkhawatirkan, tak jarang ada berita bahwa anak seumuran SMA melakukan kegiatan yang pantasnya dilakukan orang yang telah menikah. Selain itu bisa berasal dari hubungan keluarga dan pelaku yang tidak baik, beberapa contohnya adalah terdapat riwayat konflik dan kekerasan yang terjadi di keluarga, keluarga yang seharusnya menjadi rumah untuk pulang malah menjadi tempat pertama yang menyakiti pelaku, hubungan dengan keluarga buruk dan menimbulkan trauma tersendiri. Hal ini dapat memicu kekerasan seksual. Yang terakhir adalah faktor masyarakat dan lingkungan kemasyarakat. Lingkungan masyarakat yang abai bahkan mendukung pelecehan seksual menjadi faktor yang berbahaya. Jika toleransi terhadap kekerasan seksual dan sanksi masyarakat seperti rasa malu lemah, hal ini akan membuat pelaku kekerasan tidak menyadari kesalahannya dan merasa aman. Untuk itu perlu sekali perkuatan hukum terkait pelecehan seksual untuk melindungi korban, jika sanksi masyarakat tidak lagi ada.

            Padahal jika seseorang menjadi pelaku dari kekerasan seksual akan berisiko untuk dirinya sendiri untuk kedepannya, salah satunya adalah hukuman penjara. Atau kalau dalam kasus pelecehan di kehidupan kampus akan dikeluarkan dari lingkungan kampus tersebut. Namun nyatanya hal itu tidak membuat jera pelaku kekerasan seksual, pun banyak pihak-pihak yang entah kenapa melindungi predator-predator ini dan tidak menindak tegas. Hal inilah yang malah membuat korban menderita. Korban dapat menjadi trauma seperti rendah diri, dan sulit membangun relasi kembali sehingga perlu pendampingan psikologi. Selain itu dapat menyebabkan korban memiliki gangguan kecemasan dan depresi. Atau parahnya dapat membuat seseorang memiliki penyakit PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) yang menyebabkan mereka menyakiti dirinya sendiri bahkan hingga bunuh diri. Yang terakhir dapat menyebabkan korban memiliki masalah seksualitas, yang menyebabkan korban tidak lagi tertarik berhubungan seks dan prahnya bisa membuat korban tidak lagi mau dengan lawan jenis dan memilih berhubungan dengan sesama jenis.

 

Mengulik Kekerasan Seksual di Lingkungan Akademisi

Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) diguncang skandal yang mengungkap sisi gelap dunia akademis, ketika Syarif Maulana, seorang Dosen Luar Biasa (DLB) Fakultas Filsafat, terbongkar melakukan serangkaian kekerasan seksual. Kasus ini menjadi titik balik yang membuka tabir atas realitas mencekam di balik dinding-dinding kampus yang selama ini dianggap suci. Pengakuan Syarif Maulana di media sosial pada 10 Mei 2024 membuka kotak pandora tentang pola predatoris yang sistematis. Mulai dari pesan-pesan tidak senonoh hingga ajakan eksplisit untuk berhubungan seksual, menunjukkan bagaimana otoritas akademik dapat disalahgunakan untuk mengeksploitasi mahasiswa. Ironis bahwa seorang pengajar filsafat, yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan moralitas, justru menjadi predator bagi anak didiknya sendiri. Satgas PPKS Unpar patut diapresiasi, namun sekaligus memunculkan pertanyaan mengapa kasus-kasus serupa sebelumnya tidak pernah terungkap. Fenomena "puncak gunung es" ini mengindikasikan adanya kultur bungkam yang mengakar, dipicu oleh relasi kuasa yang timpang dan impunitas bagi para pelaku. Kasus ini menyoroti urgensi reformasi sistemik dalam tata kelola perguruan tinggi. Diperlukan mekanisme pelaporan yang aman, penegakan sanksi yang tegas, dan transformasi budaya akademik yang mengedepankan kesetaraan dan rasa hormat. Lebih dari sekadar menangani satu kasus, ini adalah momen krusial bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia untuk melakukan introspeksi mendalam dan perubahan radikal.

Hal serupa juga terjadi di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia,  yaitu di Univeristas Andalas yang mana salah satu dosen Fakultas ilmu Budaya diduga melakukan pelecehan dan kekersan seksual terhadap delapan mahasiswa. Delapan mahasiswa tersebut melaporkan aksi bejat pelaku kepada Satgas PPKS Unand dan bahkan salah satu korban sampai berhenti studi sementara (BSS). Untuk menyuarakan ketidakadilan yang dirasakan korban, sekitar seratus mahasiswa Universitas Andalas (Unand), mengusung agenda perlindungan korban dan penghukuman pelaku pelecehan seksual di lingkungan kampus. Seratus aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unand menggelar demonstrasi di depan Rektorat, menuntut tindakan tegas dan sanksi maksimal bagi pelaku. Fenomena ini menyoroti urgensi reformasi kebijakan kampus dalam menangani kasus kekerasan seksual, sekaligus mempertanyakan komitmen institusi pendidikan tinggi dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan civitas akademik-nya. Tuntutan pemecatan dan pencabutan gelar akademik terhadap terduga pelaku mencerminkan keinginan kuat mahasiswa untuk mengakhiri budaya impunitas di lingkungan akademis. Sementara itu, permintaan penyediaan ruang aman bagi korban mengindikasikan kesadaran akan pentingnya pendekatan yang berpusat pada korban dalam penanganan kasus sensitif ini. Yang lebih mengkhawatirkan, dugaan teror terhadap anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) menunjukkan potensi eskalasi konflik dan ancaman terhadap mereka yang berupaya menegakkan keadilan. Situasi ini memunculkan pertanyaan krusial: sejauh mana institusi pendidikan tinggi mampu melindungi para pembela kebenaran dari intimidasi dan ancaman? Kasus ini bukan sekadar isu internal kampus, melainkan cerminan lebih luas tentang tantangan dalam mewujudkan lingkungan akademis yang aman, adil, dan bebas dari kekerasan seksual di Indonesia.

Universitas Gadjah Mada (UGM), institusi pendidikan tinggi ternama di Indonesia, terseret dalam pusaran skandal yang mengungkap sisi gelap dunia akademis. Kasus pelecehan seksual yang melibatkan Eric Hiariej, seorang dosen senior Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), menjadi cermin betapa rapuhnya etika dan integritas di lingkungan yang seharusnya menjadi mercusuar intelektualitas dan moralitas. Terungkapnya kasus ini pada tahun 2016 membuka kotak pandora tentang penyalahgunaan wewenang dan eksploitasi relasi kuasa di kampus. Pola perilaku predatoris yang berlangsung selama bertahun-tahun - mencakup pelecehan verbal, non-verbal, hingga sentuhan tidak diinginkan - menunjukkan betapa sistematis dan mengakarnya problem ini. Fakta bahwa korban adalah mahasiswi bimbingannya sendiri semakin memperlihatkan betapa rentan posisi mahasiswa dalam hierarki akademik yang tidak seimbang. Reaksi publik yang masif terhadap kasus ini bukan sekadar refleksi kemarahan sesaat, melainkan manifestasi frustrasi kolektif atas berlarut-larutnya penanganan kasus serupa di berbagai institusi pendidikan. Demonstrasi mahasiswa UGM yang menuntut transparansi dan ketegasan sanksi menjadi katalis yang mempercepat proses reformasi internal kampus.

Namun, diperlukan waktu enam tahun - periode yang cukup untuk menyelesaikan satu jenjang pendidikan doktoral - sebelum akhirnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengambil tindakan tegas. Pemecatan Eric Hiariej pada 2 Maret 2022, yang tertuang dalam Putusan Mendikbud Nomor 15180/MPK.A.KP.04/03/2022, menjadi tonggak penting dalam penegakan etika akademik di Indonesia. Alasan pemecatan yang mencakup membangun hubungan romantis dengan mahasiswi, pelecehan seksual, hingga serangan seksual, menggarisbawahi kompleksitas dan keparahan kasus ini. Ini bukan sekadar pelanggaran etika ringan, melainkan serangkaian tindak kejahatan yang sistematis dan terencana.Kasus ini memunculkan pertanyaan mendasar: Seberapa dalam akar budaya predatoris ini tertanam dalam sistem pendidikan tinggi kita? Mengapa diperlukan waktu begitu lama untuk mengambil tindakan tegas? Dan yang paling krusial, bagaimana kita dapat memastikan bahwa tragedi serupa tidak akan terulang di masa depan?. Pemecatan Eric Hiariej seharusnya bukan akhir dari saga ini, melainkan awal dari reformasi menyeluruh dalam tata kelola dan budaya akademik di Indonesia. Ini adalah momen kritis bagi seluruh institusi pendidikan tinggi untuk mengevaluasi ulang protokol keamanan, sistem pelaporan, dan mekanisme penegakan etika mereka. Lebih dari itu, ini adalah panggilan untuk membangun lingkungan akademik yang benar-benar aman, setara, dan memberdayakan bagi seluruh civitas academica, terlepas dari gender atau posisi hierarkis mereka.

 

Menguak Tabir Gelap Kampus Tercinta

Kejahatan seksual sudah menjamur di berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, yang berlatar belakang agama maupun tidak. Sepanjang tahun 2023 ditemukan lebih dari 65 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus di Indonesia. Polemik ini menjadi momok yang mengerikan di kalangan mahasiswa, dimana perguruan tinggi yang sepatutnya beriklim intelektualitas dan berada pada lingkungan akademisi yang sehat dan aman malah menjadi ancaman akan kekhawatiran dalam menjalani masa perkuliahan. Skandal akademis mengguncang Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 2 Juli 2024, mengungkap sisi gelap relasi dosen-mahasiswa yang selama ini terselubung. Seorang mahasiswi tingkat akhir menjadi korban pelecehan seksual oleh dosen pembimbingnya, menguak kerentanan sistem bimbingan akademik yang kini dipertanyakan integritasnya. Peristiwa ini terjadi dalam setting yang seharusnya menjadi ruang aman untuk pertumbuhan intelektual, namun justru berubah menjadi arena eksploitasi kekuasaan dan pelanggaran etika profesi yang mencoreng wajah pendidikan tinggi. Modus operandi pelaku yang mengundang mahasiswi untuk bimbingan di rumah pribadinya tanpa kehadiran pihak ketiga menunjukkan celah besar dalam protokol keamanan dan etika akademis. Tindakan verbal dan non-verbal yang dilakukan, mulai dari pertanyaan invasif hingga sentuhan fisik yang tidak diinginkan, merupakan bentuk penyalahgunaan posisi otoritas yang sistematis dan terencana. Puncaknya, pemaksaan kontak fisik dalam bentuk pelukan, bukan hanya melanggar batas-batas profesionalisme, tetapi juga merupakan serangan langsung terhadap otonomi dan martabat mahasiswa.

Insiden ini membuka diskusi kritis tentang dinamika kekuasaan dalam lingkungan akademis, urgensi reformasi sistem pengawasan, dan pentingnya edukasi tentang consent dan batasan profesional dalam interaksi dosen-mahasiswa. Lebih jauh, kasus ini menyoroti kebutuhan mendesak akan mekanisme pelaporan yang aman dan efektif, serta perlunya transformasi budaya kampus yang masih sering menormalisasi atau bahkan membungkam kasus-kasus pelecehan. Pertanyaannya kini, akankah skandal ini menjadi katalis perubahan sistemik dalam tata kelola universitas di Indonesia, atau hanya akan menjadi statistik lain dalam sejarah panjang eksploitasi di dunia pendidikan tinggi? Bagaimana institusi pendidikan dapat memastikan bahwa ruang-ruang akademis tetap menjadi tempat yang aman dan memberdayakan, bukan menjadi arena untuk memanipulasi dan merendahkan martabat mahasiswa?

 

BAB III

ALTERNATIF KEBIJAKAN

Penanganan hukum terhadap kasus pelecehan seksual di Indonesia mengungkapkan sebuah ironi yang menggelisahkan. Meskipun fenomena pelecehan seksual marak terjadi, sistem hukum kita seolah buta terhadap istilah ini. Alih-alih mengakui "pelecehan seksual" sebagai terminologi hukum, kita masih terpaku pada frasa kuno "perbuatan cabul" dan "kejahatan terhadap kesusilaan". Komnas Perempuan telah mengidentifikasi sembilan bentuk kekerasan seksual, mulai dari pelecehan hingga perbudakan seksual. Namun, apakah kerangka hukum kita mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan ini? Ataukah kita masih terjebak dalam labirin terminologi yang usang? KUHP, yang diklaim sebagai "kitab suci" para penegak hukum, menyembunyikan aturan tentang kekerasan seksual di balik label "Kejahatan Moral". Sungguh ironis bahwa tindakan yang merenggut harkat dan martabat seseorang hanya dianggap sebagai pelanggaran moral semata. Apakah ini cerminan dari cara pandang masyarakat kita yang masih menganggap pelecehan seksual sebagai aib, bukan kejahatan? Lebih memprihatinkan lagi, pelaku pelecehan seksual hanya bisa dijerat dengan pasal "pencabulan". Seolah-olah trauma dan penderitaan korban bisa disederhanakan menjadi sekadar masalah kesusilaan. Bukankah ini bentuk viktimisasi kedua terhadap para korban? Meskipun UU No. 1/2023 telah hadir sebagai angin segar, pertanyaannya: apakah ini cukup? Atau kita masih membutuhkan revolusi hukum yang lebih radikal untuk benar-benar melindungi hak-hak korban dan memberikan efek jera kepada pelaku? Sudah saatnya kita mempertanyakan: apakah kerangka hukum kita telah benar-benar melindungi korban, atau justru secara tidak langsung melindungi pelaku di balik celah-celah definisi yang kabur? Haruskah kita menunggu lebih banyak korban berjatuhan sebelum sistem hukum kita benar-benar mengakui dan menangani pelecehan seksual sebagai kejahatan serius yang merusak sendi-sendi kemanusiaan?

Pada kasus yang sedang terjadi pada salah satu mahasiswa di ums terdapat beberapa bentuk kejahatan seksual yang terjadi. Untuk kejahatan yang pertama yaitu pelaku menanyakan berat badan korban dan meminta untuk melihat perut korban,  selanjutnya yang dilakukan pelaku adalah mengelus-elus kaki korban dan memegang lutut korban, untuk yang terakhir pelaku meminta dan memaksa korban untuk melakukan pelukan, dari kejahatan seksual tersebut, terdapat beberapa pelanggaran yang tercantum yaitu melanggar UUD No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pada Pasal 60E Bab 5; tindakan ini bertentangan juga dengan permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 yang melarang segala bentuk ucapan yang mengandung rayuan, lelucon dan/atau siulan yang bernuansa seksual karena tindakan tersebut termasuk pelanggaran serius; terlebih lagi tindakan ini menunjukan ketidakpatuhan terhadap “Surat Keputusan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta” pada pasal 2 bab 2 tentang disiplin karyawan di lingkungan universitas dan secara spesifik tindakan ini melanggar peratusan disiplin yang telah ditetapkan oleh rector untuk memastikan lingkungan kerja yang aman.

Merekonstruksi Diri: Proses Pemulihan dan Tantangan yang Dihadapi Korban Kekerasan Seksual

Di tengah kemajuan zaman yang kita alami, pelecehan seksual masih menjadi momok yang menghantui masyarakat kita. Fenomena ini tidak pandang bulu, merenggut keamanan dan kenyamanan tidak hanya dari wanita dewasa, tetapi juga dari anak-anak yang masih rentan. Setiap kasus pelecehan seksual meninggalkan bekas luka yang dalam, melampaui batas fisik dan meresap jauh ke dalam jiwa korbannya. Bayangkan seorang korban yang harus menjalani hari-harinya dengan ketakutan yang terus membayangi. Setiap langkah di tempat yang dulu terasa aman kini dipenuhi kecemasan. Pertemuan dengan teman, dosen, atau bahkan orang asing di jalan menjadi momok tersendiri. Dunia yang dulu bersahabat kini terasa begitu mengancam. Frustrasi menjadi teman setia korban, menghantui setiap sudut pikirannya. Perasaan ini begitu kuat, membutuhkan perhatian khusus dari para profesional untuk menguraikan benang kusut dalam batinnya. Namun, perjuangan tidak berhenti di situ. Banyak korban yang terjebak dalam lingkaran setan menyalahkan diri sendiri. "Mengapa aku tidak bisa melawan?" menjadi pertanyaan yang terus menggema, membutuhkan edukasi dan pemahaman untuk memutus rantai pikiran destruktif ini.

Rasa malu menjadi selimut tebal yang menutupi korban dari dunia luar. Mereka merasa ternoda, kotor, dan tidak layak berhadapan dengan orang lain. Perasaan ini sering kali berujung pada depresi yang mendalam, menggerogoti tidak hanya kesehatan mental tetapi juga fisik. Malam-malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat berubah menjadi medan perang batin. Tidur menjadi sulit, dan kalaupun berhasil terlelap, mimpi buruk sering menjadi tamu yang tidak diundang. Emosi pun menjadi tidak stabil, amarah bisa meledak karena hal-hal sepele yang dulu tidak pernah menjadi masalah. Ketakutan untuk beraktivitas di depan umum menjadi penghalang besar dalam kehidupan sehari-hari. Setiap keramaian, setiap interaksi sosial, menjadi tantangan tersendiri. Ada ketakutan yang terus mengintai, seolah-olah kejadian buruk itu bisa terulang kapan saja.

Dalam kasus yang paling ekstrem, rasa sakit batin yang tak tertahankan bisa mendorong korban untuk menyakiti diri sendiri. Beberapa bahkan mempertimbangkan untuk mengakhiri hidup mereka, merasa bahwa rasa malu dan penderitaan yang mereka alami terlalu berat untuk ditanggung. Menghadapi realita yang begitu kelam ini, menjadi jelas bahwa penanganan terhadap korban pelecehan seksual harus dilakukan secara menyeluruh. Diperlukan pendekatan yang tidak hanya menyentuh aspek medis, tetapi juga psikologis dan sosial. Lebih dari itu, dukungan dari lingkungan sekitar dan masyarakat luas memegang peranan kunci. Hanya dengan kepedulian dan aksi nyata dari semua pihak, para korban dapat menemukan jalan kembali menuju kehidupan yang normal, meninggalkan bayang-bayang kelam masa lalu dan menatap masa depan dengan harapan baru.

 

BAB IV

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Dalam perjalanan waktu, suara-suara yang dulu terbungkam kini mulai bergema di lorong-lorong kampus. Aksi tuntutan mahasiswa menjadi langkah awal yang berani, memecah keheningan dan membuka jalan bagi penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini tersembunyi di balik tembok institusi pendidikan tinggi. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai lentera, menerangi jalan gelap dengan panduan yang jelas dalam Pasal 10-19. Bagaikan sebuah jaring pengaman, peraturan ini menawarkan perlindungan komprehensif bagi para korban. Bayangkan seorang mahasiswa yang baru saja mengalami trauma mendalam, kini tidak lagi harus berjuang sendirian. Tangan-tangan terampil konselor siap membantu menyembuhkan luka batin, sementara layanan kesehatan menjaga kesejahteraan fisik mereka. Bimbingan sosial hadir sebagai jembatan untuk membantu mereka kembali ke kehidupan normal. Namun, peraturan ini juga menghormati pilihan korban. Jika seseorang merasa belum siap untuk menerima bantuan, pintu tetap terbuka dengan hadirnya orang tua atau pendamping sebagai pelindung. Lebih dari itu, kampus kini menjadi benteng, melindungi korban dari ancaman lebih lanjut dan bahkan dari kemungkinan gugatan hukum yang bisa menambah beban penderitaan mereka.

Proses pemulihan bukanlah perjalanan singkat. Seperti pohon yang tumbuh perlahan setelah badai, korban kekerasan seksual membutuhkan waktu dan perawatan intensif untuk kembali mekar. Dalam perjalanan panjang ini, berbagai pihak bahu-membahu membentuk tim pendukung yang kokoh. Psikolog menjadi penuntun dalam labirin emosi, tenaga medis memastikan kesehatan fisik terjaga, pemuka agama menawarkan penghiburan spiritual, sementara organisasi pendamping korban menjadi pilar yang terus mendampingi setiap langkah pemulihan. Sementara korban berjuang untuk pulih, roda keadilan pun berputar. Pelaku kekerasan seksual kini harus menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Sanksi administratif, mulai dari yang ringan hingga yang paling berat, menjadi pedang keadilan yang diayunkan oleh pimpinan perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi satuan tugas.

Kasus di Universitas Andalas menjadi contoh nyata bagaimana keadilan ditegakkan. Pemberhentian tetap sebagai pendidik bukan hanya hukuman bagi seorang individu, tetapi juga pesan keras kepada seluruh komunitas akademik. Ini adalah pernyataan tegas bahwa kekerasan seksual tidak akan ditoleransi, bahwa keamanan dan martabat setiap mahasiswa adalah prioritas utama yang tidak bisa dikompromikan. Dalam narasi besar perjuangan melawan kekerasan seksual di kampus, setiap tindakan - dari aksi mahasiswa hingga penegakan sanksi - adalah batu pijakan menuju perubahan. Meskipun perjalanan masih panjang, namun setiap langkah membawa kita lebih dekat pada visi kampus yang aman, adil, dan menghormati martabat setiap individu.

 

Memperkuat Kerangka Institusional untuk Penanganan Kasus Pelecehan

Perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen kampus, termasuk mahasiswa, dosen, staf administrasi, dan pihak pengelola kampus. Penanganan kekerasan seksual harus melibatkan kebijakan yang jelas, edukasi yang menyeluruh, dan dukungan yang kuat bagi korban. Kebijakan kampus yang tegas dan transparan dalam menangani kasus kekerasan seksual menjadi landasan penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Peningkatan kesadaran melalui berbagai program edukasi dan kampanye anti-kekerasan seksual dapat membangun budaya saling menghormati dan mendorong sikap proaktif dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Selain itu, pentingnya adanya mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan proses penanganan yang cepat dan rahasia akan memberikan rasa aman bagi korban untuk melapor tanpa takut akan stigma atau pembalasan. Dukungan psikologis dan hukum bagi korban juga menjadi aspek krusial dalam membantu mereka pulih dan mendapatkan keadilan, Kerjasama antara kampus dengan lembaga eksternal, seperti lembaga perlindungan perempuan dan anak, polisi, serta layanan kesehatan, juga penting untuk memberikan perlindungan yang komprehensif dan menyeluruh bagi korban kekerasan seksual. Dengan adanya langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari seluruh pihak, diharapkan kekerasan seksual di kampus dapat diminimalisir, sehingga tercipta lingkungan akademik yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

Peran Berbagai Pihak dalam Perlindungan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

Untuk mengatasi masalah kekerasan seksual di kampus, peran aktif dari berbagai pihak sangatlah penting. Mahasiswa harus meningkatkan pemahaman mereka tentang kekerasan seksual, termasuk mengenali tanda-tanda, memahami dampaknya, dan mengetahui cara melaporkannya. Mereka dapat mengikuti pelatihan dan seminar yang diselenggarakan oleh kampus atau organisasi eksternal. Sikap proaktif sangat diperlukan, di mana mahasiswa berani melaporkan insiden kekerasan seksual yang mereka alami atau saksikan. Dukungan kepada teman-teman yang menjadi korban dan membantu mereka mencari bantuan juga merupakan tindakan yang sangat penting. Selain itu, partisipasi dalam kampanye anti-kekerasan seksual di kampus, seperti kampanye kesadaran, forum diskusi, dan aksi solidaritas, dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pencegahan kekerasan seksual. Dosen dan staf juga memiliki peran penting dalam pencegahan kekerasan seksual. Mereka harus mengikuti pelatihan terkait pencegahan kekerasan seksual dan memahami kebijakan kampus tentang penanganan kasus kekerasan seksual. Sebagai pendukung dan penasehat, dosen dan staf harus siap memberikan bimbingan dan arahan kepada mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual tentang langkah-langkah yang dapat diambil. Penegakan kebijakan anti-kekerasan seksual harus dilakukan dengan tegas di lingkungan akademik, termasuk di kelas dan kegiatan ekstrakurikuler. Pengelola kampus bertanggung jawab untuk menyusun dan mengimplementasikan kebijakan yang jelas dan komprehensif tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kebijakan ini harus mencakup prosedur pelaporan, mekanisme penanganan, dan sanksi bagi pelaku. Selain itu, pengelola kampus harus menyediakan fasilitas yang mendukung korban kekerasan seksual, seperti pusat konseling, hotline darurat, dan layanan kesehatan. Kerjasama dengan lembaga perlindungan perempuan dan anak, layanan kesehatan, serta aparat penegak hukum sangat penting untuk memberikan perlindungan dan penanganan yang komprehensif bagi korban. Orang tua dan keluarga juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Mereka harus memberikan dukungan moral dan emosional kepada anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Mendengarkan dengan baik dan memberikan rasa aman bagi korban adalah langkah awal yang sangat penting.

Pendidikan seksual yang tepat sejak dini juga dapat diberikan oleh orang tua, sehingga anak-anak memiliki pemahaman yang baik tentang hubungan yang sehat dan tanda-tanda kekerasan seksual. Pengawasan dan komunikasi yang terbuka tentang pengalaman dan masalah yang dihadapi anak-anak di kampus juga harus dijaga. Lembaga eksternal seperti lembaga perlindungan perempuan dan anak, serta lembaga hukum, dapat memberikan advokasi dan bantuan hukum bagi korban kekerasan seksual di kampus. Mereka juga dapat melaksanakan program edukasi dan kampanye kesadaran di kampus-kampus untuk mencegah kekerasan seksual dan mempromosikan kesetaraan gender. Kerjasama dengan pengelola kampus dalam menyusun kebijakan dan mekanisme penanganan kekerasan seksual, serta memberikan pelatihan bagi mahasiswa, dosen, dan staf, juga sangat diperlukan. Dengan adanya langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari seluruh pihak, diharapkan kekerasan seksual di kampus dapat diminimalisir, sehingga tercipta lingkungan akademik yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk Kekerasan

Kerangka Strategi Implementasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual



Di tengah kemajuan zaman, bayangan kelam pelecehan seksual masih menghantui masyarakat kita, terutama di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat pengembangan diri dan intelektual - kampus universitas. Kisah-kisah pilu korban pelecehan seksual seringkali terkubur dalam keheningan, terhalang oleh tembok rasa malu dan ketakutan yang membelenggu. Banyak mahasiswa yang menjadi korban memilih untuk memendam penderitaan mereka, khawatir bahwa suara mereka akan membawa konsekuensi negatif terhadap perjalanan akademis yang sedang mereka tempuh. Namun, kita tidak bisa membiarkan ketakutan ini terus menguasai. Diperlukan sebuah revolusi dalam cara kita memandang dan menangani masalah pelecehan seksual di kampus. Langkah pertama adalah membangun sistem hukum yang tidak pandang bulu, yang dengan tegas menghukum para pelaku tanpa memberikan celah untuk lolos dari jeratan keadilan.  Bersamaan dengan itu, kita harus menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, di mana setiap korban merasa didukung untuk berbicara dan melaporkan kejadian yang mereka alami. Ini bukan hanya tentang menyediakan ruang fisik yang aman, tetapi juga membangun atmosfer kepercayaan dan empati di seluruh komunitas kampus. Sumber daya yang memadai juga harus dialokasikan untuk penanganan kasus-kasus ini. Dari konseling psikologis hingga bantuan hukum, setiap aspek dukungan harus tersedia bagi korban yang membutuhkan. Lebih dari itu, edukasi dan peningkatan kesadaran tentang hak-hak korban harus menjadi prioritas. Setiap mahasiswa, staf, dan fakultas harus memahami apa yang termasuk pelecehan seksual, bagaimana mencegahnya, dan apa yang harus dilakukan jika menyaksikan atau mengalaminya.

Akhirnya, implementasi kebijakan yang jelas dan transparan dalam menangani laporan pelecehan seksual adalah kunci. Proses pelaporan harus dibuat sejelas mungkin, dengan jaminan kerahasiaan dan perlindungan bagi pelapor. Dengan menerapkan langkah-langkah komprehensif ini, kita berharap dapat membangun sebuah budaya baru di kampus - budaya di mana keberanian untuk bersuara dihargai, keadilan ditegakkan, dan rasa aman menjadi hak setiap individu. Upaya ini bukan hanya bertujuan untuk mengurangi angka pelecehan seksual di lingkungan kampus, tetapi juga untuk menciptakan efek riak yang positif ke masyarakat luas.Perjalanan menuju kampus yang bebas dari bayang-bayang pelecehan seksual mungkin panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan tekad yang kuat dan tindakan nyata, kita dapat memastikan bahwa setiap mahasiswa dapat mengejar impian akademis mereka tanpa rasa takut, dan setiap korban mendapatkan dukungan serta perlindungan yang mereka butuhkan dan berhak dapatkan.

 

 

 


 

DAFTAR ISI

DetikNews.com.2023. “5 Fakta Kasus Eric Hiariej, Dosen UGM Dipecat atas Pelecehan Seks”. 5 Fakta Kasus Eric Hiariej, Dosen UGM Dipecat atas Pelecehan Seks (detik.com). Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024.

Detiknews (2024). Komnas Perempuan Catat 4,179 Kasus Kekerasan Seksual Pada 2022-2023.https://news.detik.com/berita/d-7323790/komnas-perempuan-catat-4-179-kasus-kekerasan-seksual-pada-2022-2023#:~:text=Komnas%20Perempuan%20Catat%204.179%20Kasus%20Kekerasan%20Seksual%20pada%202022%2D2023,-Gisella%20Previan%20Laoh&text=Komnas%20Perempuan%20mencatat%20jumlah%20kasus,Desember%202023%20mencapai%204.179%20kasus Diakses pada Minggu 21 Juli 2024

Dikti Kemendikbud (2020). Menciptakan Kampus Aman dan Nyaman Bebas dari Perundungan dan Kekerasan Seksual. http://www.dikti.go.id/kabar-dikti/kabar/menciptakan-kampus-aman-dan-nyaman-bebas-dari-perundungan-dan-kekerasan-seksual/ Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024 Pukul 19.30 WIB.

DPPPA Pemerintah Kabupaten Bantul (2022). Hati - Hati Ini Dampak Kekerasan Seksual Pada Psikis dan Fisik Korban. https://dp3appkb.bantulkab.go.id/news/hati-hati-ini-dampak-kekerasan-seksual-pada-psikis-dan-fisik-korban. Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024.

Halodoc.com.2022.Ini Dampak Jangka Panjang Kekerasan Seksual yang Terjadi pada Anak.https://www.halodoc.com/artikel/ini-dampak-jangka-panjang-kekerasan-seksual-yang-terjadi-pada-anak .Diakses pada Senin 22 Juli 2024.

Halodoc.com.2023.Kekerasan Seksual.https://www.halodoc.com/kesehatan/kekerasan-seksual.Diakses pada Senin 22 Juli 2024.

Hukumonline.com. 2024. Jerat pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya. https://www.hukumonline.com/klinik/a/pidana-pasal-pelecehan-seksual-cl3746/. Diakses pada Kamis 22 Februari 2024.

Kompas.id. 2022. “Kasus Kekerasan Seksual Dosen terhadap Mahasiswa Unand Dilanjutkan ke Kemendikbudristek”. Kasus Kekerasan Seksual Dosen terhadap Mahasiswa Unand Dilanjutkan ke Kemendikbudristek - Kompas.id. Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024 pukul 20.36 WIB

Kementerian Sekretariat Negara RI.2024. “Stop Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus!”.https://www.setneg.go.id/baca/index/stop_kekerasan_seksual_di_lingkungan_kampus . Diakses pada Minggu, 21 Juli 2024.

Suara.com (2022). 10 Dampak Pelecehan Seksual Bagi Korban, Salah Satunya Keinginan Bunuh Diri. https://www.suara.com/health/2022/06/15/115532/10-dampak-pelecehan-seksual-bagi-korban-salah-satunya-keinginan-bunuh-diri. Diakses pada Sabtu, 20 Juli 2024.

Kompas.com.2022.Pasal yang Mengatur Kekerasan Seksual. https://nasional.kompas.com/read/2022/02/22/00000091/pasal-yang-mengatur-kekerasan-seksual.Diakses pada Selasa, 22 Februari 2022 Pukul 00.00 WIB.

Kupipedia.id. 2021. Sistem Hukum Terkait Kekerasan Seksual di Indonesia dan Reformasi Hukum yang Dibutuhkan. https://kupipedia.id/index.php/Sistem_Hukum_Terkait_Kekerasan_Seksual_Di_Indonesia_Dan_Reformasi_Hukum_Yang_Dibutuhkan. Diakses pada Jumat 20 Agustus 2021 Pukul 05.43.

Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia (2024). Stop Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. https://www.setneg.go.id/baca/index/stop_kekerasan_seksual_di_lingkungan_kampus#:~:text=Penanganan%20korban%20kekerasan%20seksual%20diatur,dan%20rohani%20berdasarkan%20persetujuan%20korban . Diakses pada Minggu 21 Juli 2024.

UPH.2024. “ELEFAITH 2024: Aksi UPH Siapkan Mahasiswa Jadi Agen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus”.https://www.uph.edu/en/2024/05/02/elefaith-2024-aksi-uph-siapkan-mahasiswa-jadi-agen-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-di-kampus/ . Diakses pada Minggu, 21 Juli 2024.

Siaran Pers (2024). Siaran Pres Komnas Perempuan Tentang Peluncuran Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peluncuran-catatan-tahunan-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2023 Diakses Pada Minggu 21 Juli 2024

 

 

 

 

 

 


 

110 +
Average Pageviews Everyday
3400 +
Pageviews Last Month
32000 +
Total Pageviews Everytime

Ur Feedback

BEMF Farmasi UMS

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah sebuah lembaga eksekutif dalam menjalankan miniatur government yang berkemajuan, menjadi motor dari perubahan civitas akademika dan inspirasi bagi masyarakat.

Lt.1 Fakultas Farmasi UMS

Jl. Achmad Yani - Tromol Pos I Pabelan Kartosuro Sukoharjo

SOLOTOPRO

Solidaritas, Loyalitas, Totalitas, Profesionalitas

Email

solotopro[at]gmail.com

ipt>