Tuesday, August 16, 2022

RUU Praktik Apoteker sebagai Bentuk Kekuatan Hukum Profesi Apoteker


 

ARTIKEL KAJIAN

RUU Praktik Apoteker sebagai Bentuk Kekuatan Hukum Profesi Apoteker


Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Flavia Fanya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

RUU Praktik Apoteker adalah rancangan undang-undang yang membahas terkait ruang lingkup praktik apoteker (pendidikan apoteker, penyelenggaraan praktik, fasilitas praktik, produk sediaan farmasi, peran dan wewenang apoteker, serta hak dan kewajiban apoteker dan masyarakat). RUU ini dibuat dengan beberapa pertimbangan, yakni salah satunya kesehatan merupakan hak asasi dan kesejahteraan manusia serta untuk meningkatkan penyelenggaraan praktik apoteker untuk menjamin berbagai aspek kehidupan.

 

Hingga saat ini undang-undang tertinggi yang mengatur terkait kefarmasian jika dilihat dari hirarki peraturan perundangan di Indonesia, yang tercantum dalam UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah UU nomor 36 tahun 2009. Namun jika kita lihat dari kerinciannya dalam mengatur praktik kefarmasian, undang-undang yang tertinggi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Hal ini tentunya menjadi tanda tanya besar bagi kita, karena jika kita lihat dari UU nomor 12 tahun 2011, undang-undang berada pada urutan teratas yang artinya menjadi undang-undang tertinggi dan terkuat. Namun, hanya terdapat satu pasal pada UU nomor 36 tahun 2009 yang mengatur terkait praktik kefarmasian, yaitu pada pasal 108. Pada pasal tersebut pun tidak dijelaskan secara rinci mengenai praktik kefarmasian. Sedangkan PP nomor 51 tahun 2009 lebih menjelaskan secara rinci mengenai praktik kefarmasian, PP ini digunakan sebagai satu-satunya payung hukum kefarmasian. Tetapi Peraturan Pemerintah berada di urutan keempat pada hirarki peraturan perundangan di Indonesia yang tercantum dalam UU nomor 12 tahun 2011, yaitu lebih rendah dari undang-undang. Sehingga PP nomor 51 tahun 2009 yang selama ini kita pakai sebagai payung hukum kefarmasian tidak lebih kuat daripada undang-undang. Ketidakjelasan ini tentunya menjadi faktor utama pentingnya Undang-undang yang mengatur praktik apoteker.

 

Ketidakjelasan hukum yang mengatur mengenai undang-undang kefarmasian terlihat juga pada PP nomor 51 pasal 1 ayat 5 dan 6 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pasal 5 menyatakan, “Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker”. Dan pasal 6 menyatakan, “Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker”. Dari pengertian tersebut diketahui bahwa sarjana farmasi termasuk ke dalam TTK, sehingga dapat mengubah definisi apoteker menjadi “Apoteker adalah Tenaga Teknis Kefarmasian (Sarjana Farmasi) yang telah lulus apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker”. Padahal TTK bukan hanya terdiri dari sarjana farmasi, namu terdapat juga Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Dikhawatirkan dengan kesalah artian dari definisi apoteker tersebut kedepannya Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah


Farmasi/Asisten Apoteker juga dapat menempuh Program Studi Profesi Apoteker. Sehingga diperlukan adanya perbaikan UU untuk memperjelas definisi apoteker maupun TTK.

 

RUU Praktik Apoteker resmi menggantikan RUU Kefarmasian sebagai rancangan undang-undang yang diserahkan ke prolegnas pada 17 Januari 2022 dengan ditandatanganinya surat penyesuaian RUU Kefarmasian yang tercantum dalam Prolegnas 2019-2024 nomor 82 menjadi RUU Praktik Apoteker. Surat tersebut ditandatangani oleh Chairul Anwar selaku anggota DPR RI yang mengusulkan RUU Kefarmasian. Berita ini tentunya menjadi perbincangan cukup besar di dunia kefarmasian. Pada awalnya terdapat dua usulan terkait RUU Kefarmasian, yang pertama yaitu RUU Kefarmasian dan Kemandirian Farmasi Nasional yang berorientasi dominan pada pengembangan industri dan riset. Kedua, yaitu RUU Praktik Apoteker yang berorientasi dominan pada pengembangan pelayanan kefarmasian terutama praktik mandiri apoteker. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya RUU Kefarmasian telah tergantikan menjadi RUU Praktik Apoteker. Chairul Anwar menyatakan bahwasannya pengajuan RUU Kefarmasian merupakan usulan beliau sebagai anggota DPR RI yang memiliki jiwa korsa farmasi. Namun, lambat laun beliau menyadari bahwasannya apoteker lebih membutuhkan undang-undang praktik yang mengatur secara spesifik, sehingga memutuskan bersama dengan Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI) untuk mengajukan RUU Praktik Apoteker dan memperjuangkannya bersama.

 

Alasan lainnya mengenai pergantian tersebut salah satunya adalah tentang arti kata farmasi dan apoteker dalam penamaan draft RUU. Farmasi dan apoteker memiliki arti yang berbeda, jika farmasi mempunyai persamaan kata dengan ahli farmasi, sedangkan apoteker merupakan sarjana farmasi yang telah menempuh profesi apoteker. Kemudian, melihat organisasi profesi apoteker di Indonesia satu-satunya adalah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menggunakan kata ‘Apoteker’ sebagai nama organisasi, maka menjadi tidak selaras jika menggunakan kata ‘Kefarmasian’ pada judul draft RUU. Selain itu, jika kita menilik dari rekan sejawat kita yang telah memiliki undang-undang, seperti halnya dokter sebagai aktor utamanya memiliki UU Praktik Kedokteran, atau Bidan sebagai aktor utamanya memiliki UU Kebidanan. Sehingga, jika kita menggunakan RUU Kefarmasian maka aktor utamanya bukanlah apoteker tetapi farmasi. Itulah salah satu alasan mengapa judul draft RUU Praktik Apoteker lebih direkomendasikan untuk digunakan.

 

Terkait dalam hal urgensi RUU Praktik apoteker yang sampai saat ini masih menjadi suatu polemik di lingkup kefarmasian. Kita tahu bersama, bahwa RUU Praktik apoteker memang menjadi tolok ukur atau juga bisa dikatakan sebagai parameter mengenai “apakah profesi apoteker ini sudah memiliki status yang jelas dan benar diakui oleh masyarakat?’’. Kedudukan apoteker kian menjadi tanda tanya, apakah apoteker memiliki kedudukan yang sama dengan tenaga kerja kefarmasian (TTK) sebagaimana dijelaskan dalam PP 51/2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jika apoteker memiliki kedudukan yang sama dengan tenaga kerja kefarmasian lantas mengapa status nama apoteker ini masih dipertahankan?. Sehingga dalam hal ini diperlukan suatu wadah hukum yang bisa mengawasi dan membersamai praktik apoteker. RUU praktik apoteker sangat penting dan ditunggu-tunggu, karena merupakan payung hukum yang memuat aturan praktik kefarmasian dalam menaungi posisi


praktek keprofesian apoteker di tempat kerja. Adanya payung hukum yang kuat maka dapat memberikan jaminan dalam bekerja. Tidak sedikit kasus yang terjadi pada praktik apoteker.al ini menjadi salah satu dampak minimnya perlindungan hukum bagi apoteker. Saat ini sudah terdapat undang-undang yang mengatur tentang tenaga kesehatan yaitu UU 36 tahun 2009. Namun peraturan tersebut tidak dapat digunakan untuk melindungi kegiatan praktik apoteker secara berkelanjutan karena UU tersebut hanya mengatur secara umum untuk tenaga kesehatan, tidak hanya praktik apoteker.

 

Baru-baru ini, terdapat kabar mengejutkan mengenai diangkatnya dr. Artrien Adhiputri, Sp.P., M.Biomed sebagai Kepala Instalasi Farmasi di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Komentar-komentar masyarakat pun mulai bermunculan, ‘Bagaimana bisa Kepala Instalasi Farmasi bukanlah seorang apoteker melainkan seorang dokter?’. Seharusnya suatu Instalasi Farmasi dikepalai oleh seorang apoteker seperti yang telah diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Pada pasal 6 ayat 3 menyebutkan bahwasannya Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang apoteker sebagai penanggung jawab. Selain itu, PP 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga menegaskan bahwasannya pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker. Dengan kedua pasal tersebut secara jelas mengatakan bahwasannya Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit seharusnya adalah seorang Apoteker. Sehingga apa yang ditetapkan RSUD dr. Moewardi telah menyalahi peraturan yang ada. Hingga akhirnya dilakukan audiensi PD IAI dan HISFARSI Jawa Tengah dengan Perwakilan dari RSUD dr. Moewardi pada 3 Agustus 2022 untuk membahas terkait pemberitaan yang muncul. Dari audiensi tersebut, diperoleh kesepakatan sebagai berikut :

1.      IAI akan menyampaikan hasil konsolidasi dan penjelasan yang disampaikan dr Harsini, SpP (Kabid Pelayanan Penunjang) kepada anggota IAI, dengan tujuan memberikan informasi yang benar dan sesungguhnya.

2.      RSUD dr Moewardi/dr Harsini, SpP akan merevisi nomenklatur tentang SDM non apoteker sebagai Ka.InsFRS dr Moewardi dan akan menyampaikan informasi revisi tersebut melalui akun IG @rsud.moewardi.

3.      Ka IFRS dr Moewardi akan direvisi dan dikembalikan ke apt Dra Wahyu Sedjatiningsih, M.Sc., tanpa mengurangi kewenangan, kompetensi dan tupoksinya sebagaimana kewajiban dan tanggung jawab Ka IFRS sesuai regulasi yang ada.

Dengan berhasilnya audiensi tersebut, maka Jabatan Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit (Ka IFRS) RSUD dr Moewardi Surakarta dikembalikan kepada apt Dra Wahyu Sedjatiningsih. Walaupun masalah ini telah terselesaikan, namun jika mengingat kembali rasanya sangat miris. Ditakutkan di kemudian hari akan terjadi kasus-kasus serupa di Rumah Sakit lain atau mungkin dapat lebih parah dari ini. Sehingga, penting sekali adanya undang-undang yang kuat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi Apoteker agar nantinya tidak ada lagi yang bertindak semena-mena terhadap profesi Apoteker.

 

Keberhasilan RUU Praktik Apoteker tentunya tidak lepas dari peran mahasiswa. Namun, masih banyak pula mahasiswa yang belum mengetahui bahkan bahkan tidak peduli terhadap perkembangan RUU Praktik Apoteker itu sendiri. Ketika seorang mahasiswa


farmasi saja tidak ikut andil dalam mengawal dan memperjuangkan RUU Praktik Apoteker, lantas siapa lagi? . Oleh karenanya, kita sebagai mahasiswa farmasi yang mengetahui akan pentingnya RUU tersebut harus bisa membawa dampak positif kepada lingkungan kita dan memberi pengetahuan bahwasannya RUU ini sangat penting bagi perkembangan dunia farmasi.

 

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwasannya RUU Praktik Apoteker membahas terkait ruang lingkup apoteker. RUU praktek apoteker ini resmi menggantikan RUU Kefarmasian. Penggantian tersebut dibutuhkan untuk memaknai arti kefarmasian maupun apoteker itu sendiri. Dengan munculnya berbagai isu terkait apoteker yang ada, tentunya membuat penting sekali disahkannya RUU Praktik Apoteker. Sebagai mahasiswa kita juga harus berperan aktif dalam mengusung RUU tersebut untuk segera disahkan agar dimasa mendatang praktik apoteker memiliki jaminan hukum yang lebih kuat dan spesifik dalam menjalankan tugasnya.

 

 

Daftar Pustaka

 

Djusnir,     Mufti.     2021.     “Urgensi     RUU     Farmasi     dan     Praktik     Keapotekeran”. https://akurat.co/mufti-djusnir-beberkan-urgensi-ruu-farmasi-dan-praktik-keapotekeran diakses pada 25 Juli 2022.

Farmasetika.com. 2022. “Audiensi Berhasil, Kepala Instalasi Farmasi RSUD Moewardi Kembali Dijabat Apoteker”

https://farmasetika.com/2022/08/04/audiensi-berhasil-kepala-instalasi-farmasi-rsud-mo ewardi-kembali-dijabat-apoteker/#:~:text=Majalah%20Farmasetika%20%2D%20Direk tur%20Rumah%20Sakit,Biomed%20sebagai%20Kepala%20Instalasi%20Farmasi. diakses pada 6 Agustus 2022.

Farmasetika.com. 2022. “Direktur RSUD Moewardi Angkat Seorang Dokter Sebagai Kepala Instalasi Farmasi”

https://farmasetika.com/2022/08/03/direktur-rsud-moewardi-angkat-seorang-dokter-seb agai-kepala-instalasi-farmasi/ diakses pada 6 Agustus 2022.

Republik Indonesia. 2009. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan” https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/UU_36_2009_Kesehatan.pdf diakses pada 25 Juli 2022.

Republik Indonesia. 2011. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kesehatan”

https://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf diakses pada 25 Juli 2022.

Republik Indonesia. 2011. “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian”

https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/11/pp512009.pdf diakses pada 25 Juli 2022. Republik Indonesia. 2016. “Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit”


https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/105431/Permenkes%20Nomor%2072%20 Tahun%202016.pdf diakses pada 6 Agustus 2022.

Yasran,   Kasiyanto.    2021. “Urgensi UU Farmasi dan Praktik Keapotekeran dalam Perlindungan Praktek Peracikan di Apotek”.

https://wartajakarta.com/urgensi-uu-farmasi-dan-praktik-keapotekeran-dalam-perlindun gan-praktik-peracikan-di-apotek/ diakses pada 25 Juli 2022.

Yasran, Kasiyanto. 2022. “RUU Praktik Kefarmasian Resmi Diganti Jadi RUU Praktik Apoteker”

https://wartajakarta.com/ruu-praktik-kefarmasian-resmi-diganti-jadi-ruu-praktik-apotek er/ diakses pada 25 Juli 2022.

0 Response:

Ur Feedback

BEMF Farmasi UMS

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah sebuah lembaga eksekutif dalam menjalankan miniatur government yang berkemajuan, menjadi motor dari perubahan civitas akademika dan inspirasi bagi masyarakat.

Lt.1 Fakultas Farmasi UMS

Jl. Achmad Yani - Tromol Pos I Pabelan Kartosuro Sukoharjo

SOLOTOPRO

Solidaritas, Loyalitas, Totalitas, Profesionalitas

Email

solotopro[at]gmail.com