RUU Praktik Apoteker sebagai Bentuk Kekuatan Hukum Profesi Apoteker
ARTIKEL KAJIAN
RUU Praktik Apoteker sebagai Bentuk Kekuatan Hukum Profesi Apoteker
Biro Advokasi
dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Flavia Fanya
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
RUU Praktik Apoteker
adalah rancangan undang-undang yang membahas terkait
ruang lingkup praktik
apoteker (pendidikan apoteker,
penyelenggaraan praktik, fasilitas
praktik, produk sediaan farmasi, peran dan wewenang
apoteker, serta hak dan kewajiban apoteker dan masyarakat). RUU ini dibuat dengan beberapa
pertimbangan, yakni salah satunya
kesehatan merupakan hak asasi dan kesejahteraan manusia serta untuk
meningkatkan penyelenggaraan
praktik apoteker untuk menjamin berbagai aspek kehidupan.
Hingga
saat ini undang-undang tertinggi yang mengatur
terkait kefarmasian jika dilihat
dari hirarki peraturan perundangan di Indonesia, yang tercantum dalam UU nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah UU nomor 36 tahun 2009. Namun jika kita lihat dari kerinciannya dalam mengatur praktik
kefarmasian, undang-undang
yang tertinggi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Hal ini tentunya
menjadi tanda tanya besar bagi kita, karena jika kita lihat dari UU nomor 12 tahun 2011, undang-undang berada pada
urutan teratas yang artinya menjadi
undang-undang tertinggi dan terkuat. Namun, hanya terdapat satu pasal pada UU nomor 36 tahun 2009 yang mengatur terkait
praktik kefarmasian, yaitu pada pasal 108. Pada pasal tersebut pun tidak dijelaskan secara rinci mengenai
praktik kefarmasian. Sedangkan PP nomor
51 tahun 2009 lebih menjelaskan secara rinci mengenai praktik kefarmasian, PP
ini digunakan sebagai satu-satunya payung hukum kefarmasian. Tetapi Peraturan
Pemerintah berada di urutan keempat
pada hirarki peraturan perundangan di
Indonesia yang tercantum dalam UU
nomor 12 tahun 2011, yaitu lebih rendah dari undang-undang. Sehingga PP nomor 51 tahun 2009 yang selama ini kita pakai
sebagai payung hukum kefarmasian tidak lebih kuat daripada undang-undang. Ketidakjelasan ini tentunya menjadi
faktor utama pentingnya Undang-undang yang
mengatur praktik apoteker.
Ketidakjelasan hukum yang mengatur
mengenai undang-undang kefarmasian terlihat juga
pada PP nomor 51 pasal 1 ayat 5 dan 6 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Pasal 5 menyatakan, “Apoteker
adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker”. Dan pasal 6 menyatakan, “Tenaga
Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker
dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi,
Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker”. Dari pengertian tersebut
diketahui bahwa sarjana farmasi termasuk ke dalam TTK,
sehingga dapat mengubah definisi apoteker menjadi “Apoteker adalah Tenaga Teknis Kefarmasian (Sarjana Farmasi)
yang telah lulus apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker”. Padahal TTK bukan hanya terdiri dari sarjana
farmasi, namu terdapat
juga Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker. Dikhawatirkan dengan kesalah artian dari definisi
apoteker tersebut kedepannya Ahli Madya Farmasi,
Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker
juga dapat menempuh Program Studi Profesi Apoteker.
Sehingga diperlukan adanya
perbaikan UU untuk memperjelas definisi apoteker maupun TTK.
RUU Praktik Apoteker resmi menggantikan RUU
Kefarmasian sebagai rancangan undang-undang yang diserahkan ke prolegnas pada 17 Januari
2022 dengan ditandatanganinya surat penyesuaian RUU Kefarmasian yang tercantum dalam Prolegnas 2019-2024
nomor 82 menjadi
RUU Praktik Apoteker. Surat tersebut ditandatangani oleh Chairul
Anwar selaku anggota DPR RI
yang mengusulkan RUU Kefarmasian. Berita ini
tentunya menjadi perbincangan cukup besar di dunia kefarmasian. Pada
awalnya terdapat dua usulan terkait
RUU Kefarmasian, yang pertama yaitu RUU Kefarmasian dan Kemandirian Farmasi Nasional yang berorientasi dominan
pada pengembangan industri dan riset. Kedua,
yaitu RUU Praktik
Apoteker yang berorientasi dominan pada pengembangan pelayanan kefarmasian terutama
praktik mandiri apoteker.
Dengan beberapa pertimbangan
akhirnya RUU Kefarmasian telah tergantikan menjadi RUU Praktik
Apoteker. Chairul Anwar menyatakan bahwasannya pengajuan RUU Kefarmasian
merupakan usulan beliau sebagai anggota
DPR RI yang memiliki jiwa korsa farmasi. Namun, lambat laun beliau menyadari bahwasannya apoteker lebih membutuhkan undang-undang praktik yang mengatur secara spesifik, sehingga memutuskan bersama
dengan Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI) untuk mengajukan RUU Praktik Apoteker
dan memperjuangkannya bersama.
Alasan lainnya mengenai pergantian
tersebut salah satunya adalah tentang arti kata farmasi dan apoteker dalam penamaan draft RUU. Farmasi dan
apoteker memiliki arti yang berbeda, jika farmasi mempunyai persamaan kata dengan ahli farmasi, sedangkan
apoteker merupakan sarjana
farmasi yang telah menempuh profesi
apoteker. Kemudian, melihat
organisasi profesi apoteker di Indonesia satu-satunya adalah Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI) menggunakan kata ‘Apoteker’ sebagai
nama organisasi, maka menjadi
tidak selaras jika menggunakan kata
‘Kefarmasian’ pada judul draft RUU. Selain itu, jika kita menilik dari rekan sejawat kita yang telah memiliki
undang-undang, seperti halnya dokter sebagai aktor utamanya memiliki UU Praktik Kedokteran, atau Bidan sebagai
aktor utamanya memiliki UU Kebidanan. Sehingga,
jika kita menggunakan RUU Kefarmasian maka aktor utamanya
bukanlah apoteker tetapi farmasi. Itulah salah satu alasan mengapa judul
draft RUU Praktik Apoteker lebih
direkomendasikan untuk digunakan.
Terkait dalam hal urgensi RUU Praktik
apoteker yang sampai saat ini masih menjadi suatu polemik
di lingkup kefarmasian. Kita tahu bersama, bahwa RUU Praktik apoteker memang menjadi tolok ukur atau juga bisa
dikatakan sebagai parameter mengenai
“apakah profesi apoteker ini sudah
memiliki status yang jelas dan benar diakui oleh masyarakat?’’. Kedudukan apoteker kian menjadi tanda
tanya, apakah apoteker memiliki kedudukan yang
sama dengan tenaga kerja kefarmasian (TTK) sebagaimana
dijelaskan dalam PP 51/2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian. Jika apoteker
memiliki kedudukan yang sama dengan
tenaga kerja kefarmasian
lantas mengapa status nama apoteker ini masih dipertahankan?. Sehingga
dalam hal ini diperlukan suatu wadah hukum yang bisa mengawasi dan membersamai praktik
apoteker. RUU praktik
apoteker sangat penting
dan ditunggu-tunggu, karena merupakan payung
hukum yang memuat aturan praktik kefarmasian dalam menaungi posisi
praktek keprofesian apoteker di tempat kerja. Adanya payung
hukum yang kuat maka dapat memberikan jaminan
dalam bekerja. Tidak sedikit kasus yang terjadi
pada praktik apoteker.al ini menjadi salah satu dampak
minimnya perlindungan hukum bagi apoteker. Saat ini sudah terdapat
undang-undang yang mengatur
tentang tenaga kesehatan yaitu UU 36 tahun 2009. Namun peraturan
tersebut tidak dapat digunakan
untuk melindungi kegiatan praktik apoteker
secara berkelanjutan karena UU tersebut
hanya mengatur secara umum untuk tenaga
kesehatan, tidak hanya praktik apoteker.
Baru-baru ini, terdapat kabar mengejutkan mengenai
diangkatnya dr. Artrien
Adhiputri, Sp.P., M.Biomed
sebagai Kepala Instalasi
Farmasi di RSUD dr. Moewardi
Surakarta. Komentar-komentar masyarakat pun mulai bermunculan,
‘Bagaimana bisa Kepala Instalasi
Farmasi bukanlah seorang apoteker melainkan seorang dokter?’. Seharusnya suatu Instalasi Farmasi dikepalai oleh seorang
apoteker seperti yang telah diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Pada pasal 6 ayat 3 menyebutkan bahwasannya Instalasi Farmasi dipimpin oleh seorang apoteker sebagai penanggung
jawab. Selain itu, PP 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga menegaskan bahwasannya pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker. Dengan kedua pasal tersebut secara jelas mengatakan bahwasannya
Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
seharusnya adalah seorang Apoteker. Sehingga apa yang ditetapkan RSUD dr. Moewardi
telah menyalahi peraturan yang ada. Hingga akhirnya dilakukan audiensi PD IAI dan HISFARSI Jawa Tengah dengan Perwakilan
dari RSUD dr. Moewardi pada 3 Agustus 2022
untuk membahas terkait pemberitaan yang muncul. Dari audiensi tersebut,
diperoleh kesepakatan sebagai berikut
:
1. IAI akan menyampaikan hasil konsolidasi dan penjelasan
yang disampaikan dr Harsini, SpP (Kabid Pelayanan
Penunjang) kepada anggota
IAI, dengan tujuan memberikan
informasi yang benar dan sesungguhnya.
2. RSUD dr
Moewardi/dr Harsini, SpP akan merevisi nomenklatur tentang SDM non apoteker sebagai Ka.InsFRS dr Moewardi dan
akan menyampaikan informasi revisi tersebut
melalui akun IG @rsud.moewardi.
3.
Ka
IFRS dr Moewardi akan direvisi
dan dikembalikan ke apt Dra Wahyu Sedjatiningsih, M.Sc., tanpa mengurangi
kewenangan, kompetensi dan tupoksinya sebagaimana
kewajiban dan tanggung jawab Ka IFRS sesuai regulasi yang ada.
Dengan berhasilnya audiensi tersebut, maka Jabatan Kepala
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (Ka IFRS) RSUD dr Moewardi Surakarta
dikembalikan kepada apt Dra Wahyu Sedjatiningsih. Walaupun
masalah ini telah terselesaikan,
namun jika mengingat kembali rasanya
sangat miris. Ditakutkan di kemudian hari akan terjadi kasus-kasus serupa di
Rumah Sakit lain atau mungkin
dapat lebih parah dari ini. Sehingga, penting
sekali adanya undang-undang yang kuat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi
Apoteker agar nantinya tidak ada lagi yang bertindak semena-mena terhadap profesi Apoteker.
Keberhasilan RUU Praktik Apoteker
tentunya tidak lepas dari peran mahasiswa. Namun, masih banyak pula mahasiswa yang
belum mengetahui bahkan bahkan tidak peduli terhadap perkembangan RUU Praktik Apoteker
itu sendiri. Ketika seorang mahasiswa
farmasi saja tidak ikut andil dalam mengawal dan
memperjuangkan RUU Praktik Apoteker, lantas siapa lagi? . Oleh karenanya, kita
sebagai mahasiswa farmasi yang mengetahui akan
pentingnya RUU tersebut harus bisa membawa dampak positif kepada
lingkungan kita dan memberi pengetahuan bahwasannya RUU ini sangat penting
bagi perkembangan dunia farmasi.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwasannya RUU Praktik Apoteker
membahas terkait ruang lingkup apoteker. RUU praktek apoteker ini resmi
menggantikan RUU Kefarmasian. Penggantian tersebut dibutuhkan untuk memaknai arti kefarmasian maupun apoteker itu sendiri. Dengan munculnya
berbagai isu terkait apoteker yang ada, tentunya
membuat penting sekali disahkannya RUU Praktik Apoteker. Sebagai mahasiswa kita juga harus berperan aktif dalam
mengusung RUU tersebut untuk segera disahkan agar dimasa mendatang praktik apoteker memiliki jaminan hukum yang
lebih kuat dan spesifik dalam
menjalankan tugasnya.
Daftar Pustaka
Djusnir, Mufti. 2021. “Urgensi RUU Farmasi dan Praktik Keapotekeran”. https://akurat.co/mufti-djusnir-beberkan-urgensi-ruu-farmasi-dan-praktik-keapotekeran diakses pada 25 Juli 2022.
Farmasetika.com. 2022. “Audiensi
Berhasil, Kepala Instalasi
Farmasi RSUD Moewardi
Kembali Dijabat Apoteker”
https://farmasetika.com/2022/08/04/audiensi-berhasil-kepala-instalasi-farmasi-rsud-mo ewardi-kembali-dijabat-apoteker/#:~:text=Majalah%20Farmasetika%20%2D%20Direk tur%20Rumah%20Sakit,Biomed%20sebagai%20Kepala%20Instalasi%20Farmasi. diakses pada 6 Agustus 2022.
Farmasetika.com. 2022. “Direktur
RSUD Moewardi Angkat Seorang Dokter
Sebagai Kepala Instalasi Farmasi”
https://farmasetika.com/2022/08/03/direktur-rsud-moewardi-angkat-seorang-dokter-seb agai-kepala-instalasi-farmasi/ diakses pada 6
Agustus 2022.
Republik Indonesia. 2009. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan” https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/UU_36_2009_Kesehatan.pdf diakses
pada 25 Juli 2022.
Republik Indonesia. 2011. “Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Kesehatan”
https://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf diakses pada 25 Juli 2022.
Republik Indonesia. 2011. “Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian”
https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/11/pp512009.pdf diakses pada 25 Juli 2022. Republik Indonesia. 2016. “Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit”
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/105431/Permenkes%20Nomor%2072%20 Tahun%202016.pdf diakses pada 6 Agustus
2022.
Yasran, Kasiyanto. 2021. “Urgensi
UU Farmasi dan Praktik Keapotekeran dalam Perlindungan
Praktek Peracikan di Apotek”.
https://wartajakarta.com/urgensi-uu-farmasi-dan-praktik-keapotekeran-dalam-perlindun gan-praktik-peracikan-di-apotek/ diakses pada 25 Juli 2022.
Yasran, Kasiyanto. 2022. “RUU Praktik
Kefarmasian Resmi Diganti
Jadi RUU Praktik
Apoteker”
https://wartajakarta.com/ruu-praktik-kefarmasian-resmi-diganti-jadi-ruu-praktik-apotek er/ diakses pada 25 Juli 2022.