Kabinet harshabrata

Visi Kami

Menjadikan BEM FF UMS sebagai tonggak dan fasilitator dalam lingkup yang kolaboratif, prestatif dan solutif untuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh civitas akademika FF UMS

Misi Kami Tentang Harshabrata

Divisi Seni dan Olahraga Divisi Pengembangan Intelektual Divisi Pengembangan Organisasi dan Kaderisasi Divisi Islamic Student Center Divisi Eksternal Divisi Hubungan dan Sosial Masyarakat

Divisi Dana dan Usaha Divisi Media dan Publikasi Divisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa

News

Wednesday, September 1, 2021

Perlukah Perpanjangan Masa Studi Pendidikan Apoteker?

Perlukah Perpanjangan Masa Studi Pendidikan Apoteker?

 

Perlukah Perpanjangan Masa Studi Pendidikan Apoteker?

Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta


Proses penyelenggaraan Program Studi S1 Farmasi di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Melimpahnya program studi S1 Farmasi ini berdampak pada peningkatan jumlah lulusan dari berbagai latar belakang akreditasi dan kompetensi masing-masing universitas penyelenggara. Faktanya, dari beberapa universitas tersebut hanya sekitar 50 perguruan tinggi penyelenggara yang mendirikan PSPA (Program Studi Profesi Apoteker). Hal tersebut menyebabkan banyak lulusan S1 Farmasi yang tidak bisa melanjutkan ke profesi apoteker sehingga angka kebutuhan apoteker belum terpenuhi. Selain itu, terdapat faktor lain seperti kualitas pengajar, kurikulum, kompetensi, fasilitas, dan hal lain yang mendukung proses pengajaran apoteker.

Data persebaran apoteker di Indonesia saat ini ada kurang lebih 25.000 dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut terdapat perbandingan jumlah yang cukup signifikan antara apoteker terhadap jumlah penduduk Indonesia. Dilansir dari okelifestyle dan akurat.co, pada tahun 2019 hingga 2020, jumlah apoteker yang ada di Indonesia masih sangat kurang. Di beberapa puskesmas dan rumah sakit meskipun sudah memiliki cukup tenaga apoteker (11-12 orang apoteker) tetapi juga dinilai masih kurang. Sebagai contoh, pasien dari suatu rumah sakit tidak bisa mendapatkan pelayanan kefarmasian sesuai dengan kebutuhan mereka. Apotek di dalam rumah sakit tersebut terjadi kelalaian praktik, diantaranya terdapat stok obat kadaluarsa yang masih disimpan, terdapat beberapa obat yang rusak, hingga stok kosong. Hal ini tentu merugikan pasien karena tidak mendapatkan pelayanan kefarmasian yang layak. Maka dari itu, diperlukan strategi dalam meratakan jumlah apoteker pada populasi masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu memperbaiki sistem pendidikan kefarmasian dan mengembangkan kompetensi apoteker Indonesia terutama dalam bidang pelayanan sesuai dengan konstitusi yang dianut.

Bukti lainnya yaitu terdapat kasus pada tahun 2020, dimana pasien tidak bisa mendapatkan pelayanan kefarmasian sesuai dengan kebutuhan mereka dikarenakan kurangnya jumlah apoteker. Apotek di dalam rumah sakit tersebut juga terjadi kelalaian praktik, diantaranya terdapat stok obat kadaluarsa yang masih disimpan, terdapat beberapa obat yang rusak, hingga stok kosong. Hal ini tentu merugikan pasien karena tidak mendapatkan pelayanan kefarmasian yang layak. Maka dari itu, diperlukan strategi dalam meratakan jumlah apoteker pada populasi masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu memperbaiki sistem pendidikan kefarmasian dan mengembangkan kompetensi apoteker Indonesia terutama dalam bidang pelayanan sesuai dengan konstitusi yang dianut.

Permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan kefarmasian diantaranya adalah belum adanya  peraturan detail mengenai pendidikan farmasi dan apoteker, sistem penjurusan pada PSPA belum terfokus, banyaknya prodi farmasi yang masih terakreditasi C sehingga menyebabkan jauhnya perbandingan antara lulusan S1 Farmasi dengan PSPA, serta Rancunya pendidikan apoteker yang dinilai kurang efektif dari segi durasi waktu. PSPA dilakukan selama satu tahun, sedangkan mahasiswa tidak terfokuskan untuk mempelajari jurusan yang diambil, dalam artian ketika mengambil farmasi pelayanan, mahasiswa juga mempelajari terkait farmasi industri. Sehingga waktu tersebut kurang efektif dan menyebabkan kompetensi lulusan apoteker masih kurang.

Untuk mendukung program perbaikan pendidikan kefarmasian ini, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan, diantaranya adalah :

1. Perbedaan PSPA dan S1 Farmasi

    Menurut UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dijelaskan terkait salah satu perbedaan PSPA dengan S1 Farmasi yaitu yang terlihat jelas status yang akan diperoleh setelah menempuh pendidikan, untuk PSPA akan mendapatkan status sebagai Apoteker dan S1 Farmasi akan mendapatkan status sebagai Asisten Apoteker.  Begitu juga dengan ranah kerjanya, Apoteker bertanggung jawab sebagai apoteker di lingkup kerjanya sedangkan Asisten Apoteker sebagai asisten apoteker yang bekerja sesuai lingkupnya. Setelah selesai menempuh pendidikan, PSPA wajib mengikuti Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) agar dapat membuat STR dan akan mendapatkan sertifikat profesi seperti yang dijelaskan dalam UU No. 12 Pasal 21 ayat 5 dan 6 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

2. Fokus pendidikan 2010-2035 serta target pendidikan 2020-2035

  Fokus pembangunan pendidikan tahun 2010-2020 pembangunan pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi, kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Kemenristek dikti pada waktu itu ingin sebanyak-banyaknya meningkatkan akses di pendidikan untuk masyarakat Indonesia, maka dari itu akan lebih mudah instansi untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi atau S1. Berbeda dengan fokus pembangunan pendidikan sekarang yaitu tahun 2020-2035 yang dibawakan oleh Kemendikbud, fokus pendidikannya yaitu Indonesia harus meningkatkan angka partisipasi sekolah di seluruh jenjang, khususnya pada pendidikan prasekolah dan pendidikan tinggi. Jadi, lebih menekankan pada keterampilan dan mutu, keterampilan teknis baik praktis maupun kognitif, pengetahuan yang relevan dengan industri, dan keterampilan penelitian. Maka dari itu, sebenarnya ini adalah momentum yang bisa kita manfaatkan untuk memperbaiki pendidikan farmasi di Indonesia. Kemudian fokus ini lebih ditekankan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, yang disampaikan pada pidatonya yaitu,“Poin keempat untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia untuk memperbaiki kurikulum, pedagogi, dan asesmen.”

3. Akreditasi S1 Farmasi dan PSPA (dijelaskan secara ringkas menggunakan paragraf)

  Pada tahun 2021, terdapat 303 program studi S1 Farmasi dan sebanyak 50 PSPA. Hambatan pembukaan PSPA diantaranya adalah akreditasi dan tenaga pendidik. Namun, faktor besar terdapat pada akreditasi. Apabila akreditasi pada prodi S1-nya belum memenuhi persyaratan, maka kampus tersebut belum bisa mendirikan PSPA.

4. Kurikulum Farmasi di beberapa negara

    Ada 3 kurikulum farmasi yang berbeda dari 3 negara yang dapat kita jadikan suatu pembanding dengan kurikulum di Indonesia. Pertama, kurikulum farmasi di India yaitu memiliki susunan yang mirip dengan indonesia, yaitu masih banyak belajar kimia organik, kimia fisika, farmakognosi, dan lain-lain. Kedua, kurikulum farmasi di Finlandia yaitu memiliki susunan yang lebih terstruktur dari segi penjurusan, jadi ketika mahasiswa ingin memilih farmasi industri maka hal yang dipelajari terkait farmasi pada industri di era kini, sedangkan jika memilih farmasi pelayanan, maka yang dipelajari lebih menjurus mengenai pelayanan itu sendiri. Jadi, dengan susunan yang lebih terstruktur seperti ini akan membuat mahasiswa terdesain untuk belajar dan menggali lebih dalam, daripada mahasiswa yang mempelajari farmasi secara keseluruhan tetapi hanya permukaannya saja. Ketiga, kurikulum farmasi di USA yang terbagi menjadi dua yaitu B-pharm dan pharm-D. B-pharm didesain untuk farmasi di industri dan pharm-D didesain untuk farmasi pelayanan. Bedanya adalah konsep pharm-D yaitu 5 tahun dan 1 tahun pembelajarannya, 1 tahunnya full untuk praktek di luar. Sedangkan konsep B-pharm yaitu 4 tahun dan 2 tahun pembelajarannya, 2 tahunnya di luar untuk program apotekernya. Kurikulum farmasi di USA sudah dipisahkan antara farmasi industri dan farmasi pelayanan, serta pelajarannya pun sudah di konsepkan sesuai penjurusan dari semester 1, jadi mahasiswa akan lebih fokus pada penjurusan yang diminati.

PSPA dijadikan sebagai pendukung mahasiswa lulusan S1 Farmasi yang ingin mendapatkan gelar apoteker yang kemudian bisa bekerja di pelayanan kefarmasian maupun industri. Tetapi yang terjadi saat ini adalah ketika mahasiswa S1 Farmasi sudah melakukan penjurusan namun setelah memasuki PSPA penjurusan tersebut tidak lagi terfokus. Hal ini menjadikan pendidikan profesi kurang efektif. Selain itu, terdapat pula wacana mengenai penambahan waktu studi apoteker menjadi 1,5-2 tahun. Ada beberapa permasalahan lain yang muncul apabila wacana ini terealisasikan, diantaranya kendala biaya, keterserapan S1 Farmasi, Kesiapan Universitas dari segi dosen, dan Akreditasi apoteker.

Titik ancaman dari adanya Isu Pendidikan Kefarmasian :

1. Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi sebesar 50% sehingga dari target Moratorium          kemungkinan akan sulit perjalanannya, karena ada beberapa hal yang bisa menjadikan                          kemendikbud menunda perihal tersebut.

2. RUUF akan terhambat perjalanannya karena isu pendidikan ini termasuk ke dalam RUUF.

3. Kurangnya kesiapan dari Perguruan Tinggi, baik dari SDM, fasilitas, pengajar, dan lain-lain..

4. Kurangnya kesiapan mahasiswa dalam menghadapi perubahan sistem pendidikan.

Dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan perbaikan pendidikan kefarmasian, salah satunya adalah memfokuskan jurusan yang diambil mahasiswa pada saat PSPA supaya menciptakan lulusan apoteker yang lebih berkompeten. Selain itu, diperlukan juga peraturan profesi apoteker sebagai dasar hukum penyelenggaraan praktik kefarmasian.

 

Daftar Pustaka

Curriculum West Virginia University.

Database Hasil Akreditasi - LAM-PTKes. (2021). Retrieved 10 May 2021, from https://lamptkes.org/Hasil-Pencarian-Database-Hasil-Akreditasi?_token=u1bsFq4mMswRVIEi51WlQRSWaQlol3Wxp4eC7Ytb&_method=patch&jenjang=profesi&nama_pt=&nama_ps=Apoteker&thn=&ok=.

Database Hasil Akreditasi - LAM-PTKes. (2021). Retrieved 10 May 2021, from 

Kementerian Pendidikan dan Budaya. 2020. Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020 – 2035. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Muslimin. 2020. Membahayakan Pasien, Apoteker Indonesia Gugat Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 ke MA. https://akurat.co/membahayakan-pasien-apoteker-indonesia-gugat-permenkes-nomor-3-tahun-2020-ke-ma. Diakses pada 31 Agustus 2021.

Prasada, Siva & Maddirala Venkata, Siva Prasada Reddy & Airaksinen, Marja & Kielgast, Dr. (2013). Indian pharmacy curriculum: a comparison with the USA, Finland and Denmark. 10.13140/2.1.1281.5046.

Ramadhan, Ghiyats. 2018. Resume Data Moratorium S1 Farmasi. ISMAFARSI.

Survey ISMAFARSI Pada 2 Mei 2021.

Putri, Tiara. 2019 . Jumlah Apoteker di Indonesia Masih Belum Cukup Penuhi Kebutuhan Medis.https://lifestyle.okezone.com/read/2019/09/25/481/2109191/jumlah-apoteker-di-indonesia-masih-belum-cukup-penuhi-kebutuhan-medis?page=3. Diakses pada 31 Agustus 2021.

University of Southern California. Course Area of Concentration PharmD Curriculum.

110 +
Average Pageviews Everyday
3400 +
Pageviews Last Month
32000 +
Total Pageviews Everytime

Ur Feedback

BEMF Farmasi UMS

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah sebuah lembaga eksekutif dalam menjalankan miniatur government yang berkemajuan, menjadi motor dari perubahan civitas akademika dan inspirasi bagi masyarakat.

Lt.1 Fakultas Farmasi UMS

Jl. Achmad Yani - Tromol Pos I Pabelan Kartosuro Sukoharjo

SOLOTOPRO

Solidaritas, Loyalitas, Totalitas, Profesionalitas

Email

solotopro[at]gmail.com

ipt>