Monday, May 17, 2021

Perlakuan Khusus Obat Golongan Narkotik

 


ARTIKEL KAJIAN

Perlakuan Khusus Obat Golongan Narkotik

Komisi I Dewan Perwakilan Mahasiswa dan Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta


Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dijelaskan, pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari  tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Obat golongan narkotika dapat digunakan sebagai pengurang atau penghilang nyeri, karena sifatnya yang berkaitan dengan reseptor opioid yang ada di tubuh. Pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tertulis bahwa Penyerahan obat di atas hanya dapat dilakukan berdasarkan resep asli dari dokter. Resep yang diterima dalam rangka penyerahan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi wajib dilakukan skrining. Skrining ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk dan penulisan resep yang tidak tepat. Pasien berhak menerima resep apabila :

1.  Kelengkapan resep menjadi keharusan terutama paraf dokter untuk menilai keabsahan dari suatu         resep sehingga tidak terjadi penyalahgunaan resep dikalangan masyarakat terlebih berkaitan                 dengan penggunaan obat psikotropika dan narkotika.

2.  Pelayanan pasien harus dilakukan oleh apoteker di apotek adalah pelayanan resep yang meliputi           skrining resep. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 tahun 2016                       mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Skrining resep yang harus dilakukan                   terdiri dari : persyaratan administratif (kelengkapan resep), kesesuaian farmasetik dan                           pertimbangan   klinis. Kesesuaian Farmasetik terdiri dari nama obat, kekuatan obat, bentuk                   sediaan obat, jumlah total obat dan aturan pakai.

3.  Tanggal penulisan resep adalah waktu yang menunjukan resep tersebut ditulis oleh dokter                     penulis resep, oleh pihak apoteker tanggal resep akan memudahkan dalam mendokumentasikan           resep - resep di apotek disimpan dan didokumentasikan menurut urutan tanggal dan nomor                   penerimaan atau pembuatan resep. Pencantuman tanggal penulisan resep juga penting untuk                 memantau kepatuhan pasien terutama yang memerlukan pengobatan jangka panjang serta                     pemantauan resep yang berulang.

4.  Nomor telepon dokter dicantumkan apabila terjadi kekeliruan pada resep yang diberikan oleh               dokter yang bersangkutan sehingga apoteker dapat menghubungi langsung dokter untuk                       menanyakan kesalahan yang terjadi.

5.  Nama pasien, merupakan identitas pasien yang mendapat pengobatan dari dokter. Penulisan nama       yang tidak jelas akan menyebabkan obat keliru diberikan pada pasien.

6.  Alamat pasien digunakan untuk memudahkan pencarian pasien apabila terjadi kesalahan dalam           pemberian obat, sehingga pasien dapat langsung dihubungi, seperti terjadi tertukarnya pemberian          obat pada pasien lain dikarenakan pasien tersebut memiliki nama yang sama.

Penggolongan Narkotika berdasarkan pasal 6 UU narkotika yaitu:

a.  Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan       ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi                  mengakibatkan ketergantungan.

b.  Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan                   terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan             serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c.   Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam             terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi             mengakibatkan ketergantungan.

Dalam proses pelayanan obat narkotika tentunya berbeda dengan pelayanan obat pada umumnya. Sebelum diberikan obat, pasien berhak diberikan informasi tentang obat meliputi: nama  obat,  tujuan  pengobatan,  cara  pakai,  lamanya pengobatan,  efek  samping  yang mungkin  timbul,  serta  hal-hal  lain  yang  harus dilakukan  maupun  yang  harus  dihindari oleh  pasien  dalam menunjang pengobatan serta  informasi untuk pergi ke dokter jika sakit berlanjut/lebih dari 3 hari.

Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan dan pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter. Narkotika dapat menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat kesadaran (fungsi anestesi/bius), hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri (sedatif), munculnya semangat (euphoria), halusinasi atau timbulnya khayalan, dan dapat menimbulkan efek ketergantungan bagi penggunanya. Oleh karena itu, obat narkotika memiliki pelayanan yang lebih ketat daripada obat yang lainnya.

Pada tahun 2020, BPOM mengeluarkan peraturan nomor 8 tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan secara Daring. Dalam UU tersebut mengatur tentang penjualan dan daftar obat dan makanan yang boleh dijual secara online. Obat dan makanan meliputi Obat, Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan. Peredaran Obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat yang termasuk dalam golongan Obat bebas, Obat bebas terbatas dan Obat keras.  Penggolongan Obat bebas, Obat bebas terbatas, dan Obat keras sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini obat golongan narkotika tidak termasuk di dalamnya. Sehingga untuk obat golongan narkotika hanya boleh diberikan secara langsung dari apoteker kepada pasien atau dari dokter kepada pasien sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang.

Saat ini sedang marak masyarakat yang menyimpan, mengedarkan dan mengkonsumsi obat narkotika tanpa melalui resep dokter. Padahal obat ini jika digunakan tanpa resep dokter akan mendatangkan dampak negatif yang besar. Diantaranya adalah munculnya efek stimulan, halusinogen, dan depresan.

Stimulan adalah fungsi tubuh akan bekerja lebih tinggi dan bergairah. Jadi tubuh akan bekerja dengan kuat apabila mengkonsumsi obat ini, dan akan melemah apabila tidak mengkonsumsinya. Hal ini akan menimbulkan efek kecanduan. Contoh stimulan yang sering disalahgunakan adalah ekstasi dan sabu-sabu. Untuk halusinogen, yaitu perubahan pada perasaan, pikiran dan cara pandang seseorang terhadap suatu hal. Contohnya adalah ganja. Sedangkan untuk depresan adalah obat yang dapat menyebabkan perasaan seseorang menjadi lebih tenang. Pada efek ini, obat bekerja dengan menekan kerja sistem saraf pusat.

Salah satu kasus yang berkaitan dengan hal ini terjadi pada tahun 2016, seorang apoteker di Orlando, Florida, Amerika Serikat dihukum 24 tahun penjara dengan tuduhan pengeluaran obat golongan narkotika tanpa tujuan medis yang sah. Obat ini berupa oksikodon/oxycodon, yaitu obat pereda nyeri.

Valentine okonkwo, apoteker yang berusia 54 tahun ini sebelumnya juga pernah mendapat konspirasi, yaitu mendistribusikan dan mengeluarkan oksikodon di luar praktik kefarmasian (tanpa resep asli dari dokter). Okonkwo juga sering mendapatkan resep palsu dari pasien supaya bisa mendapatkan oksikodon ini. Apoteker ini sudah lama dicurigai karena pengeluaran obat oksikodon paling banyak terjadi pada dirinya. Jaksa agung pada saat itu mengatakan bahwa pasien yang selama ini membeli obat oksikodon pada Okonkwo merupakan pecandu narkoba. Inilah salah satu alasan mengapa dibutuhkan peraturan yang ketat dan jelas agar tidak terjadi kasus-kasus yang selanjutnya yang serupa.

Dalam pelaksanaannya, Kelalaian dalam penanganan narkotika oleh Pelaku usaha maupun apotek diatur dalam Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika pelaku usaha (apoteker) melanggar kewajiban, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Sedangkan, peraturan BPOM no. 4 Tahun 2018 menyebutkan bahwa tenaga kefarmasian yang melakukan kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dan tidak memenuhi standar pelayanan kefarmasian, akan mendapat sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan dan pencabutan izin.

Standar pelayanan kefarmasian yang dimaksud di atas adalah pelayana apotek yang meliputi pelayanan resep, promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial (Home Care). Pelayanan resep terdiri dari beberapa tahapan yaitu yang pertama apoteker harus melakukan skrining resep. Skrining resep meliputi persyaratan administratif seperti kelengkapan resep dari dokter tersebut, kemudian kesesuaian farmasetik, pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, dan lain-lain. Setelah melewati skrining resep, apoteker menyiapkan obat yang melewati tahapan-tahapan yaitu peracikan, etiket harus jelas dan mudah dibaca, pengemasan obat dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya, penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan, informasi obat yang diberikan harus benar, jelas, mudah dimengerti, lengkap, etis, bijaksana, dan terkini, konseling, dan monitoring penggunaan obat. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Selain itu, apoteker sebagai caregiver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Selain itu ada beberapa peraturan yang lain, diantaranya :

1.  Pasal 196 Undang - undang No.36 Tahun 2009 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi           atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau       persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal           98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda       paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2.  Pasal 197 Undang - undang No.36 Tahun 2009 tertulis bahwa setiap orang yang dengan sengaja           memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin       edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal  106 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling             lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus           juta rupiah).

3.  Pasal 198 Undang-undang No. 36 tahun 2009  Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan               kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal                       108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.

Daftar Pustaka

Farmasetika.com. 2016. Seorang Apoteker Dipenjara 24 Tahun Karena Menjual Narkotika Tanpa Resep. 

https://farmasetika.com/2016/07/28/seorang-apoteker-dipenjara-24-tahun-karena-menjual-narkotika-tanpa-resep/. Diakses pada 10 Mei 2021. 

Harjono dan Nuraini Farida. 1999. “Kajian Resep-Resep di Apotek sebagai Sarana

Meningkatkan Penulisan Resep yang Rasional”. Jurnal Kedokteran Yarsi: 7(1).

Kompas.com. 2020. “Patut untuk Dipahami, Berikut Beda Psikotropika dan Narkotika”.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/12/115500765/patut-untuk-dipahami-berikut-beda-psikotropika-dan-narkotika?page=all. Diakses pada 03 Mei 2021.

Peraturan BPOM No. 4 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat,

Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1027 Tahun

2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Menteri Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan

Makanan yang Diedarkan secara Daring.

Zaman, J. 2001. “Ars Prescribendi: Resep yang Rasional Jilid 23”. Universitas Airlangga:

Airlangga University press. 




0 Response:

Ur Feedback

BEMF Farmasi UMS

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah sebuah lembaga eksekutif dalam menjalankan miniatur government yang berkemajuan, menjadi motor dari perubahan civitas akademika dan inspirasi bagi masyarakat.

Lt.1 Fakultas Farmasi UMS

Jl. Achmad Yani - Tromol Pos I Pabelan Kartosuro Sukoharjo

SOLOTOPRO

Solidaritas, Loyalitas, Totalitas, Profesionalitas

Email

solotopro[at]gmail.com