Perlakuan Khusus Obat Golongan Narkotik
ARTIKEL KAJIAN
Perlakuan Khusus Obat Golongan Narkotik
Komisi I Dewan Perwakilan Mahasiswa dan Biro Advokasi dan
Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 dijelaskan, pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan. Obat golongan narkotika dapat digunakan
sebagai pengurang atau penghilang nyeri, karena sifatnya yang berkaitan dengan
reseptor opioid yang ada di tubuh. Pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras di Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian tertulis bahwa Penyerahan obat di atas hanya dapat
dilakukan berdasarkan resep asli dari dokter. Resep yang diterima dalam rangka
penyerahan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi wajib dilakukan
skrining. Skrining ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk dan penulisan resep
yang tidak tepat. Pasien berhak menerima resep apabila :
1. Kelengkapan resep menjadi keharusan terutama paraf dokter untuk menilai keabsahan dari suatu resep sehingga tidak terjadi penyalahgunaan resep dikalangan masyarakat terlebih berkaitan dengan penggunaan obat psikotropika dan narkotika.
2. Pelayanan pasien harus dilakukan oleh apoteker di apotek adalah pelayanan resep yang meliputi skrining resep. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 tahun 2016 mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Skrining resep yang harus dilakukan terdiri dari : persyaratan administratif (kelengkapan resep), kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Kesesuaian Farmasetik terdiri dari nama obat, kekuatan obat, bentuk sediaan obat, jumlah total obat dan aturan pakai.
3. Tanggal penulisan resep adalah waktu yang menunjukan resep tersebut ditulis oleh dokter penulis resep, oleh pihak apoteker tanggal resep akan memudahkan dalam mendokumentasikan resep - resep di apotek disimpan dan didokumentasikan menurut urutan tanggal dan nomor penerimaan atau pembuatan resep. Pencantuman tanggal penulisan resep juga penting untuk memantau kepatuhan pasien terutama yang memerlukan pengobatan jangka panjang serta pemantauan resep yang berulang.
4. Nomor telepon dokter dicantumkan apabila terjadi kekeliruan pada resep yang diberikan oleh dokter yang bersangkutan sehingga apoteker dapat menghubungi langsung dokter untuk menanyakan kesalahan yang terjadi.
5. Nama pasien, merupakan identitas pasien yang mendapat pengobatan dari dokter. Penulisan nama yang tidak jelas akan menyebabkan obat keliru diberikan pada pasien.
6. Alamat pasien digunakan untuk memudahkan pencarian pasien apabila terjadi kesalahan dalam pemberian obat, sehingga pasien dapat langsung dihubungi, seperti terjadi tertukarnya pemberian obat pada pasien lain dikarenakan pasien tersebut memiliki nama yang sama.
Penggolongan Narkotika berdasarkan
pasal 6 UU narkotika yaitu:
a. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Dalam proses pelayanan obat
narkotika tentunya berbeda dengan pelayanan obat pada umumnya. Sebelum
diberikan obat, pasien berhak diberikan informasi tentang obat meliputi:
nama obat, tujuan
pengobatan, cara pakai,
lamanya pengobatan, efek samping
yang mungkin timbul, serta
hal-hal lain yang
harus dilakukan maupun yang
harus dihindari oleh pasien
dalam menunjang pengobatan serta
informasi untuk pergi ke dokter jika sakit berlanjut/lebih dari 3 hari.
Narkotika hanya digunakan untuk
kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan dan pengobatan penyakit berdasarkan
resep dokter. Narkotika dapat menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat
kesadaran (fungsi anestesi/bius), hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri (sedatif), munculnya semangat (euphoria), halusinasi
atau timbulnya khayalan, dan dapat menimbulkan efek ketergantungan bagi
penggunanya. Oleh karena itu, obat narkotika memiliki pelayanan yang lebih
ketat daripada obat yang lainnya.
Pada tahun 2020, BPOM mengeluarkan
peraturan nomor 8 tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan
secara Daring. Dalam UU tersebut mengatur tentang penjualan dan daftar obat dan
makanan yang boleh dijual secara online. Obat dan makanan meliputi Obat, Obat
Tradisional, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan. Peredaran Obat secara
daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat yang termasuk dalam golongan Obat
bebas, Obat bebas terbatas dan Obat keras.
Penggolongan Obat bebas, Obat bebas terbatas, dan Obat keras sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini obat golongan
narkotika tidak termasuk di dalamnya. Sehingga untuk obat golongan narkotika
hanya boleh diberikan secara langsung dari apoteker kepada pasien atau dari
dokter kepada pasien sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam
undang-undang.
Saat ini sedang marak masyarakat
yang menyimpan, mengedarkan dan mengkonsumsi obat narkotika tanpa melalui resep
dokter. Padahal obat ini jika digunakan tanpa resep dokter akan mendatangkan
dampak negatif yang besar. Diantaranya adalah munculnya efek stimulan, halusinogen,
dan depresan.
Stimulan adalah fungsi tubuh akan bekerja lebih
tinggi dan bergairah. Jadi tubuh akan bekerja dengan kuat apabila mengkonsumsi
obat ini, dan akan melemah apabila tidak mengkonsumsinya. Hal ini akan
menimbulkan efek kecanduan. Contoh stimulan yang sering disalahgunakan adalah
ekstasi dan sabu-sabu. Untuk halusinogen, yaitu perubahan pada perasaan,
pikiran dan cara pandang seseorang terhadap suatu hal. Contohnya adalah ganja.
Sedangkan untuk depresan adalah obat yang dapat menyebabkan perasaan seseorang
menjadi lebih tenang. Pada efek ini, obat bekerja dengan menekan kerja sistem
saraf pusat.
Salah satu kasus yang berkaitan dengan hal ini terjadi pada tahun 2016, seorang apoteker di Orlando, Florida, Amerika Serikat dihukum 24 tahun penjara dengan tuduhan pengeluaran obat golongan narkotika tanpa tujuan medis yang sah. Obat ini berupa oksikodon/oxycodon, yaitu obat pereda nyeri.
Valentine okonkwo, apoteker yang berusia 54
tahun ini sebelumnya juga pernah mendapat konspirasi, yaitu mendistribusikan
dan mengeluarkan oksikodon di luar praktik kefarmasian (tanpa resep asli dari
dokter). Okonkwo juga sering mendapatkan resep palsu dari pasien supaya
bisa mendapatkan oksikodon ini. Apoteker ini sudah lama dicurigai karena
pengeluaran obat oksikodon paling banyak terjadi pada dirinya. Jaksa agung pada
saat itu mengatakan bahwa pasien yang selama ini membeli obat oksikodon pada
Okonkwo merupakan pecandu narkoba. Inilah salah satu alasan mengapa dibutuhkan
peraturan yang ketat dan jelas agar tidak terjadi kasus-kasus yang selanjutnya
yang serupa.
Dalam pelaksanaannya, Kelalaian dalam penanganan narkotika oleh Pelaku usaha maupun apotek diatur dalam Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika pelaku usaha (apoteker) melanggar kewajiban, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Sedangkan, peraturan BPOM no. 4 Tahun 2018 menyebutkan bahwa tenaga kefarmasian yang melakukan kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dan tidak memenuhi standar pelayanan kefarmasian, akan mendapat sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan dan pencabutan izin.
Standar pelayanan kefarmasian yang dimaksud di atas adalah pelayana apotek yang meliputi pelayanan resep, promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial (Home Care). Pelayanan resep terdiri dari beberapa tahapan yaitu yang pertama apoteker harus melakukan skrining resep. Skrining resep meliputi persyaratan administratif seperti kelengkapan resep dari dokter tersebut, kemudian kesesuaian farmasetik, pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, dan lain-lain. Setelah melewati skrining resep, apoteker menyiapkan obat yang melewati tahapan-tahapan yaitu peracikan, etiket harus jelas dan mudah dibaca, pengemasan obat dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya, penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan, informasi obat yang diberikan harus benar, jelas, mudah dimengerti, lengkap, etis, bijaksana, dan terkini, konseling, dan monitoring penggunaan obat. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Selain itu, apoteker sebagai caregiver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Selain itu
ada beberapa peraturan yang lain, diantaranya :
1. Pasal 196 Undang - undang No.36 Tahun 2009 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Pasal 197 Undang - undang No.36 Tahun 2009 tertulis bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 198 Undang-undang No. 36 tahun 2009 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Daftar Pustaka
Farmasetika.com. 2016. Seorang
Apoteker Dipenjara 24 Tahun Karena Menjual Narkotika Tanpa Resep.
https://farmasetika.com/2016/07/28/seorang-apoteker-dipenjara-24-tahun-karena-menjual-narkotika-tanpa-resep/.
Diakses pada 10 Mei 2021.
Harjono dan Nuraini Farida. 1999.
“Kajian Resep-Resep di Apotek sebagai Sarana
Meningkatkan Penulisan Resep yang
Rasional”. Jurnal Kedokteran Yarsi: 7(1).
Kompas.com. 2020. “Patut untuk Dipahami, Berikut Beda
Psikotropika dan Narkotika”.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/12/115500765/patut-untuk-dipahami-berikut-beda-psikotropika-dan-narkotika?page=all. Diakses pada 03 Mei
2021.
Peraturan BPOM No. 4 Tahun 2018
Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
Republik
Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1027 Tahun
2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Menteri Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan
Makanan yang Diedarkan secara
Daring.
Zaman, J. 2001. “Ars Prescribendi:
Resep yang Rasional Jilid 23”. Universitas Airlangga:
Airlangga University press.