Kabinet harshabrata

Visi Kami

Menjadikan BEM FF UMS sebagai tonggak dan fasilitator dalam lingkup yang kolaboratif, prestatif dan solutif untuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh civitas akademika FF UMS

Misi Kami Tentang Harshabrata

Divisi Seni dan Olahraga Divisi Pengembangan Intelektual Divisi Pengembangan Organisasi dan Kaderisasi Divisi Islamic Student Center Divisi Eksternal Divisi Hubungan dan Sosial Masyarakat

Divisi Dana dan Usaha Divisi Media dan Publikasi Divisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa

News

Friday, October 29, 2021

RUUF Tak Kunjung Mendapat Kepastian ?

RUUF Tak Kunjung Mendapat Kepastian ?


 RUUF Tak Kunjung Mendapat Kepastian?

Magang dan Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta


RUU Kefarmasian adalah rancangan undang-undang yang mengatur tentang proses pelayanan dan praktik kefarmasian, pendidikan farmasi, profesi apoteker, dan produk kefarmasian. Selain itu, RUU kefarmasian juga mencangkup larangan dan anjuran mengenai hal-hal yang dibolehkan dan dilarang dalam kefarmasian. Dalam PP nomor 51 tahun 2009 disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran, pengelolaan, dan pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Namun peran apoteker di indonesia hingga saat ini masih belum begitu dirasakan oleh masyarakat, atau hanya dikenal sebagai profesi yang memperjual belikan obat serta penjaga apotek. Masyarakat yang seharusnya membeli obat di apotek dan dilayani oleh seorang apoteker, kini bisa berganti dengan membeli obat tidak di apotek dan tidak ada APA dalam apotek tersebut maupun pada layanan non-faskes. Padahal peran apoteker dalam melakukan proses pelayanan dan pengawasan obat di masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah. Apoteker harus menempuh pendidikan dengan biaya yang tidak murah. Skill yang dimiliki pun juga harus melalui beberapa tahap seleksi. Namun tetap saja, profesi ini belum banyak dilirik oleh masyarakat bahkan dari pemerintah. Selain itu, belum adanya dasar baku yang terstandarisasi dalam penyelenggaraan pendidikan kefarmasian, menyebabkan masih terjadi perbedaan (gap) yang dirasakan oleh farmasis muda, terutama dalam kurikulum pendidikannya sehingga mempengaruhi kompetensi dan proses pembelajaran itu sendiri.. 

Permasalahan - permasalahan tersebut dikerucutkan oleh belum adanya UU yang mengatur tentang proses kefarmasian dan profesi apoteker. Diantara tenaga kesehatan yang lain seperti keperawatan, kebidanan, dan kedokteran, hanya apoteker yang belum memiliki undang-undang yang sah sehingga kesalahan kecil yang dilakukan oleh apoteker, belum ada dasar hukum yang membantu meringankan sanksi yang didapat. Segala bentuk peraturan dalam profesi ini seharusnya tertuang dan ditetapkan dalam UU yang sah, yang diharapkan akan mensejahterakan masa depan profesi apoteker.

Rancangan Undang-Undang Kefarmasian (RUUF) menjadi hal yang sangat penting karena ketidakjelasan payung hukum tertinggi yang menaungi praktik kefarmasian di Indonesia. Jika dilihat berdasarkan hierarki perundang-undangan yang disebutkan dalam UU nomor 12 tahun 2011 pasal 7 ayat 1,  peraturan yang menjadi payung hukum kefarmasian tertinggi adalah UU nomor 36 tahun 2009 yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai praktik kefarmasian. Sedangkan, PP nomor 51 tahun 2009 yang membahas mengenai pekerjaan kefarmasian, masih dalam level PP, sehingga levelnya lebih rendah daripada undang-undang. Padahal, jika dilihat dari aspek rinci tidaknya peraturan yang mengatur mengenai praktik kefarmasian, PP nomor 51 tahun 2009 menjadi payung tertinggi untuk praktik kefarmasian. Hal ini terjadi dikarenakan pada UU nomor 36 tahun 2009 hanya satu pasal yang membahas mengenai praktik kefarmasian, pasal tersebut pun perlu perincian lebih lanjut. Sementara itu, pada PP nomor 51 tahun 2009 menjelaskan hal-hal apa saja yang penting untuk dibahas mengenai praktik kefarmasian. Padahal seperti yang kita ketahui, bahwasannya praktik kefarmasian akan lebih terjamin jika adanya peraturan yang lebih kuat. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dan urgensi diadakannya UU Kefarmasian yang jelas dalam pengaturan mengenai praktik kefarmasian dan kuat secara hierarki perundang-undangan.

Perjalanan RUU Kefarmasian sejak dulu sampai sekarang belum menjadi pusat perhatian bagi pihak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berbagai cara sudah dilakukan untuk menjadikan UU Kefarmasian menjadi Prioritas dalam pembahasan Prolegnas. Sejak dulu, sudah diadakan pertemuan di gedung Parlemen DPR RI yang dihadiri oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas dari fraksi gerindra, beserta anggotanya. Pihak Ismafarsi sudah melakukan konsultasi dan juga delegasi bersama terkait pembahasan akan kejelasan perkembangan RUUF yang sudah diajukan. Sementara itu, salah satu anggota Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI) yaitu Fidi Setyawan menjelaskan, perjalanan draf dan naskah akademik RUU Kefarmasian dan Praktik Apoteker hingga resmi diterima Badan Legislasi DPR RI sudah berlangsung sejak 2019 dengan berbagai pihak. Perkataan yang sama dengan tahun sebelumnya, bahwa RUU Kefarmasian dijanjikan akan ditetapkan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Aksi damai yang sempat diadakan juga belum sepenuhnya optimal hingga seruan yang dilakukan dengan memanfaatkan media sosial yang ada juga belum kunjung mendapat tanggapan. Harapannya, dengan diadakannya aksi damai serta pemanfaatan media sosial tersebut Mahasiswa dapat membanjiri linimasa untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, seperti Lembaga - Lembaga Kesehatan maupun Masyarakat. Namun, pada kenyataannya semua adalah rencana yang tidak memiliki titik akhir tanpa penyelesaian yang pasti.

RUU Kefarmasian ini sangat penting dan diharapkan bisa terwujud menjadi Undang Undang secara resmi. Seperti yang kita ketahui bahwa bidang farmasi ini sangat luas sehingga tanpa UU Kefarmasian pelaksanaan tugas sebagai farmasis dan apoteker belum maksimal, dan akan sangat memberatkan apoteker apabila melakukan kesalahan karena belum adanya pedoman yang kuat dan baku yang dapat melindungi profesi apoteker. Sejauh ini, sudah banyak ditemukan kasus tentang penyalahgunaan produk obat seperti skincare, dari hasil pengamatan di lapangan banyak konsumen yang terjerumus menggunakan produk yang tidak berlisensi Depkes dan BPOM. Hal yang banyak dipertanyakan sampai sekarang adalah kenapa masih ada saja oknum yang berani untuk menjual produk ilegal yang sangat merugikan konsumen.  Contoh kasus nyata yang bisa kita lihat dari kabar berita yang dilansir dari DetikNews atas tuduhan kasus penggelapan obat psikotropika oleh apoteker, padahal ia hanya membawa barang bukti narkotika dan psikotropika dengan tujuan untuk melaporkan tindakan yang tidak sesuai. Sebelum banyak kasus serupa yang terjadi, ini bisa menjadi ancaman jika RUU Kefarmasian tidak segera disahkan.

RUU kefarmasian bersama ruu lainnya sudah dinyatakan resmi “ dioper ” dari prolegnas 2020 ke tahun 2021. Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh wakil badan ketua legislasi, Willy Adity, yang menyatakan bahwa alasan RUU kefarmasian bersama RUU yang awalnya masuk prolegnas 2020 dioper ke prolegnas 2021. Mengingat bahwa RUU ini sudah diajukan sejak tahun 2015, apa yang menjadi permasalahannya? Dan seberapa penting ruu ini?. Masalah ini sendiri pun sampai-sampai sekretaris jenderal pengurus pusat ikatan apoteker indonesia, menyikapi masalah ini dengan “sedikit” bijak?

Pangsa pasar industri farmasi tumbuh 12 % pertahun pada periode 2010-2014 dan diyakini terus bertambah. Mengutip data dari kalbe farma, TBK, pasar farmasi tanah air pada tahun 2020 diproyeksikan akan tumbuh mencapai nilai Rp. 102,8 triliun, dapat diartikan  bahwasannya industri farmasi tanah air sedang dalam tren ekspansi besar-besaran, akan banyak produk-produk farmasi yang tidak hanya diproduksi tetapi juga dipasarkan.

Melihat gambaran di atas, apakah ada respon yang patut kita berikan? Apakah kita seharusnya merasa bahagia karena pangsa pasar industri farmasi yang terus meningkat atau justru risau karena dalam angka angka yang besar tersebut terdapat sesuatu yang mengancam nyawa bangsa ini? Namun,berkembangnya industri farmasi dalam negeri bukanlah hal yang buruk. sudah saatnya negara ini maju dalam bidang kesehatan, salah satunya berkembangnya industri kesehatan termasuk industri farmasi.

Pada saat ini pergerakan RUU Kefarmasian diibaratkan masih  jalan ditempat, hal ini disebabkan prioritas pembahasan anggota dpr yang berubah, yang dimana awalnya membahas ruu kefarmasian, menjadi membahas tentang ruu pengawasan obat dan makanan, memang dapat kita lihat perubahan hal tersebut bukanlah hal yang salah, mengingat keterkaitan yang masih berhubungan dengan lingkup kerja kefarmasian. Lalu adanya UU No. 36 tahun 2014 yang mengatur tentang tenaga kesehatan menegaskan perlu adanya suatu peraturan yang jelas untuk praktik kefarmasian.

Berkaca dari fakta diatas, kita dapat simpulkan bahwa RUU Kefarmasian ini harus segera disahkan supaya tenaga kefarmasian dan apoteker memiliki payung hukum yang jelas dan masyarakat mendapatkan pelayanan kefarmasian yang lebih optimal. Walaupun perjalanan sangat rumit, proses untuk memperjuangkan RUU Kefarmasian ini tidak boleh berhenti begitu saja. Sehingga sangat dibutuhkan kekompakan seluruh elemen farmasi dan apoteker di indonesia. Kita sebagai mahasiswa farmasi selain mengawal isu ini juga harus lebih memperkenalkan eksistensi tenaga kefarmasian dan apoteker kepada masyarakat umum sehingga dapat meningkatkan citra apoteker pada masyarakat yang bisa mengembalikan kepercayaan mereka terhadap eksistensi profesi apoteker. Kami berharap, para elemen farmasi bisa mendukung RUU Kefarmasian ini hingga resmi disahkan. Semakin cepat disahkannya RUU Kefarmasian tersebut, maka permasalahan farmasi di Indonesia akan semakin cepat teratasi. Perjalanan yang kami lewati cukup panjang dan kami tidak ingin terbuang sia-sia tanpa mendapatkan kepastian. Dengan ini kami mendesak DPR-RI beserta pihak lain yang terkait agar segera melakukan membahas dan menetapkan RUU Kefarmasian di Tahun 2022!


Daftar Pustaka

Andi, Nugraha. 2015. Analisis Putusan Nomor 334/Pid. Sus/2015/PN. Dps tentang          

pengedaran kosmetika yang tidak memiliki izin edar dan tidak memiliki keahlian

dalam praktik kefarmasian ditinjau menurut perundang-undangan/Andi Nugraha.

Databoks.katadata.co.id. 2020. “ 2020, Pasar Farmasi Indonesia capai Rp.103 triliun ”   

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/03/07/2020-pasar-farmasi-indonesia

capai-rp-103-triliun Diakes pada 18 oktober 2021.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2015.         

https://www.dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi/id/129 Diakses pada 18 oktober

2021.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2015. “Praktik Kefarmasian”

https://www.dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi/id/129 Diakses pada 18 Oktober

2021.

detiknews. 2012. “Apoteker Jujur, Lapor Apotek Jual Narkotika Tanpa Izin Dibui 4 Bulan”

https://news.detik.com/berita/d-2037678/apoteker-jujur-lapor-apotek-jual-narkotika-ta

npa-izin-dibui-4-bulan. Diakses pada 18 oktober 2021.

Farmasetika.com. 2020. “ RUU Kefarmasian Resmi Dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020,                                diundur ke 2021” 

https://farmasetika.com/2020/07/02/ruu-kefarmasian-resmi-dicabut-dari-prolegnas-pri

oritas-2020-diundur-ke-2021/amp/. Diakses pada 18 oktober 2021.

Gatra.com. 2021.“MFI serahkah Draf RUU Farmasi dan Apoteker ke Baleg DPR”

https://www.gatra.com/detail/news/523925/politik/mfi-serahkan-draf-ruu-farmasi-dan

-apoteker-ke-baleg-dpr Diakses pada 18 Oktober 2021.

Hartini, Yustina Sri. 2009. Relevansi Peraturan dalam Mendukung Praktek Profesi Apoteker                              di Apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. 6.2: 5.

Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009.                              Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Usd.ac.id. 2019. “Kajian Online RUU Kefarmasian”.          

https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/bemfarmasi/kajian-online-ruu-kefarmaian/. Diakses

pada 18 Oktober 2021.

Wijayanti, Winda. 2013. Eksistensi Hukum Perawat sebagai Tenaga Kesehatan Selain    

Tenaga Kefarmasian terhadap Hak atas Pelayanan Kesehatan. Jurnal Dinamika

Hukum. 13(3). 521-539.

Wednesday, September 1, 2021

Perlukah Perpanjangan Masa Studi Pendidikan Apoteker?

Perlukah Perpanjangan Masa Studi Pendidikan Apoteker?

 

Perlukah Perpanjangan Masa Studi Pendidikan Apoteker?

Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta


Proses penyelenggaraan Program Studi S1 Farmasi di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Melimpahnya program studi S1 Farmasi ini berdampak pada peningkatan jumlah lulusan dari berbagai latar belakang akreditasi dan kompetensi masing-masing universitas penyelenggara. Faktanya, dari beberapa universitas tersebut hanya sekitar 50 perguruan tinggi penyelenggara yang mendirikan PSPA (Program Studi Profesi Apoteker). Hal tersebut menyebabkan banyak lulusan S1 Farmasi yang tidak bisa melanjutkan ke profesi apoteker sehingga angka kebutuhan apoteker belum terpenuhi. Selain itu, terdapat faktor lain seperti kualitas pengajar, kurikulum, kompetensi, fasilitas, dan hal lain yang mendukung proses pengajaran apoteker.

Data persebaran apoteker di Indonesia saat ini ada kurang lebih 25.000 dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut terdapat perbandingan jumlah yang cukup signifikan antara apoteker terhadap jumlah penduduk Indonesia. Dilansir dari okelifestyle dan akurat.co, pada tahun 2019 hingga 2020, jumlah apoteker yang ada di Indonesia masih sangat kurang. Di beberapa puskesmas dan rumah sakit meskipun sudah memiliki cukup tenaga apoteker (11-12 orang apoteker) tetapi juga dinilai masih kurang. Sebagai contoh, pasien dari suatu rumah sakit tidak bisa mendapatkan pelayanan kefarmasian sesuai dengan kebutuhan mereka. Apotek di dalam rumah sakit tersebut terjadi kelalaian praktik, diantaranya terdapat stok obat kadaluarsa yang masih disimpan, terdapat beberapa obat yang rusak, hingga stok kosong. Hal ini tentu merugikan pasien karena tidak mendapatkan pelayanan kefarmasian yang layak. Maka dari itu, diperlukan strategi dalam meratakan jumlah apoteker pada populasi masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu memperbaiki sistem pendidikan kefarmasian dan mengembangkan kompetensi apoteker Indonesia terutama dalam bidang pelayanan sesuai dengan konstitusi yang dianut.

Bukti lainnya yaitu terdapat kasus pada tahun 2020, dimana pasien tidak bisa mendapatkan pelayanan kefarmasian sesuai dengan kebutuhan mereka dikarenakan kurangnya jumlah apoteker. Apotek di dalam rumah sakit tersebut juga terjadi kelalaian praktik, diantaranya terdapat stok obat kadaluarsa yang masih disimpan, terdapat beberapa obat yang rusak, hingga stok kosong. Hal ini tentu merugikan pasien karena tidak mendapatkan pelayanan kefarmasian yang layak. Maka dari itu, diperlukan strategi dalam meratakan jumlah apoteker pada populasi masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu memperbaiki sistem pendidikan kefarmasian dan mengembangkan kompetensi apoteker Indonesia terutama dalam bidang pelayanan sesuai dengan konstitusi yang dianut.

Permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan kefarmasian diantaranya adalah belum adanya  peraturan detail mengenai pendidikan farmasi dan apoteker, sistem penjurusan pada PSPA belum terfokus, banyaknya prodi farmasi yang masih terakreditasi C sehingga menyebabkan jauhnya perbandingan antara lulusan S1 Farmasi dengan PSPA, serta Rancunya pendidikan apoteker yang dinilai kurang efektif dari segi durasi waktu. PSPA dilakukan selama satu tahun, sedangkan mahasiswa tidak terfokuskan untuk mempelajari jurusan yang diambil, dalam artian ketika mengambil farmasi pelayanan, mahasiswa juga mempelajari terkait farmasi industri. Sehingga waktu tersebut kurang efektif dan menyebabkan kompetensi lulusan apoteker masih kurang.

Untuk mendukung program perbaikan pendidikan kefarmasian ini, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan, diantaranya adalah :

1. Perbedaan PSPA dan S1 Farmasi

    Menurut UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dijelaskan terkait salah satu perbedaan PSPA dengan S1 Farmasi yaitu yang terlihat jelas status yang akan diperoleh setelah menempuh pendidikan, untuk PSPA akan mendapatkan status sebagai Apoteker dan S1 Farmasi akan mendapatkan status sebagai Asisten Apoteker.  Begitu juga dengan ranah kerjanya, Apoteker bertanggung jawab sebagai apoteker di lingkup kerjanya sedangkan Asisten Apoteker sebagai asisten apoteker yang bekerja sesuai lingkupnya. Setelah selesai menempuh pendidikan, PSPA wajib mengikuti Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) agar dapat membuat STR dan akan mendapatkan sertifikat profesi seperti yang dijelaskan dalam UU No. 12 Pasal 21 ayat 5 dan 6 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

2. Fokus pendidikan 2010-2035 serta target pendidikan 2020-2035

  Fokus pembangunan pendidikan tahun 2010-2020 pembangunan pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan relevansi, kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Kemenristek dikti pada waktu itu ingin sebanyak-banyaknya meningkatkan akses di pendidikan untuk masyarakat Indonesia, maka dari itu akan lebih mudah instansi untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi atau S1. Berbeda dengan fokus pembangunan pendidikan sekarang yaitu tahun 2020-2035 yang dibawakan oleh Kemendikbud, fokus pendidikannya yaitu Indonesia harus meningkatkan angka partisipasi sekolah di seluruh jenjang, khususnya pada pendidikan prasekolah dan pendidikan tinggi. Jadi, lebih menekankan pada keterampilan dan mutu, keterampilan teknis baik praktis maupun kognitif, pengetahuan yang relevan dengan industri, dan keterampilan penelitian. Maka dari itu, sebenarnya ini adalah momentum yang bisa kita manfaatkan untuk memperbaiki pendidikan farmasi di Indonesia. Kemudian fokus ini lebih ditekankan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, yang disampaikan pada pidatonya yaitu,“Poin keempat untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia untuk memperbaiki kurikulum, pedagogi, dan asesmen.”

3. Akreditasi S1 Farmasi dan PSPA (dijelaskan secara ringkas menggunakan paragraf)

  Pada tahun 2021, terdapat 303 program studi S1 Farmasi dan sebanyak 50 PSPA. Hambatan pembukaan PSPA diantaranya adalah akreditasi dan tenaga pendidik. Namun, faktor besar terdapat pada akreditasi. Apabila akreditasi pada prodi S1-nya belum memenuhi persyaratan, maka kampus tersebut belum bisa mendirikan PSPA.

4. Kurikulum Farmasi di beberapa negara

    Ada 3 kurikulum farmasi yang berbeda dari 3 negara yang dapat kita jadikan suatu pembanding dengan kurikulum di Indonesia. Pertama, kurikulum farmasi di India yaitu memiliki susunan yang mirip dengan indonesia, yaitu masih banyak belajar kimia organik, kimia fisika, farmakognosi, dan lain-lain. Kedua, kurikulum farmasi di Finlandia yaitu memiliki susunan yang lebih terstruktur dari segi penjurusan, jadi ketika mahasiswa ingin memilih farmasi industri maka hal yang dipelajari terkait farmasi pada industri di era kini, sedangkan jika memilih farmasi pelayanan, maka yang dipelajari lebih menjurus mengenai pelayanan itu sendiri. Jadi, dengan susunan yang lebih terstruktur seperti ini akan membuat mahasiswa terdesain untuk belajar dan menggali lebih dalam, daripada mahasiswa yang mempelajari farmasi secara keseluruhan tetapi hanya permukaannya saja. Ketiga, kurikulum farmasi di USA yang terbagi menjadi dua yaitu B-pharm dan pharm-D. B-pharm didesain untuk farmasi di industri dan pharm-D didesain untuk farmasi pelayanan. Bedanya adalah konsep pharm-D yaitu 5 tahun dan 1 tahun pembelajarannya, 1 tahunnya full untuk praktek di luar. Sedangkan konsep B-pharm yaitu 4 tahun dan 2 tahun pembelajarannya, 2 tahunnya di luar untuk program apotekernya. Kurikulum farmasi di USA sudah dipisahkan antara farmasi industri dan farmasi pelayanan, serta pelajarannya pun sudah di konsepkan sesuai penjurusan dari semester 1, jadi mahasiswa akan lebih fokus pada penjurusan yang diminati.

PSPA dijadikan sebagai pendukung mahasiswa lulusan S1 Farmasi yang ingin mendapatkan gelar apoteker yang kemudian bisa bekerja di pelayanan kefarmasian maupun industri. Tetapi yang terjadi saat ini adalah ketika mahasiswa S1 Farmasi sudah melakukan penjurusan namun setelah memasuki PSPA penjurusan tersebut tidak lagi terfokus. Hal ini menjadikan pendidikan profesi kurang efektif. Selain itu, terdapat pula wacana mengenai penambahan waktu studi apoteker menjadi 1,5-2 tahun. Ada beberapa permasalahan lain yang muncul apabila wacana ini terealisasikan, diantaranya kendala biaya, keterserapan S1 Farmasi, Kesiapan Universitas dari segi dosen, dan Akreditasi apoteker.

Titik ancaman dari adanya Isu Pendidikan Kefarmasian :

1. Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi sebesar 50% sehingga dari target Moratorium          kemungkinan akan sulit perjalanannya, karena ada beberapa hal yang bisa menjadikan                          kemendikbud menunda perihal tersebut.

2. RUUF akan terhambat perjalanannya karena isu pendidikan ini termasuk ke dalam RUUF.

3. Kurangnya kesiapan dari Perguruan Tinggi, baik dari SDM, fasilitas, pengajar, dan lain-lain..

4. Kurangnya kesiapan mahasiswa dalam menghadapi perubahan sistem pendidikan.

Dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan perbaikan pendidikan kefarmasian, salah satunya adalah memfokuskan jurusan yang diambil mahasiswa pada saat PSPA supaya menciptakan lulusan apoteker yang lebih berkompeten. Selain itu, diperlukan juga peraturan profesi apoteker sebagai dasar hukum penyelenggaraan praktik kefarmasian.

 

Daftar Pustaka

Curriculum West Virginia University.

Database Hasil Akreditasi - LAM-PTKes. (2021). Retrieved 10 May 2021, from https://lamptkes.org/Hasil-Pencarian-Database-Hasil-Akreditasi?_token=u1bsFq4mMswRVIEi51WlQRSWaQlol3Wxp4eC7Ytb&_method=patch&jenjang=profesi&nama_pt=&nama_ps=Apoteker&thn=&ok=.

Database Hasil Akreditasi - LAM-PTKes. (2021). Retrieved 10 May 2021, from 

Kementerian Pendidikan dan Budaya. 2020. Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020 – 2035. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Muslimin. 2020. Membahayakan Pasien, Apoteker Indonesia Gugat Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 ke MA. https://akurat.co/membahayakan-pasien-apoteker-indonesia-gugat-permenkes-nomor-3-tahun-2020-ke-ma. Diakses pada 31 Agustus 2021.

Prasada, Siva & Maddirala Venkata, Siva Prasada Reddy & Airaksinen, Marja & Kielgast, Dr. (2013). Indian pharmacy curriculum: a comparison with the USA, Finland and Denmark. 10.13140/2.1.1281.5046.

Ramadhan, Ghiyats. 2018. Resume Data Moratorium S1 Farmasi. ISMAFARSI.

Survey ISMAFARSI Pada 2 Mei 2021.

Putri, Tiara. 2019 . Jumlah Apoteker di Indonesia Masih Belum Cukup Penuhi Kebutuhan Medis.https://lifestyle.okezone.com/read/2019/09/25/481/2109191/jumlah-apoteker-di-indonesia-masih-belum-cukup-penuhi-kebutuhan-medis?page=3. Diakses pada 31 Agustus 2021.

University of Southern California. Course Area of Concentration PharmD Curriculum.

Monday, May 17, 2021

Perlakuan Khusus Obat Golongan Narkotik

Perlakuan Khusus Obat Golongan Narkotik

 


ARTIKEL KAJIAN

Perlakuan Khusus Obat Golongan Narkotik

Komisi I Dewan Perwakilan Mahasiswa dan Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta


Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dijelaskan, pengertian narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari  tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Obat golongan narkotika dapat digunakan sebagai pengurang atau penghilang nyeri, karena sifatnya yang berkaitan dengan reseptor opioid yang ada di tubuh. Pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi Golongan Obat Keras di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tertulis bahwa Penyerahan obat di atas hanya dapat dilakukan berdasarkan resep asli dari dokter. Resep yang diterima dalam rangka penyerahan Narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor Farmasi wajib dilakukan skrining. Skrining ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kelalaian pencantuman informasi, penulisan resep yang buruk dan penulisan resep yang tidak tepat. Pasien berhak menerima resep apabila :

1.  Kelengkapan resep menjadi keharusan terutama paraf dokter untuk menilai keabsahan dari suatu         resep sehingga tidak terjadi penyalahgunaan resep dikalangan masyarakat terlebih berkaitan                 dengan penggunaan obat psikotropika dan narkotika.

2.  Pelayanan pasien harus dilakukan oleh apoteker di apotek adalah pelayanan resep yang meliputi           skrining resep. Hal ini telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 tahun 2016                       mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Skrining resep yang harus dilakukan                   terdiri dari : persyaratan administratif (kelengkapan resep), kesesuaian farmasetik dan                           pertimbangan   klinis. Kesesuaian Farmasetik terdiri dari nama obat, kekuatan obat, bentuk                   sediaan obat, jumlah total obat dan aturan pakai.

3.  Tanggal penulisan resep adalah waktu yang menunjukan resep tersebut ditulis oleh dokter                     penulis resep, oleh pihak apoteker tanggal resep akan memudahkan dalam mendokumentasikan           resep - resep di apotek disimpan dan didokumentasikan menurut urutan tanggal dan nomor                   penerimaan atau pembuatan resep. Pencantuman tanggal penulisan resep juga penting untuk                 memantau kepatuhan pasien terutama yang memerlukan pengobatan jangka panjang serta                     pemantauan resep yang berulang.

4.  Nomor telepon dokter dicantumkan apabila terjadi kekeliruan pada resep yang diberikan oleh               dokter yang bersangkutan sehingga apoteker dapat menghubungi langsung dokter untuk                       menanyakan kesalahan yang terjadi.

5.  Nama pasien, merupakan identitas pasien yang mendapat pengobatan dari dokter. Penulisan nama       yang tidak jelas akan menyebabkan obat keliru diberikan pada pasien.

6.  Alamat pasien digunakan untuk memudahkan pencarian pasien apabila terjadi kesalahan dalam           pemberian obat, sehingga pasien dapat langsung dihubungi, seperti terjadi tertukarnya pemberian          obat pada pasien lain dikarenakan pasien tersebut memiliki nama yang sama.

Penggolongan Narkotika berdasarkan pasal 6 UU narkotika yaitu:

a.  Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan       ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi                  mengakibatkan ketergantungan.

b.  Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan                   terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan             serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c.   Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam             terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi             mengakibatkan ketergantungan.

Dalam proses pelayanan obat narkotika tentunya berbeda dengan pelayanan obat pada umumnya. Sebelum diberikan obat, pasien berhak diberikan informasi tentang obat meliputi: nama  obat,  tujuan  pengobatan,  cara  pakai,  lamanya pengobatan,  efek  samping  yang mungkin  timbul,  serta  hal-hal  lain  yang  harus dilakukan  maupun  yang  harus  dihindari oleh  pasien  dalam menunjang pengobatan serta  informasi untuk pergi ke dokter jika sakit berlanjut/lebih dari 3 hari.

Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan dan pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter. Narkotika dapat menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat kesadaran (fungsi anestesi/bius), hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri (sedatif), munculnya semangat (euphoria), halusinasi atau timbulnya khayalan, dan dapat menimbulkan efek ketergantungan bagi penggunanya. Oleh karena itu, obat narkotika memiliki pelayanan yang lebih ketat daripada obat yang lainnya.

Pada tahun 2020, BPOM mengeluarkan peraturan nomor 8 tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan secara Daring. Dalam UU tersebut mengatur tentang penjualan dan daftar obat dan makanan yang boleh dijual secara online. Obat dan makanan meliputi Obat, Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan. Peredaran Obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat yang termasuk dalam golongan Obat bebas, Obat bebas terbatas dan Obat keras.  Penggolongan Obat bebas, Obat bebas terbatas, dan Obat keras sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini obat golongan narkotika tidak termasuk di dalamnya. Sehingga untuk obat golongan narkotika hanya boleh diberikan secara langsung dari apoteker kepada pasien atau dari dokter kepada pasien sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang.

Saat ini sedang marak masyarakat yang menyimpan, mengedarkan dan mengkonsumsi obat narkotika tanpa melalui resep dokter. Padahal obat ini jika digunakan tanpa resep dokter akan mendatangkan dampak negatif yang besar. Diantaranya adalah munculnya efek stimulan, halusinogen, dan depresan.

Stimulan adalah fungsi tubuh akan bekerja lebih tinggi dan bergairah. Jadi tubuh akan bekerja dengan kuat apabila mengkonsumsi obat ini, dan akan melemah apabila tidak mengkonsumsinya. Hal ini akan menimbulkan efek kecanduan. Contoh stimulan yang sering disalahgunakan adalah ekstasi dan sabu-sabu. Untuk halusinogen, yaitu perubahan pada perasaan, pikiran dan cara pandang seseorang terhadap suatu hal. Contohnya adalah ganja. Sedangkan untuk depresan adalah obat yang dapat menyebabkan perasaan seseorang menjadi lebih tenang. Pada efek ini, obat bekerja dengan menekan kerja sistem saraf pusat.

Salah satu kasus yang berkaitan dengan hal ini terjadi pada tahun 2016, seorang apoteker di Orlando, Florida, Amerika Serikat dihukum 24 tahun penjara dengan tuduhan pengeluaran obat golongan narkotika tanpa tujuan medis yang sah. Obat ini berupa oksikodon/oxycodon, yaitu obat pereda nyeri.

Valentine okonkwo, apoteker yang berusia 54 tahun ini sebelumnya juga pernah mendapat konspirasi, yaitu mendistribusikan dan mengeluarkan oksikodon di luar praktik kefarmasian (tanpa resep asli dari dokter). Okonkwo juga sering mendapatkan resep palsu dari pasien supaya bisa mendapatkan oksikodon ini. Apoteker ini sudah lama dicurigai karena pengeluaran obat oksikodon paling banyak terjadi pada dirinya. Jaksa agung pada saat itu mengatakan bahwa pasien yang selama ini membeli obat oksikodon pada Okonkwo merupakan pecandu narkoba. Inilah salah satu alasan mengapa dibutuhkan peraturan yang ketat dan jelas agar tidak terjadi kasus-kasus yang selanjutnya yang serupa.

Dalam pelaksanaannya, Kelalaian dalam penanganan narkotika oleh Pelaku usaha maupun apotek diatur dalam Undang - undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jika pelaku usaha (apoteker) melanggar kewajiban, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Sedangkan, peraturan BPOM no. 4 Tahun 2018 menyebutkan bahwa tenaga kefarmasian yang melakukan kegiatan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dan tidak memenuhi standar pelayanan kefarmasian, akan mendapat sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan dan pencabutan izin.

Standar pelayanan kefarmasian yang dimaksud di atas adalah pelayana apotek yang meliputi pelayanan resep, promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial (Home Care). Pelayanan resep terdiri dari beberapa tahapan yaitu yang pertama apoteker harus melakukan skrining resep. Skrining resep meliputi persyaratan administratif seperti kelengkapan resep dari dokter tersebut, kemudian kesesuaian farmasetik, pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, dan lain-lain. Setelah melewati skrining resep, apoteker menyiapkan obat yang melewati tahapan-tahapan yaitu peracikan, etiket harus jelas dan mudah dibaca, pengemasan obat dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya, penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan, informasi obat yang diberikan harus benar, jelas, mudah dimengerti, lengkap, etis, bijaksana, dan terkini, konseling, dan monitoring penggunaan obat. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Selain itu, apoteker sebagai caregiver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Selain itu ada beberapa peraturan yang lain, diantaranya :

1.  Pasal 196 Undang - undang No.36 Tahun 2009 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi           atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau       persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal           98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda       paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2.  Pasal 197 Undang - undang No.36 Tahun 2009 tertulis bahwa setiap orang yang dengan sengaja           memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin       edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal  106 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling             lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus           juta rupiah).

3.  Pasal 198 Undang-undang No. 36 tahun 2009  Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan               kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal                       108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.

Daftar Pustaka

Farmasetika.com. 2016. Seorang Apoteker Dipenjara 24 Tahun Karena Menjual Narkotika Tanpa Resep. 

https://farmasetika.com/2016/07/28/seorang-apoteker-dipenjara-24-tahun-karena-menjual-narkotika-tanpa-resep/. Diakses pada 10 Mei 2021. 

Harjono dan Nuraini Farida. 1999. “Kajian Resep-Resep di Apotek sebagai Sarana

Meningkatkan Penulisan Resep yang Rasional”. Jurnal Kedokteran Yarsi: 7(1).

Kompas.com. 2020. “Patut untuk Dipahami, Berikut Beda Psikotropika dan Narkotika”.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/12/115500765/patut-untuk-dipahami-berikut-beda-psikotropika-dan-narkotika?page=all. Diakses pada 03 Mei 2021.

Peraturan BPOM No. 4 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat,

Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1027 Tahun

2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Menteri Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan

Makanan yang Diedarkan secara Daring.

Zaman, J. 2001. “Ars Prescribendi: Resep yang Rasional Jilid 23”. Universitas Airlangga:

Airlangga University press. 




Saturday, May 8, 2021

Sepenting Apa sih RUU Waspom ?

Sepenting Apa sih RUU Waspom ?


ARTIKEL KAJIAN

Sepenting Apa sih RUU Waspom?

Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta


RUU Pengawasan Obat dan Makanan (Waspom) adalah rancangan undang-undang tentang pengawasan obat dan makanan yang spesifik mengatur pengawasan obat dan makanan dalam rangka perlindungan masyarakat. Minimnya pengawasan dalam peredaran obat mengakibatkan penyebaran obat ilegal yang semakin banyak hingga menimbulkan berbagai penyimpangan. Hal ini sangat membahayakan kesehatan masyarakat karena tidak adanya jaminan keamanan dan mutu obat. Oleh karena itu, undang-undang ini sangat dibutuhkan untuk melindungi masyarakat agar mendapatkan keamanan dan kenyamanan serta memberi kekuatan BPOM dalam penindakan.

RUU Waspom masuk ke dalam Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019 dan telah menjadi RUU Prioritas dari 2018. Kemudian, Komisi IX menggodok regulasi terkait pengawasan obat dan makanan dan juga menjadi usul inisiatif DPR. Komisi IX juga telah membentuk panitia kerja (panja) dalam penyusunan RUU Waspom, dan panitia kerja pun telah meminta masukan dari masyarakat dan stakeholder terkait mengenai penyusunan RUU Waspom. Namun hingga saat ini, tidak ada undang-undang yang spesifik mengatur pengawasan obat dan makanan dalam rangka perlindungan masyarakat.

RUU Waspom pernah dibahas pada periode 2014-2019 namun hingga saat ini belum juga terselesaikan. Pada akhirnya, RUU Waspom ini masuk pada pembahasan prolegnas tahun 2020-2024. Salah satu alasan mengapa RUU ini penting untuk disahkan adalah membantu BPOM dalam melaksanakan tugasnya, yaitu mengawasi peredaran obat dan makanan di Indonesia. Belum adanya kejelasan RUU ini membuat BPOM terbatas dalam melakukan penyelidikan terhadap beberapa kasus peredaran obat ilegal. Selain itu, ada beberapa urgensi dari RUU Waspom ini, diantaranya adalah :

1.     Masyarakat akan lebih banyak yang memperjual belikan obat tanpa memenuhi aturan dari yang sudah ditentukan oleh BPOM,

2.      Merugikan masyarakat awam yang dengan mudah percaya akan suatu produk obat,

3.   Mencegah peredaran obat secara ilegal baik langsung maupun secara online yang luput dari pengawasan BPOM,

4.      Menciptakan produk dalam negeri yang berkualitas,

5.   Membutuhkan suatu landasan hukum agar dapat  mengurangi peredaran obat secara ilegal di masyarakat,

6.      Memberikan efek jera bagi pelaku peredaran obat ilegal.

Berangkat dari urgensi di atas, ada beberapa kasus yang ditimbulkan dari lemahnya pengawasan obat dan makanan di bidang kefarmasian. Kasus yang baru-baru ini terjadi adalah BPOM menemukan penjualan obat dan jamu yang mengandung bahan kimia berbahaya secara online. Obat yang ditemukan adalah obat yang biasanya digunakan untuk pasien positif virus corona, antara lain Hydroxychloroquine, Asimptomisin, dan Dexamethasone. Selain itu, pihak BPOM juga mencatat adanya kenaikan kasus penjualan obat secara ilegal selama masa pandemi. 

Berangkat dari urgensi di atas, ada beberapa kasus yang ditimbulkan dari lemahnya pengawasan obat dan makanan di bidang kefarmasian. Kasus yang baru-baru ini terjadi adalah BPOM menemukan penjualan obat dan jamu yang mengandung bahan kimia berbahaya secara online. Obat yang ditemukan adalah obat yang biasanya digunakan untuk pasien positif virus corona, antara lain Hydroxychloroquine, Asimptomisin, dan Dexamethasone. Selain itu, pihak BPOM juga mencatat adanya kenaikan kasus penjualan obat secara ilegal selama masa pandemi.

Pada tanggal 23 September 2020, BPOM melakukan operasi penindakan di Bekasi. dari operasi penindakan tersebut ditemukan sebanyak 60 item obat atau 78.412 pcs obat tanpa izin edar dan mengandung bahan kimia dan ditaksir temuan obat tersebut senilai Rp3,2 Miliar. Pelaku diduga menjual obat-obatan tersebut secara online. Selama kurun waktu Maret-September 2020 itu, telah dilakukan operasi penindakan di 29 provinsi dengan nilai temuan barang bukti sebesar Rp46,7 Miliar.

Dilihat dari urgensi-urgensi yang ada, RUU Waspom ini memiliki banyak hal positif apabila segera disahkan, seperti adanya pengawasan yang lebih ketat untuk jual beli obat, melindungi masyarakat dari efek samping obat jika membelinya secara bebas, terhindarnya konsumen dari obat-obatan yang berbahaya, memberi kewenangan kepada BPOM untuk melakukan penyidikan, mendorong daya saing produk dalam negeri yang berkualitas, menyadarkan dan melindungi proses perizinan oleh Badan POM, memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan obat ilegal, dan lain-lain.

Berkaca dari fakta yang ada, apoteker dan stakeholder yang terkait lainnya memegang peran penting dalam pengawalan RUU Waspom ini. Hal yang bisa kita lakukan adalah menghimbau kerabat terdekat kita dan masyarakat untuk membeli obat dan makanan yang telah mencantumkan izin edar dari BPOM sehingga mutu dan kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, sebagai masyarakat pentingnya saling mengedukasi dan lebih bijak lagi dalam membeli obat dan makanan yang beredar di pasaran.

Dengan beberapa pertimbangan yang dijelaskan di atas, maka alangkah baiknya apabila RUU ini segera disahkan agar BPOM juga lebih bisa memaksimalkan perannya dalam melakukan pengawasan obat dan makanan. tugas kita adalah harus selalu mengedukasi satu sama lain, dan saling mengingatkan untuk tidak membeli produk yang belum jelas identitasnya dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan.


Daftar Pustaka

CNN Indonesia. 2019. “RUU Pengawasan Obat dan Makanan Resmi Jadi Usul Inisiatif    DPR” 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190725165659-32-415502/ruu-pengawasan-obat-dan-makanan-resmi-jadi-usul-inisiatif-dpr Diiakses pada 01 Mei 2021.

CNN Indonesia. 2020. “BPOM Temukan Obat Ilegal Terkait Covid Dijual Online”

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200925175729-20-551091/bpom-temukan-obat-ilegal-terkait-covid-dijual-online Diakses pada 01 Mei 2021.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2019. “Komisi IX Dorong BPOM Punya

Kewenangan Penyidikan”

https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/25140/t/Komisi+IX+Dorong+BPOM+Punya+Kewenangan+Penyidikan Diakses pada 01 Mei 2021.

Zuhriyah, Dewi Aminatuz. 2019. “RUU Pengawasan Obat dan Makanan Mulai Dibahas   Januari 2020”

https://ekonomi.bisnis.com/read/20191210/12/1179766/ruu-pengawasan-obat-dan-makanan-mulai-dibahas-januari-2020 Diakses pada 01 mei 2021.



110 +
Average Pageviews Everyday
3400 +
Pageviews Last Month
32000 +
Total Pageviews Everytime

Ur Feedback

BEMF Farmasi UMS

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah sebuah lembaga eksekutif dalam menjalankan miniatur government yang berkemajuan, menjadi motor dari perubahan civitas akademika dan inspirasi bagi masyarakat.

Lt.1 Fakultas Farmasi UMS

Jl. Achmad Yani - Tromol Pos I Pabelan Kartosuro Sukoharjo

SOLOTOPRO

Solidaritas, Loyalitas, Totalitas, Profesionalitas

Email

solotopro[at]gmail.com

ipt>