RUUF Tak Kunjung Mendapat Kepastian ?
Magang dan
Biro Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet Evermore
Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
RUU Kefarmasian adalah rancangan
undang-undang yang mengatur tentang proses pelayanan dan praktik kefarmasian,
pendidikan farmasi, profesi apoteker, dan produk kefarmasian. Selain itu, RUU
kefarmasian juga mencangkup larangan dan anjuran mengenai hal-hal yang dibolehkan dan dilarang dalam
kefarmasian. Dalam PP nomor 51 tahun 2009 disebutkan bahwa pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran, pengelolaan,
dan pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional.
Namun peran apoteker di indonesia
hingga saat ini masih belum begitu dirasakan oleh masyarakat, atau hanya
dikenal sebagai profesi yang memperjual belikan obat serta penjaga apotek.
Masyarakat yang seharusnya membeli obat di apotek dan dilayani oleh seorang
apoteker, kini bisa berganti dengan membeli obat tidak di apotek dan tidak ada
APA dalam apotek tersebut maupun pada layanan non-faskes. Padahal peran
apoteker dalam melakukan proses pelayanan dan pengawasan obat di masyarakat
bukanlah pekerjaan yang mudah. Apoteker harus menempuh pendidikan dengan biaya
yang tidak murah. Skill yang dimiliki pun juga harus melalui beberapa tahap
seleksi. Namun tetap saja, profesi ini belum banyak dilirik oleh masyarakat
bahkan dari pemerintah. Selain itu, belum adanya dasar baku yang
terstandarisasi dalam penyelenggaraan pendidikan kefarmasian, menyebabkan masih
terjadi perbedaan (gap) yang
dirasakan oleh farmasis muda, terutama dalam kurikulum pendidikannya sehingga
mempengaruhi kompetensi dan proses pembelajaran itu sendiri..
Permasalahan - permasalahan tersebut
dikerucutkan oleh belum adanya UU yang mengatur tentang proses kefarmasian dan
profesi apoteker. Diantara tenaga kesehatan yang lain seperti keperawatan,
kebidanan, dan kedokteran, hanya apoteker yang belum memiliki undang-undang
yang sah sehingga kesalahan kecil yang
dilakukan oleh apoteker, belum ada dasar hukum yang membantu meringankan sanksi
yang didapat. Segala bentuk peraturan dalam profesi ini seharusnya tertuang dan
ditetapkan dalam UU yang sah, yang diharapkan akan mensejahterakan masa depan
profesi apoteker.
Rancangan
Undang-Undang Kefarmasian (RUUF) menjadi hal yang sangat penting karena
ketidakjelasan payung hukum tertinggi yang menaungi praktik kefarmasian di
Indonesia. Jika dilihat berdasarkan hierarki perundang-undangan yang disebutkan
dalam UU nomor 12 tahun 2011 pasal 7 ayat 1,
peraturan yang menjadi payung hukum kefarmasian tertinggi adalah UU
nomor 36 tahun 2009 yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai praktik
kefarmasian. Sedangkan, PP nomor 51 tahun 2009 yang membahas mengenai pekerjaan
kefarmasian, masih dalam level PP, sehingga levelnya lebih rendah daripada
undang-undang. Padahal, jika dilihat dari aspek rinci tidaknya peraturan yang
mengatur mengenai praktik kefarmasian, PP nomor 51 tahun 2009 menjadi payung
tertinggi untuk praktik kefarmasian. Hal ini terjadi dikarenakan pada UU nomor
36 tahun 2009 hanya satu pasal yang membahas mengenai praktik kefarmasian,
pasal tersebut pun perlu perincian lebih lanjut. Sementara itu, pada PP nomor
51 tahun 2009 menjelaskan hal-hal apa saja yang penting untuk dibahas mengenai
praktik kefarmasian. Padahal seperti yang kita ketahui, bahwasannya praktik
kefarmasian akan lebih terjamin jika adanya peraturan yang lebih kuat. Inilah
yang menjadi salah satu pertimbangan dan urgensi diadakannya UU Kefarmasian
yang jelas dalam pengaturan mengenai praktik kefarmasian dan kuat secara hierarki
perundang-undangan.
Perjalanan RUU Kefarmasian sejak
dulu sampai sekarang belum menjadi pusat perhatian bagi pihak Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. Berbagai cara sudah dilakukan untuk menjadikan UU
Kefarmasian menjadi Prioritas dalam pembahasan Prolegnas. Sejak dulu, sudah
diadakan pertemuan di gedung Parlemen DPR RI yang dihadiri oleh Ketua Badan
Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas dari fraksi gerindra, beserta
anggotanya. Pihak Ismafarsi sudah melakukan konsultasi dan juga delegasi bersama
terkait pembahasan akan kejelasan perkembangan RUUF yang sudah diajukan.
Sementara itu, salah satu anggota Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI) yaitu Fidi
Setyawan menjelaskan, perjalanan draf dan naskah akademik RUU Kefarmasian dan
Praktik Apoteker hingga resmi diterima Badan Legislasi DPR RI sudah berlangsung
sejak 2019 dengan berbagai pihak. Perkataan yang sama dengan tahun sebelumnya,
bahwa RUU Kefarmasian dijanjikan akan ditetapkan masuk ke dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas). Aksi damai yang sempat diadakan juga belum
sepenuhnya optimal hingga seruan yang dilakukan dengan memanfaatkan media
sosial yang ada juga belum kunjung mendapat tanggapan. Harapannya, dengan
diadakannya aksi damai serta pemanfaatan media sosial tersebut Mahasiswa dapat membanjiri
linimasa untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, seperti Lembaga -
Lembaga Kesehatan maupun Masyarakat. Namun, pada kenyataannya semua adalah
rencana yang tidak memiliki titik akhir tanpa penyelesaian yang pasti.
RUU Kefarmasian ini sangat penting
dan diharapkan bisa terwujud menjadi Undang Undang secara resmi. Seperti yang
kita ketahui bahwa bidang farmasi ini sangat luas sehingga tanpa UU Kefarmasian
pelaksanaan tugas sebagai farmasis dan apoteker belum maksimal, dan akan sangat
memberatkan apoteker apabila melakukan kesalahan karena belum adanya pedoman
yang kuat dan baku yang dapat melindungi profesi apoteker. Sejauh ini, sudah
banyak ditemukan kasus tentang penyalahgunaan produk obat seperti skincare, dari hasil pengamatan di
lapangan banyak konsumen yang terjerumus menggunakan produk yang tidak
berlisensi Depkes dan BPOM. Hal yang banyak dipertanyakan sampai sekarang
adalah kenapa masih ada saja oknum yang berani untuk menjual produk ilegal yang
sangat merugikan konsumen. Contoh kasus
nyata yang bisa kita lihat dari kabar berita yang dilansir dari DetikNews atas
tuduhan kasus penggelapan obat psikotropika oleh apoteker, padahal ia hanya
membawa barang bukti narkotika dan psikotropika dengan tujuan untuk melaporkan
tindakan yang tidak sesuai. Sebelum banyak kasus serupa yang terjadi, ini bisa
menjadi ancaman jika RUU Kefarmasian tidak segera disahkan.
RUU kefarmasian bersama ruu lainnya
sudah dinyatakan resmi “ dioper ” dari prolegnas 2020 ke tahun 2021.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh wakil badan ketua legislasi, Willy
Adity, yang menyatakan bahwa alasan RUU kefarmasian bersama RUU yang awalnya
masuk prolegnas 2020 dioper ke prolegnas 2021. Mengingat bahwa RUU ini sudah
diajukan sejak tahun 2015, apa yang menjadi permasalahannya? Dan seberapa
penting ruu ini?. Masalah ini sendiri pun sampai-sampai sekretaris jenderal
pengurus pusat ikatan apoteker indonesia, menyikapi masalah ini dengan
“sedikit” bijak?
Pangsa pasar industri farmasi tumbuh
12 % pertahun pada periode 2010-2014 dan diyakini terus bertambah. Mengutip
data dari kalbe farma, TBK, pasar farmasi tanah air pada tahun 2020
diproyeksikan akan tumbuh mencapai nilai Rp. 102,8 triliun, dapat
diartikan bahwasannya industri farmasi
tanah air sedang dalam tren ekspansi besar-besaran, akan banyak produk-produk
farmasi yang tidak hanya diproduksi tetapi juga dipasarkan.
Melihat gambaran di atas, apakah ada
respon yang patut kita berikan? Apakah kita seharusnya merasa bahagia karena
pangsa pasar industri farmasi yang terus meningkat atau justru risau karena
dalam angka angka yang besar tersebut terdapat sesuatu yang mengancam nyawa
bangsa ini? Namun,berkembangnya industri farmasi dalam negeri bukanlah hal yang
buruk. sudah saatnya negara ini maju dalam bidang kesehatan, salah satunya
berkembangnya industri kesehatan termasuk industri farmasi.
Pada saat ini pergerakan RUU
Kefarmasian diibaratkan masih jalan
ditempat, hal ini disebabkan prioritas pembahasan anggota dpr yang berubah,
yang dimana awalnya membahas ruu kefarmasian, menjadi membahas tentang ruu
pengawasan obat dan makanan, memang dapat kita lihat perubahan hal tersebut
bukanlah hal yang salah, mengingat keterkaitan yang masih berhubungan dengan
lingkup kerja kefarmasian. Lalu adanya UU No. 36 tahun 2014 yang mengatur
tentang tenaga kesehatan menegaskan perlu adanya suatu peraturan yang jelas
untuk praktik kefarmasian.
Berkaca dari fakta diatas, kita dapat simpulkan bahwa RUU Kefarmasian ini harus segera disahkan supaya tenaga kefarmasian dan apoteker memiliki payung hukum yang jelas dan masyarakat mendapatkan pelayanan kefarmasian yang lebih optimal. Walaupun perjalanan sangat rumit, proses untuk memperjuangkan RUU Kefarmasian ini tidak boleh berhenti begitu saja. Sehingga sangat dibutuhkan kekompakan seluruh elemen farmasi dan apoteker di indonesia. Kita sebagai mahasiswa farmasi selain mengawal isu ini juga harus lebih memperkenalkan eksistensi tenaga kefarmasian dan apoteker kepada masyarakat umum sehingga dapat meningkatkan citra apoteker pada masyarakat yang bisa mengembalikan kepercayaan mereka terhadap eksistensi profesi apoteker. Kami berharap, para elemen farmasi bisa mendukung RUU Kefarmasian ini hingga resmi disahkan. Semakin cepat disahkannya RUU Kefarmasian tersebut, maka permasalahan farmasi di Indonesia akan semakin cepat teratasi. Perjalanan yang kami lewati cukup panjang dan kami tidak ingin terbuang sia-sia tanpa mendapatkan kepastian. Dengan ini kami mendesak DPR-RI beserta pihak lain yang terkait agar segera melakukan membahas dan menetapkan RUU Kefarmasian di Tahun 2022!
Daftar Pustaka
Andi, Nugraha. 2015. Analisis Putusan Nomor 334/Pid. Sus/2015/PN.
Dps tentang
pengedaran kosmetika
yang tidak memiliki izin edar dan tidak memiliki keahlian
dalam praktik
kefarmasian ditinjau menurut perundang-undangan/Andi Nugraha.
Databoks.katadata.co.id. 2020. “ 2020, Pasar Farmasi Indonesia capai Rp.103 triliun ”
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/03/07/2020-pasar-farmasi-indonesia
capai-rp-103-triliun Diakes pada 18 oktober 2021.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2015.
https://www.dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi/id/129 Diakses pada 18 oktober
2021.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2015. “Praktik
Kefarmasian”
https://www.dpr.go.id/prolegnas/deskripsi-konsepsi/id/129 Diakses pada 18 Oktober
2021.
detiknews. 2012.
“Apoteker Jujur, Lapor Apotek Jual Narkotika Tanpa Izin Dibui 4 Bulan”
https://news.detik.com/berita/d-2037678/apoteker-jujur-lapor-apotek-jual-narkotika-ta
npa-izin-dibui-4-bulan. Diakses pada 18 oktober 2021.
Farmasetika.com. 2020. “ RUU
Kefarmasian Resmi Dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020, diundur ke 2021”
https://farmasetika.com/2020/07/02/ruu-kefarmasian-resmi-dicabut-dari-prolegnas-pri
oritas-2020-diundur-ke-2021/amp/. Diakses pada 18 oktober 2021.
Gatra.com. 2021.“MFI serahkah Draf RUU Farmasi dan Apoteker
ke Baleg DPR”
https://www.gatra.com/detail/news/523925/politik/mfi-serahkan-draf-ruu-farmasi-dan
-apoteker-ke-baleg-dpr Diakses pada 18 Oktober 2021.
Hartini, Yustina Sri.
2009. Relevansi Peraturan dalam Mendukung
Praktek Profesi Apoteker di Apotek.
Majalah Ilmu Kefarmasian. 6.2: 5.
Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
Usd.ac.id. 2019. “Kajian
Online RUU Kefarmasian”.
https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/bemfarmasi/kajian-online-ruu-kefarmaian/. Diakses
pada 18 Oktober 2021.
Wijayanti, Winda. 2013.
Eksistensi Hukum Perawat sebagai Tenaga
Kesehatan Selain
Tenaga Kefarmasian
terhadap Hak atas Pelayanan Kesehatan. Jurnal Dinamika
Hukum.
13(3). 521-539.