Monday, April 29, 2019

KOLABORASI OJOL DAN DOKTER ONLINE, BAGAIMANAKAH DAMPAKNYA TERHADAP APOTEKER?





KOLABORASI OJOL DAN DOKTER ONLINE, BAGAIMANAKAH DAMPAKNYA TERHADAP APOTEKER?

Sistem Regulasi E-Farmasi

Dengan berkembangnya teknologi, tentu ada banyak cara untuk mempermudah manusia dalam melakukan berbagai aktivitas. Indonesia menduduki peringkat ke-5 dunia dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Kini, jika ingin pergi ke suatu tempat, dapat mudah saja menaiki sepeda motor dan mobil taksi online. Layanan antar rumah pun juga menjadi salah satu solusi kemudahan yang membuat konsumen akan “semakin nyaman” untuk dilayani. Tak dipungkiri paradigma “online” ini juga merambah pada dunia kefarmasian.

Pada tahun 2016 mulai muncul inovasi apotek untuk menjalankan layanan pesan antar obat dan jasa perusahaan “Unicorn” dalam pengantaran obat. Hal demikian sering disebut masyarakat sebagai apotek online. Sejatinya apotek merupakan tempat pelayanan kefarmasian dijalankan dan menurut PP no 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

1. Pasal 21 ayat 2 berbunyi:
    Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
2.Pasal 24 poin c berbunyi:
    Dalam melaksakan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat      menyerahkan obat keras, narkotika, dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter            sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masalah yang kemudian dihadapi bahwa belum terdapat regulasi yang mengatur jalannya pelayanan kefarmasian secara elektronik ini sehingga menimbulkan ketidakteraturan terutama pada E-Farmasi.

Mengenai peraturan E-Farmasi ini ada di dalam PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2018. PMK tersebut mengatur tentang bagaimana dapat memperoleh izin pengadaan E-Farmasi. Demikian pada peraturan tersebut terdapat pengertian mengenai Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) yaitu badan hukum yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan E-Farmasi untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Sehingga akan adanya kerjasama antara apotek terintegrasi online dengan PSEF. Masalah yang kedua, belum adanya regulasi yang jelas mengenai konsep jalannya E-Farmasi mengenai pelayanan informasi obat ataupun terjadinya kecurangan pada peraturan ini masih ambigu.

Kolaborasi Go-Jek dan Halodoc

Halodoc merupakan sebuah aplikasi kesehatan terpadu yang memfasilitasi interaksi antara dokter dengan pasien. Aplikasi ini digadang-gadang menawarkan kemudahan dan mempersingkat waktu untuk mengakses kesehatan pada saat pengguna membutuhkan pertolongan dokter. Sedangkan Go-Jek merupakan sebuah perusahaan teknologi asal Indonesia yang melayani angkutan melalui jasa ojek yang merambah di berbagai kehidupan. Bahkan perusahaan ini telah menambah fitur berupa Go-Med. Pada saat ini, Go-Med tengah bekerja sama Halodoc dimana layanan yang diberikan berupa pesanan kebutuhan medis yang dapat diantarkan dengan cepat ke pengguna. Pengguna cukup meng-klik layanan Go-Med yang ada di aplikasi Go-Jek. Pengguna kemudian akan diarahkan secara otomatis ke layanan Pharmacy Delivery yang ada di aplikasi Halodoc.

Jika dilihat dari pelayanan kesehatan ada beberapa hal yang terlupakan contohnya adalah PIO (Pelayanan Informasi Obat). Penggunaan obat keras atau obat yang diresepkan oleh dokter perlu adanya PIO dari seorang Apoteker yang bekerja di apotik, karena Apoteker akan memberikan informasi yang penting seperti cara penggunaannya, cara penyimpanannya, efek samping dari obat dan kontra indikasi obat itu sendiri. Pelayanan Informasi Obat ini adalah salah satu faktor yang paling menentukan dalam proses terapi, penggunaan obat tanpa informasi yang benar akan menghasilkan hasil terapi yang buruk, apalagi jika berkaitan dengan cara penggunaan, cara penyimpanan, dosis, kontraindikasi dan efek samping yang ditimbulkan.  

Pertanyaan yang mucul di kemudian hari adalah apakah mungkin seorang driver Go-Jek menggantikan peran apoteker dalam hal Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada pasien atau keluarga pasien?  Pihak vendor pelayanan juga harus memperhatikan PERMENKES NO. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Pemerintah yang berperan sebagai regulator juga harus membuat limitasi terhadap produk apa saja yang boleh dipesan secara online, misalnya obat yang bisa diakses melalui fitur Go-Med adalah obat OTC (Over The Counter) atau obat bebas. Hal itu dikarenakan sangat tidak memungkinkan untuk menyerahkan obat golongan keras, psikotropika, hingga narkotika lewat perantara deliver karena harus ada edukasi terhadap pemakaian obat.  Untuk masyarakat yang ingin membeli obat keras atau obat dari resep dokter harap meluangkan waktu untuk datang ke apotek karena apoteker adalah satu-satunya profesi yang mempunyai kompetensi atas penyampaian informasi obat yang benar kepada pasien atau keluarga pasien.

Berdasarkan paparan diatas, maka E-Farmasi tidaklah rasional diterapkan dalam jual beli obat. Namun dapat diaplikasikan dalam bentuk memudahkan pengelolaan apotek. Pengelolaan apotek ini dapat berupa pelaporan online, surat pemesanan online kepada PBF, E-prescribing, rekam medis pasien, katalog obat, hingga pharmaceutical care.

Nasib Apoteker Kian Tergerus

Melihat realita praktik kefarmasian sekarang, sangat miris bahwa Apoteker menjadi salah satu profesi yang akan digantikan oleh robot. Bukan tidak mungkin karena semakin sedikit tatap muka pasien kepada Apoteker karena ketiadaan Apoteker di Apotek. Adanya kolaborasi antara Go-Med dan Halodoc, dikhawatirkan akan mengurangi interaksi Apoteker kepada pasien. Profesi Apoteker merupakan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam pengetahuan obat-obatan yang ditempuh melalui pendidikan S1 Farmasi hingga Program Studi Profesi Apoteker. Sehingga jelas berbeda apabila penyerahan obat dilakukan oleh seorang driver.

Perlindungan profesi apoteker sebenarnya baru diatur oleh adanya PP No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Hal ini menjadi alasan, jalannya E-Farmasi di Indonesia masih bertentangan dengan regulasi yang ada. Saat ini, Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan yang tidak mempunyai perlindungan hukum berupa Undang-Undang. Berbeda dengan profesi Dokter, Perawat, dan Bidan. Sehingga adanya kolaborasi Ojek Online dan Dokter Online dapat dijadikan momentum untuk meletakkan urgensi diadakannya Undang-Undang Kefarmasian untuk melindungi profesi Apoteker.

Konsep E-Farmasi Rasional Diterapkan

Sebuah studi menyatakan distribusi secara konvensional selama satu bulan memiliki insidensi kesalahan sebesar 0.157% dan metode distribusi secara elektronik memiliki nilai insidensi kesalahan sebesar 0.135%, pelayanan distribusi obat yang dikombinasikan dengan penggunaan barcode memiliki nilai insidensi sebesar 0,137% (Alan, et., al, 2015). Sistem barcode yang diterapkan dalam pelayanan kefarmasian dan penyampaian obat ke tangan pasien, merupakan teknologi yang paling banyak diterapkan saat ini. Pelayanan berbasis barcode ini sering disebut E-prescribing akan membantu dalam mencegah salah pemberian obat.

Selain teknologi barcode, teknologi digital yang diterapkan adalah rekam medik dan catatan administrasi berbasis elektronik. Electronic Medication Administration Record (EMAR) dan Barcode Medication Adminitration (BCMA) dapat menekan persentase eror dibawah 2 persen,  angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase eror sebelum penerapan sistem EMAR dan BCMA. Penerapan sistem teknologi berbasis digital ini tetap harus didukung oleh farmasis atau tenaga medis lainnya yang kompeten baik dalam pengetahuan dan teknologi (Paoletti, et., al,  2007). Penggunaan BCMA tidak hanya mengurangi persentase eror pada instalasi farmasi, tetapi teknologi ini telah diterapkan pada bagian pelayanan kesehatan lainnya, seperti ruang operasi dan ruang ICU (Pieter, et., al, 2009).

Kimia Farma Gaet Telkom

PT Kimia Farma Tbk (KAEF) menjalin kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi pelat merah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Kerja sama ini bertujuan untuk memperkuat digitalisasi di lingkungan bisnis KAEF. Perwujudan kemitraan ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian kerja sama alias memorandum of understanding (MoU) yang dilakukan oleh Direktur Utama KAEF Honesti Basyir dan Direktur Enterprise & Business Service TLKM Dian Rahmawan.
Digitalisasi yang dilakukan KAEF meliputi penyediaan infrastruktur cloud dan jaringan (network), hardware, serta sistem aplikasi terpadu. Sistem aplikasi yang disediakan oleh TLKM terdiri dari smart stock, omni channel, customer loyalty, big data analytics, integrasi klinik, program rujuk balik, serta layanan home care. Seluruh infrastruktur digital tersebut terintegrasi dengan enterprise resource planning (ERP) yang sudah diterapkan KAEF sejak Oktober 2016 silam. Hal ini menjadi contoh agar paradigma E-Farmasi sangat berguna di terapkan di Industri Farmasi untuk pengelolaan lebih terintegrasi

Secara keseluruhan penelitian mengenai pelayanan farmasi berbasis digital dan teknologi meningkatkan pelayanan menjadi lebih efektif dan efisien, hal ini dibuktikan dengan minimalnya persentase eror dan meningkatnya pelayananan yang dirasakan pasien. Sehingga E-Farmasi layaknya diciptakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam pekerjaan kefarmasian, bukan untuk memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan bisnis sebesar-besarnya.  Maka dari itu, penting bagi kita, penggiat di bidang farmasi dan regulasi pemerintah untuk mengkaji kembali untuk apa E-Farmasi dijalankan.

Sumber :

Alan R. Oldland, Larry K. Golightly, Sondra K. May, Gerard R. Barber, Nancy M. Stolpman. 2015. Electronic Inventory Systems and Barcode Technology: Impact on Pharmacy Technical Accuracy and Error Liability. Hosp Pharm 2015;50(1):34–41.

Meijer, Erik. 2016. Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Akses Layanan Kesehatan. Tersedia di http://www.indotelko.com/kanal?c=id&it=memanfaatkan-digital-kesehatan (Diakses pada 21 Desember 2017).

Pieter J. Helmons, Lindsay N. Wargel, and Charles E. Daniels. 2009. Effect of bar-code-assisted medication administration on medication administration errors and accuracy in multiple patient care areas. Am J Health-Syst Pharm—Vol 66 Jul 1, 2009.

Richard D. Paoletti, Tina M. Suess, Michael G. Lesko, Alfred A. Feroli, James A. Kennel, Joye M. Mahler, Timothy Sauders. 2007. Using bar-code technology and medication observation methodology for safer medication administration. Am J Health-Syst Pharm—Vol 64 Mar 1, 2007.
Putra, Febriansyah dkk. 2018. Era Milenia Terapkan Digitalisasi Sistem Distribusi Obat.
https://www.google.com/amp/farmasetika.com/2018/01/04/era-milenia-terapkan-digitalisasi-sistem-distribusi-obat/amp/ Diakses tanggal 21 April 2019.


Halima, Nurhalima. 2019. Apoteker dan Revolusi Industri 4.0 Apakah Mampu Beradaptasi?. https://www.kompasiana.com/_halima/5ca91965cc528314f40f39f3/apoteker-dan-revolusi-industri-4-0-apakah-mampu-beradaptasi-by-fitri?page=all Diakses tanggal 21 April 2019.

Abdilah, Azis. 2016. Sanggupkah Go-Med Gantikan Peran Apoteker. https://gawaisehat.com/2016/11/23/sanggupkah-go-med-gantikan-peran-apoteker/ Diakses tanggal 21 April 2019.

Rahma, Riska. 2017. Digitalisasi Bisnis Kimia Farma Gandeng Telkom. https://www.google.co.id/amp/amp.kontan.co.id/news/digitalisasi-bisnis-kimia-farma-gandeng-telkom Diakses Tanggal 21 April 2019.



0 Response:

Ur Feedback

BEMF Farmasi UMS

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah sebuah lembaga eksekutif dalam menjalankan miniatur government yang berkemajuan, menjadi motor dari perubahan civitas akademika dan inspirasi bagi masyarakat.

Lt.1 Fakultas Farmasi UMS

Jl. Achmad Yani - Tromol Pos I Pabelan Kartosuro Sukoharjo

SOLOTOPRO

Solidaritas, Loyalitas, Totalitas, Profesionalitas

Email

solotopro[at]gmail.com