KOLABORASI OJOL DAN DOKTER ONLINE, BAGAIMANAKAH DAMPAKNYA TERHADAP APOTEKER?
KOLABORASI OJOL DAN DOKTER ONLINE, BAGAIMANAKAH
DAMPAKNYA TERHADAP APOTEKER?
Sistem Regulasi E-Farmasi
Dengan
berkembangnya teknologi, tentu ada banyak cara untuk mempermudah manusia dalam
melakukan berbagai aktivitas. Indonesia menduduki peringkat ke-5 dunia dengan
jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Kini, jika ingin pergi ke suatu
tempat, dapat mudah saja menaiki sepeda motor dan mobil taksi online. Layanan
antar rumah pun juga menjadi salah satu solusi kemudahan yang membuat konsumen
akan “semakin nyaman” untuk dilayani. Tak dipungkiri paradigma “online” ini juga merambah pada dunia
kefarmasian.
Pada
tahun 2016 mulai muncul inovasi apotek untuk menjalankan layanan pesan antar
obat dan jasa perusahaan “Unicorn” dalam pengantaran obat. Hal demikian sering
disebut masyarakat sebagai apotek online. Sejatinya apotek merupakan tempat
pelayanan kefarmasian dijalankan dan menurut PP no 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
1. Pasal
21 ayat 2 berbunyi:
Penyerahan
dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
2.Pasal
24 poin c berbunyi:
Dalam
melaksakan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat menyerahkan obat keras, narkotika, dan psikotropika kepada masyarakat
atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masalah
yang kemudian dihadapi bahwa belum terdapat regulasi yang mengatur jalannya
pelayanan kefarmasian secara elektronik ini sehingga menimbulkan
ketidakteraturan terutama pada E-Farmasi.
Mengenai
peraturan E-Farmasi ini ada di dalam PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN
2018. PMK tersebut mengatur tentang bagaimana dapat memperoleh izin pengadaan
E-Farmasi. Demikian pada peraturan tersebut terdapat pengertian mengenai
Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) yaitu badan hukum yang
menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan E-Farmasi untuk keperluan
dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Sehingga akan adanya kerjasama antara
apotek terintegrasi online dengan PSEF. Masalah yang kedua, belum adanya
regulasi yang jelas mengenai konsep jalannya E-Farmasi mengenai pelayanan
informasi obat ataupun terjadinya kecurangan pada peraturan ini masih ambigu.
Kolaborasi Go-Jek dan Halodoc
Halodoc
merupakan sebuah aplikasi kesehatan terpadu yang memfasilitasi interaksi antara
dokter dengan pasien. Aplikasi ini digadang-gadang menawarkan kemudahan dan
mempersingkat waktu untuk mengakses kesehatan pada saat pengguna membutuhkan
pertolongan dokter. Sedangkan Go-Jek merupakan sebuah perusahaan teknologi asal
Indonesia yang melayani angkutan melalui jasa ojek yang merambah di berbagai
kehidupan. Bahkan perusahaan ini telah menambah fitur berupa Go-Med. Pada saat
ini, Go-Med tengah bekerja sama Halodoc dimana layanan yang diberikan berupa
pesanan kebutuhan medis yang dapat diantarkan dengan cepat ke pengguna.
Pengguna cukup meng-klik layanan Go-Med yang ada di aplikasi Go-Jek. Pengguna
kemudian akan diarahkan secara otomatis ke layanan Pharmacy Delivery yang ada
di aplikasi Halodoc.
Jika
dilihat dari pelayanan kesehatan ada beberapa hal yang terlupakan contohnya
adalah PIO (Pelayanan Informasi Obat). Penggunaan obat keras atau obat yang
diresepkan oleh dokter perlu adanya PIO dari seorang Apoteker yang bekerja di
apotik, karena Apoteker akan memberikan informasi yang penting seperti cara
penggunaannya, cara penyimpanannya, efek samping dari obat dan kontra indikasi
obat itu sendiri. Pelayanan Informasi Obat ini adalah salah satu faktor yang
paling menentukan dalam proses terapi, penggunaan obat tanpa informasi yang
benar akan menghasilkan hasil terapi yang buruk, apalagi jika berkaitan dengan
cara penggunaan, cara penyimpanan, dosis, kontraindikasi dan efek samping yang
ditimbulkan.
Pertanyaan
yang mucul di kemudian hari adalah apakah mungkin seorang driver Go-Jek menggantikan peran apoteker dalam hal Pelayanan
Informasi Obat (PIO) kepada pasien atau keluarga pasien? Pihak vendor pelayanan juga harus
memperhatikan PERMENKES NO. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek. Pemerintah yang berperan sebagai regulator juga harus membuat
limitasi terhadap produk apa saja yang boleh dipesan secara online, misalnya
obat yang bisa diakses melalui fitur Go-Med adalah obat OTC (Over The Counter) atau obat bebas. Hal
itu dikarenakan sangat tidak memungkinkan untuk menyerahkan obat golongan
keras, psikotropika, hingga narkotika lewat perantara deliver karena harus ada
edukasi terhadap pemakaian obat. Untuk
masyarakat yang ingin membeli obat keras atau obat dari resep dokter harap
meluangkan waktu untuk datang ke apotek karena apoteker adalah satu-satunya
profesi yang mempunyai kompetensi atas penyampaian informasi obat yang benar
kepada pasien atau keluarga pasien.
Berdasarkan
paparan diatas, maka E-Farmasi tidaklah rasional diterapkan dalam jual beli
obat. Namun dapat diaplikasikan dalam bentuk memudahkan pengelolaan apotek.
Pengelolaan apotek ini dapat berupa pelaporan online, surat pemesanan online
kepada PBF, E-prescribing, rekam medis pasien, katalog obat, hingga pharmaceutical care.
Nasib Apoteker Kian Tergerus
Melihat
realita praktik kefarmasian sekarang, sangat miris bahwa Apoteker menjadi salah
satu profesi yang akan digantikan oleh robot. Bukan tidak mungkin karena
semakin sedikit tatap muka pasien kepada Apoteker karena ketiadaan Apoteker di
Apotek. Adanya kolaborasi antara Go-Med dan Halodoc, dikhawatirkan akan
mengurangi interaksi Apoteker kepada pasien. Profesi Apoteker merupakan tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dalam pengetahuan obat-obatan yang ditempuh
melalui pendidikan S1 Farmasi hingga Program Studi Profesi Apoteker. Sehingga
jelas berbeda apabila penyerahan obat dilakukan oleh seorang driver.
Perlindungan
profesi apoteker sebenarnya baru diatur oleh adanya PP No.51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian. Hal ini menjadi alasan, jalannya E-Farmasi di Indonesia
masih bertentangan dengan regulasi yang ada. Saat ini, Apoteker merupakan salah
satu tenaga kesehatan yang tidak mempunyai perlindungan hukum berupa
Undang-Undang. Berbeda dengan profesi Dokter, Perawat, dan Bidan. Sehingga
adanya kolaborasi Ojek Online dan Dokter Online dapat dijadikan momentum untuk
meletakkan urgensi diadakannya Undang-Undang Kefarmasian untuk melindungi
profesi Apoteker.
Konsep
E-Farmasi Rasional Diterapkan
Sebuah studi menyatakan distribusi
secara konvensional selama satu bulan memiliki insidensi kesalahan sebesar
0.157% dan metode distribusi secara elektronik memiliki nilai insidensi
kesalahan sebesar 0.135%, pelayanan distribusi obat yang dikombinasikan dengan
penggunaan barcode memiliki nilai insidensi sebesar 0,137% (Alan, et., al,
2015). Sistem barcode yang diterapkan dalam pelayanan kefarmasian dan penyampaian
obat ke tangan pasien, merupakan teknologi yang paling banyak diterapkan saat
ini. Pelayanan berbasis barcode ini sering disebut E-prescribing akan membantu dalam
mencegah salah pemberian obat.
Selain teknologi barcode, teknologi
digital yang diterapkan adalah rekam medik dan catatan administrasi berbasis
elektronik. Electronic Medication
Administration Record (EMAR) dan Barcode
Medication Adminitration (BCMA) dapat menekan persentase eror dibawah 2
persen, angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase eror
sebelum penerapan sistem EMAR dan BCMA. Penerapan sistem teknologi berbasis
digital ini tetap harus didukung oleh farmasis atau tenaga medis lainnya yang
kompeten baik dalam pengetahuan dan teknologi (Paoletti, et., al, 2007). Penggunaan
BCMA tidak hanya mengurangi persentase eror pada instalasi farmasi, tetapi
teknologi ini telah diterapkan pada bagian pelayanan kesehatan lainnya, seperti
ruang operasi dan ruang ICU (Pieter, et., al, 2009).
Kimia Farma Gaet Telkom
PT
Kimia Farma Tbk (KAEF) menjalin kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi
pelat merah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Kerja sama ini bertujuan
untuk memperkuat digitalisasi di lingkungan bisnis KAEF. Perwujudan kemitraan ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian kerja sama
alias memorandum of understanding (MoU) yang dilakukan oleh Direktur Utama KAEF
Honesti Basyir dan Direktur Enterprise & Business Service TLKM Dian
Rahmawan.
Digitalisasi yang dilakukan KAEF meliputi penyediaan infrastruktur cloud dan
jaringan (network), hardware, serta sistem aplikasi terpadu. Sistem aplikasi
yang disediakan oleh TLKM terdiri dari smart
stock, omni channel, customer loyalty, big data analytics, integrasi
klinik, program rujuk balik, serta layanan home care. Seluruh infrastruktur
digital tersebut terintegrasi dengan enterprise
resource planning (ERP) yang sudah diterapkan KAEF sejak Oktober 2016
silam. Hal ini menjadi contoh agar paradigma E-Farmasi sangat berguna di
terapkan di Industri Farmasi untuk pengelolaan lebih terintegrasi
Secara keseluruhan penelitian
mengenai pelayanan farmasi berbasis digital dan teknologi meningkatkan
pelayanan menjadi lebih efektif dan efisien, hal ini dibuktikan dengan
minimalnya persentase eror dan meningkatnya pelayananan yang dirasakan pasien.
Sehingga E-Farmasi layaknya diciptakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan
dalam pekerjaan kefarmasian, bukan untuk memanfaatkan teknologi untuk
mengembangkan bisnis sebesar-besarnya.
Maka dari itu, penting bagi kita, penggiat di bidang farmasi dan
regulasi pemerintah untuk mengkaji kembali untuk apa E-Farmasi dijalankan.
Sumber :
Alan R. Oldland, Larry K. Golightly, Sondra K. May, Gerard R. Barber, Nancy M.
Stolpman. 2015. Electronic Inventory Systems and Barcode Technology: Impact on Pharmacy
Technical Accuracy and Error Liability. Hosp Pharm 2015;50(1):34–41.
Meijer, Erik. 2016. Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Akses Layanan
Kesehatan. Tersedia di
http://www.indotelko.com/kanal?c=id&it=memanfaatkan-digital-kesehatan
(Diakses pada 21 Desember 2017).
Pieter J. Helmons, Lindsay N. Wargel, and Charles E. Daniels. 2009. Effect of
bar-code-assisted medication administration on medication administration errors
and accuracy in multiple patient care areas. Am J Health-Syst Pharm—Vol 66 Jul
1, 2009.
Richard D. Paoletti, Tina M. Suess, Michael G. Lesko, Alfred A. Feroli, James
A. Kennel, Joye M. Mahler, Timothy Sauders. 2007. Using bar-code technology and
medication observation methodology for safer medication administration. Am J
Health-Syst Pharm—Vol 64 Mar 1, 2007.