Wednesday, February 27, 2019
MAMPUKAH INDUSTRI
FARMASI INDONESIA SWASEMBADA BAHAN BAKU OBAT?
Secara garis besar, industri
farmasi global terdiri dari empat kelompok yaitu Fully Integrated Pharmaceutical Company,
Virtually Integrated Pharmaceutical
Company, Formulation Industry dan
Contract Research Organization. Saat
ini, industri farmasi global berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi
canggih. Industri multinasional berusaha merger
untuk efisiensi dan penguasaan pasar dengan ”off-shoring policy”. Industri farmasi Indonesia belum banyak
mengembangkan industri kimia intermediate
(termasuk dari industri agrokimia), active
pharmaceutical ingredients, dan kontrak penelitian pengembangan (Sparinga, 2010). Industri farmasi Indonesia
lebih banyak mengembangkan industri formulasi, mengembangkan produk akhir
dengan mengandalkan keunggulan atau kesetaraannya dalam bioavailability/bioequivalent
(BA/BE).
Indonesia saat ini masih mengadakan impor
dalam rangka Bahan Baku Obat yang ada misalnya dari Tiongkok, India, dan
negara-negara kawasan Eropa. Sebuah ironi jika negara yang dikenal sebagai
negara dengan kekayaan alam yang melimpah harus melakukan impor yang mana
sebenarnya negara tersebut mampu untuk menyediakannya sendiri. Pada saat ini Industri farmasi Indonesia tercatat sebagai yang terbesar
di ASEAN serta berkontribusi kurang lebih 27% dari total pangsa pasar farmasi
ASEAN. Di tingkat dunia, industri farmasi Indonesia menempati peringkat 23
besar, dan diperkirakan meningkat jadi 20 besar pada 2017 mendatang. Namun, 95%
bahan baku farmasi di Indonesia masih impor dari negara lain, terutama Tiongkok
dan India.
Produksi bahan baku obat dalam negeri
belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan sumber daya manusia yang
ahli dan pekerja profesional yang terkualifikasi untuk memproduksi bahan baku
obat jumlahnya masih sangat terbatas, keadaan infrastruktur yang masih
terbatas, serta belum ada kebijakan kuat dan sistematis yang dapat
mengadvokasi, mengendalikan, dan mengarahkan seluruh pemangku kepentingan. Industri
farmasi dalam negeri masih belum mampu menyelesaikan bahan kimia dasar yang
dibutuhkan baik dari sisi jenis, suplai, maupun harga yang kompetitif untuk
pembuatan bahan baku obat. Industri peralatan dan mesin untuk memproduksi bahan baku obat masih belum
dikuasai, baik teknologi sintesis maupun teknologi pemurnian belum dapat
didukung oleh teknologi produksi terkini. Akibatnya, terjadi ketergantungan
terhadap impor bahan baku obat dan rawan terhadap fluktuasi nilai tukar mata
uang.
Urgensi swasembada bahan baku obat
juga dipengaruhi karena akan ditargetkan seluruh penduduk Indonesia akan
menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional. Tentu akan menjadi kajian yang berbeda
mengingat untuk menanggung pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia juga
berhubungan dengan penyediaan bahan obat oleh Industri Farmasi. Dengan
permasalahan yang dihadapi, terutama fluktuasi nilai tukar rupiah dikhawatirkan
harga pasaran obat jadi di Indonesia tidak terjangkau oleh masyarakat. Hal ini
segera menuntut pemerintah untuk melakukan perencanaan terhadap aksi
kemandirian bahan baku obat.
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Dan Alat Kesehatan
(Permenkes No. 17 Tahun 2017) menjelaskan bahwa penyediaan, penelitian dan pengembangan serta produksi
bahan baku farmasi di Indonesia
dibagi dalam 4 kelompok yaitu kimia, natural, biopharmaceutical dan vaksin. Skenario direncanakan akan
dilaksanakan dari tahun 2015 hingga tahun 2025, yang dibagi dalam 3 periode
waktu yaitu 2015-2018, 2019-2022 dan 2022-2025. Sebelumnya,
Kementerian Kesehatan menargetkan 30% bahan baku farmasi dapat dipenuhi dari
dalam negeri pada 2030. Investasi
bahan baku farmasi pada masa mendatang akan lebih diarahkan ke industri
berbasis riset dan diprioritaskan untuk bahan baku yang jarang diproduksi di
dunia atau bahan baku first generic.
Untuk menarik lebih banyak investasi bahan baku, pemerintah telah menyiapkan
insentif, seperti pemotongan pajak bagi industri yang menanamkan modal untuk
riset. Pemerintah juga memangkas perizinan untuk investasi di sektor industri
yang selama ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga.
Di Indonesia sendiri
dalam melakukan Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) sudah melakukan
kerja sama dalam penyediaan fasilitas penunjang dalam pengolahan tanaman-tanaman
pasca panen. Negara Indonesia yang dikenal dengan melimpahnya tanaman-tanaman
obat memberikan dampak yang sangat positif dalam memajukan industri farmasi
Indonesia. Kegiatan ini dimaksudkan untuk upaya pengembangan bahan baku
obat-obatan tradisional dalam negeri. Mengingat eksistensi tanaman obat
tradisional di Indonesia sendiri sudah menjadi kekayaan negara yang memberikan
udara segar dalam kemajuan penyediaan bahan obat sehingga angka impor dapat
dikurangi.
Dengan demikian,
rencana strategis nasional yang baru berjalan kurang lebih setahun tersebut
masih memerlukan banyak andil dari berbagai pihak. Langkah-langkah selanjutnya
dapat dirumuskan sebagai: kebijakan
untuk kemandirian/kemampuan nasional dalam produksi bahan baku obat, ditetapkannya
jenis bahan baku obat dan eksipien, adanya insentif riset dan penguatan jejaring iptek untuk
pengembangan bahan baku obat, dan adanya kebijakan penguatan kelembagaan,
sumber daya dan jaringan dalam pengembangan obat baru. Sehingga mampu atau
tidaknya Indonesia untuk mewujudkan swasembada bahan baku obat masih memerlukan
waktu untuk mewujudkannya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.2016.INFARKES. binfar.kemkes:Jakarta.
Farmalkes. (2016). Menuju Indonesia
Mandiri dalam Produksi Bahan Baku Obat. Diakses Dari http://farmalkes.kemkes.go.id/2016/01/menuju-indonesia-mandiri-dalam-produksi-bahan-baku-obat/.
KemenPerin.(2018). Industri Farmasi Masih Cerah.Diakses Dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/19241/Industri-Farmasi-Masih-Cerah.
Sparinga, R. Pengembangan Bahan Baku
Obat di Indonesia, Disampaikan pada Workshop Pengembangan Bahan Baku Obat
Berbasis Sumber Daya Lokal, Jakarta, 21 April 2010.