Tuesday, March 28, 2017

NGOPI (Ngobrol Seputar Isu): Adilkah 3 SIPA? Industri VS Pelayanan


.
*teks
NOTULENSI KAJIAN ISU KEFARMASIAN
ADILKAH 3 SIPA? INDUSTRI VS PELAYANAN

Hari, tanggal: Jumat, 24 Maret 2017
Waktu: 15.15 – 17.30 WIB
Lokasi: Ruang K.4.B Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Diskusi mengenai 3 SIPA dan adil tidaknya kebijakan tersebut terhadap apoteker yang bergerak di bidang industri maupun pelayanan diawali dengan pemaparan (pemantik) singkat mengenai perubahan pada Permenkes No. 31 Tahun 2016 dan perbandingannya dengan yang lama, latar belakang secara umum yang melahirkan perubahan Permenkes ini, dan fakta-fakta hasil survei di lapangan mengenai kinerja apoteker di daerah kota tertentu di Indonesia oleh pembicara, Raissa Kurnia, selama 15 menit.  Dipaparkan bahwa, kebijakan ini memperbolehkan seorang apoteker yang bekerja di bidang pelayanan kefarmasian mendapat sebanyak-banyaknya 3 SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker) untuk bekerja di 3 tempat. Akan tetapi, bagi apoteker yang bekerja di bidang industri, mereka hanya dapat memiliki 1 SIPA. Di suatu sisi kebijakan ini terlihat dapat mengundang kecemburuan sosial.

Terlepas dari kecemburuan sosial, realita kinerja apoteker di Indonesia khususnya di beberapa kota besar menurut hasil survei masih terbilang memprihatinkan dimana menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lebih dari 50% apotek tidak dijaga oleh apotekernya, sedangkan di papan nama apotek jelas tertera bahwa apotek buka 24 jam lengkap dengan nama apotekerya. Hal ini tentu menjadi salah satu poin yang perlu dikritisi pula, karena perlu dipertanyakan tanggung jawab seorang apoteker, agar kebijakan 3 SIPA ini tidak justru memperburuk realita yang sekarang terjadi di lapangan.

Usai dilakukan pemantik oleh pembicara, diskusi dilanjutkan dengan mekanisme tanya-jawab dan sharing oleh peserta yang dipandu dan diklarifikasi oleh pembicara.

Faridatul menanyakan mengapa apoteker yang bergerak di bidang pelayanan dapat memiliki 3 SIPA sedangkan yang bergerak di bidang industri hanya 1 SIPA.

Kartika memaparkan bahwa hal ini dilandasi oleh jam kerja dari apoteker yang bergerak di kedua bidang tersebut dimana terlihat jelas perbedaan yang signifikan, yakni apoteker yang bergerak di bidang indsustri memiliki jam kerja hampir seharian penuh, sedangkan apoteker yang bergerak di bidang pelayanan hanya sekitar 2-4 jam dalam satu harinya. Kebijakan 3 SIPA memperbolehkan seorang apoteker bekerja di 3 tempat, yang mana jika hal ini diterapkan oleh seorang apoteker industri, maka tidak akan ada kesempatan atau waktu seorang apoteker industri berkumpul (memiliki quality time) bersama keluarga.

Inesya menuturkan, sekarang ini lulusan apoteker di Indonesia masih belum merata dan kebanyakan menumpuk di pulau Jawa. Sedangkan kebutuhan akan apoteker tidak hanya di pulau Jawa. Diharapkan, adanya 3 SIPA bisa meratakan pengabdian apoteker.

Windy menanggapi, apakah “bekerja di tiga tempat berbeda” berarti bekerja dalam  1 daerah, atau bisa di daerah yang berbeda?

Diana menuturkan, selama ketiga tempat bisa dijangkau dalam waktu 24 jam, maka sah-sah saja.

Raissa mengklarifikasi, bahwasanya saat ini belum ada regulasi yang jelas mengenai jarak daerah yang diperbolehkan oleh Pimpinan Daerah maupun Pimpinan Cabang.

Diana menanyakan apakah 3 SIPA sudah diterapkan di IAI. Raissa mengklarifikasi bahwa 3 SIPA sudah diterapkan.

Inesya menanyakan apakah 3 SIPA apakah 3 SIPA memungkinkan seseorang dapat menjadi apoteker penanggung jawab di ketiga tempat berbeda.

Raissa menjawab bahwa 3 SIPA memiliki pembagian dimana 1 SIPA dapat digunakan sebagai apoteker penanggung jawab, sedangkan 2 SIPA untuk apoteker pendamping maupun pembantu.

Ghiyats menuturkan, “SIPA” sebenarnya juga ada pada bidang lain, hanya berbeda namanya saja. Kedokteran mengenal istilah SIPD, sedang keperawatan mengenal istilah SIPP. Perbedaannya dengan SIPA, bercermin pada SIPD milik kedokteran, mereka sudah memiliki regulasi yang jelas seperti tempat (di rumah, rumah sakit, atau puskesmas) dan waktu. Sementara 3 SIPA yang telah dicanangkan, masih belum ada regulasi yang jelas mengenai waktu kerja. Sehingga, hal ini membuka kesempatan untuk apoteker-apoteker yang kurang bertanggung jawab untuk bekerja semena-mena, tidak mengindahkan kewajiban untuk memberikan edukasi kepada masyarakat secara tatap muka.

Hal ini memicu kekhawatiran lain, bahwasanya apoteker justru menjadi lebih “money-oriented” ketimbang “patient-oriented”. Tsaniyatul memaparkan, income atau pendapatan apoteker yang bergerak di bidang industri cenderung lebih tinggi dibanding apoteker yang bergerak di bidang pelayanan.

Menurut Inesya, jika apoteker bisa dengan benar bertanggung jawab sebagaimana mestinya, kemungkinan UMR bisa naik dan kembali ke 1 SIPA.

Raissa menambahkan, bahwanya 3 SIPA telah berlaku, dan untuk mengembalikan ke peraturan semula, dapat terbilang cukup sulit. Hal ini menuntut mahasiswa mampu berpikir kritis untuk memberikan tanggapan bahkan solusi terhadap permasalahan yang timbul dari adanya kebijakan ini.

Tanggapan Inesya, terhadap apoteker yang mengeluhkan gaji yang di bawah UMRnya, sebenarnya hal ini kerap diakibatkan oleh apoteker itu sendiri. Ketika seorang apoteker diberi tawaran pekerjaan dengan gaji di bawah UMR, persepsi “Yang penting kerja” merupakan mindset salah yang kebanyakan dimiliki oleh para apoteker pencari kerja. Hal ini yang lama-lama menjadikan gaji apoteker di bawah UMRnya menjadi suatu yang lumrah, yang biasanya dicover dengan tanggungan makan.

Solusi untuk menghadapi permasalahan 3 SIPA ini menurut Kartika ialah adanya kontrol (baik dari masyarakat maupun IAI), pembagian jam kerja yang jelas, dan pemberlakuan punishment kepada apoteker yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ditambah, harus ada ketentuan jarak atau daerah yang diperbolehkan untuk seorang apoteker dapat bekerja dengan SIPA yang berbeda.

Sedangkan menurut Amelia, perlu adanya edukasi kepada masyarakat untuk tidak selalu menganggap semua yang melayani di apotek merupakan seorang apoteker.

Diana menambahkan, untuk poin kontrol dari masyarakat, perlu adanya suatu forum yang mudah diakses atau wadah untuk melapor apoteker yang kurang bertanggung jawab.

Ghiyats menegaskan, perlu penekanan kepada IAI maupun petingginya mengenai regulasi waktu kerja yang harus jelas. Baik jam, hari, bahkan bulan. Peraturan 3 SIPA bertolak belakang dengan keharusan seorang apoteker penanggung jawab untuk berada 24 jam jika tertera tulisan bahwa apotek buka 24 jam.

Tsaniyatul menanyakan apakah apoteker penanggung jawab yang harus selalu berada di apotek, atau boleh apoteker pendamping. Inesya menanyakan apakah reaksi IAI terhadap perubahan Pemenkes ini. Sementara Ajeng menanyakan apakah 3 SIPA sudah disosialisasikan kepada apoteker.

Raissa menyatakan bahwa siapa saja boleh asal apoteker. IAI sendiri sebenarnya tidak setuju. Mengenai sosialisasi, sebenarnya sudah ada, namun belum optimal.

Menurut Kartika, untuk mendapatkan 3 SIPA sebaiknya apoteker perlu memenuhi syarat-syarat tertentu. Agar apoteker menjadi “patient-oriented” ketimbang “money-oriented”.

Inesya menambahkan, untuk check and balance kinerja apoteker, alangkah baiknya jika IAI mengikutsertakan mahasiswa farmasi yang sekarang ini banyak bekerja sambilan di apoteker, bercermin pada IDI. IAI seharusnya mengubah mindset terhadap mahasiswa.

Safira menanyakan, terlepas dari keadilan antara apoteker industri dan pelayanan, apa pendapat Raissa terhadap kebijakan ini, pro/kontra.

Raissa menjawab kontra, meski diakui tidak semua apoteker punya kinerja yang kurang baik.

Ghiyats menuturkan, dalam pembicaraannya dengan Wakil Ketua IAI Pusat mengenai 3 SIPA, terdapat realita di Gunung Kidul dimana terdapat beberapa apotek namun tidak terdapat apoteker. Keadaan seperti inilah yang mampu mendorong 3 SIPA ke ranah aslinya dimana dengan adanya 3 SIPA, seorang apoteker dapat berkerja di banyak tempat dan pekerjaannya dapat “diakui” secara sah.

Dalam meningkatkan pemahaman apoteker mengenai 3 SIPA ini, menurut Inesya IAI perlu mengadakan sosialisasi yang bersifat wajib kepada apoteker dalam bentuk seminar dengan HTM yang tidak terlalu tinggi.

Ajeng berpendapat, mengenai realita dimana masyarakat kurang mengetahui apakah apoteker yang melayaninya atau bukan ketika datang ke apotek, ada baiknya apoteker memakai jas khusus sebagai pertanda bahwa ia merupakan seorang apoteker. Hal ini tentu dapat meningkatkan eksistensi dari seorang apoteker itu sendiri.

Riyani menanyakan bagaimana sistem apotek di Indonesia.

Raissa memaparkan bahwa tidak ada aturan di apotek harus semuanya apoteker. Kembali lagi pada kebutuhan apotek itu sendiri dan kemampuan PSA untuk membayar apotekernya.

Untuk solusi menghadapi 3 SIPA ini, Diana menambahkan, perlunya melihat urgensi wilayah yang membutuhkan apoteker. Untuk kota-kota besar yang sudah memiliki banyak apotek, perlu sebuah sinkronisasi mengenai perlu tidaknya. Di samping itu, harus ada punishment untuk apoteker yang tidak berada di apotek pada jam kerjanya serta pemberdayaan masyarakat sebagai agent of control kinerja apoteker.



PERNYATAAN SIKAP #1
BEM FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TERKAIT 3 SIPA

I.                   Latar Belakang
Kami masih meyakini, bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan seharusnya lahir dan berangkat dari keresehan, kegelisahan, dan keluhan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara yang sebaik-baiknya. Mengutip pernyataan dari Thomas Jefferson, filsuf sekaligus presiden ketiga Amerika Serikat, “Sebuah pemerintahan yang bijaksana dan cermat, yang akan mencegah orang-orang melukai satu sama lain, akan membebaskan mereka untuk menjalankan tujuan dari industri dan kebangkitan mereka sendiri, dan tentunya tidak akan menyia-nyiakan tenaga orang lain yang membantunya.”
Apoteker, sebagai salah satu tenaga kesehatan dan garda terdepan dalam kebijakan perobatan di Indonesia tentu memiliki hak dan kewajiban dalam membantu masyarakat untuk berada pada garis kesehatan yang menentramkan. Namun, objek dari pekerjaan kefarmasian tidak hanya sebatas pasien dan masyarakat, jauh lebih besar di atas itu ada; tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai keterkaitan satu sama lainnya, pemerintah sebagai pengayom, organisasi profesi, dan tentunya adalah apoteker itu sendiri. Baru-baru ini, melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes/PMK) menelurkan salah satu kebijakan berupa 3 SIPA (Surat Izin Praktik Apoteker) yang secara lengkap akan kami paparkan pada bagian analisis. Kami melihat bahwasanya kelahiran kebijakan ini terdapat urgensi untuk ditetapkan apa-apa saja yang sekiranya menjadi perhatian kami selaku sudut pandang mahasiswa-mahasiswi yang beberapa tahun lagi akan menjalankan profesi kefarmasian ini nantinya di lapangan. Maka, berangkat dari keresahan teman-teman sejawat dan juga minimnya pengetahuan mengenai kebijakan 3 SIPA, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta mengadakan kajian isu strategis pada Jumat, 24 Maret 2017 yang menghasilkan beberapa poin rekomendasi untuk kemudian bisa dijadikan sarana evaluasi dan bahan pertimbangan IAI sebagai organ kontrol profesi dan pemerintah sendiri sebagai regulatory affair.

II.                Dasar Hukum Kebijakan
a.       Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 31 Tahun 2016 tentang Perubahan Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian pasal 18.
b.      Surat Edaran H.K. 02/02/MENKES/24/2017 tentang Petunjuk Pelaksana Pemberian Surat Izin Prakti bagi Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

III.             Analisis
Pada Permenkes No. 31 Tahun 2016 ada beberapa pasal yang berubah baik secara nomenklatur atau keseluruhan. Digarisbawahi perubahan-perubahan tersebut adalah pasal 17, 18, dan 19. Di mana penyesuain pasal tersebut, disadur langsung dari peraturan terkait adalah sebagai berikut:

Pasal 17
(1)   Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasin wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.
(2)   Surat izin sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.      SIPA bagi Apoteker, atau
b.      SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 18
(1)   SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu) fasilitas kefarmasian.
(2)   Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) SIPA bagi apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
(3)   Dalam hal Apoteker telah memiliki Surat Izin Apotek, maka apoteker yang bersangkutan hanya memiliki 2 (dua) SIPA pada fasilitas pelayanan kefarmasian lain.
(4)   SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian.

Pasal 19
SIPA atau SIPTTK sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kefarmasian menjalankan praktiknya.

      Berdasarkan ketiga pasal di atas, pasal yang paling penting menjadi landasan bergerak 3 SIPA adalah pasal 18, secara ringkas dan gamblang apa yang dimaksud pasal tersebut adalah;
1.      Apoteker yang bekerja di unit kefarmasian (contohnya industi farmasi) hanya memiliki 1 SIPA.
2.      Apoteker yang bekerja di unit pelayanan kefarmasian (contohnya puskemas, apotek, klinik maupun rumah sakit) memiliki 3 SIPA.
3.      SIPA yang ada diatas mempunyai keterkaitan dengan Surat Izin Apotek (SIA). Apabila seorang apoteker yang bekerja di unit pelayanan kefarmasian menggunakan SIA-nya untuk mendirikan apotek, maka SIPA yang tersisa tinggal dua.

Selanjutnya, yang menjadi persoalan-persoalan kebijakan ini di ranah grassroot atau yang tidak tersentuh oleh pemerintah maupun organisasi profesi, atau bincang-bincang kaki lima para kalangan apoteker maupun calon apoteker dan tentunya menjadi pokok persoalan pada kajian yang telah dilakukan adalah;
1.      Anggapan bahwa kebijakan ini timpang sebelah karena bersifat diskridit dan diskriminasi terhadap apoteker-apoteker yang bekerja pada unit kefarmasian, contohnya industri.
2.      Apakah ada sanksi-sanksi yang mengatur apabila seorang apoteker menyalahi aturan 3 SIPA yang contoh paling umumnya adalah tekan kontrak kabur alias tekab yang terjadi. Padahal secara quo apoteker tersebut telah terikat hukum dengan peraturan 3 SIPA?
3.      Apakah telah ada peraturan-peraturan lebih detail mengenai jam kerja setiap 1 SIPA, berapa jam dalam sebulan apoteker tersebut harus bekerja apabila menggunakan 1 SIPA dan tempat-tempat yang seharusnya 3 SIPA ini diterapkan atau tidak diterapkan?
4.      Bagaimana sesungguhnya pengawasan, controlling dan tindakan stakeholder terkait dalam penerapan kebijakan 3 SIPA?
5.      Bagaimana sesungguhnya komitmen dari IAI sendiri sebagai jantung organisasi profesi secara masif dan menyeluruh menginformasikan setiap kebijakan pada daerah-daerahnya? Padahal IAI sendiri mempunyai sub-sub seperti pengurus daerah ataupun pengurus cabangnya, namun mengapa pencerdasan-pencerdasan sangat minimal sekali?

Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, penjaringan terhadap aspirasi-aspirasi dilakukan guna mencari titik terang dari kebijakan 3 SIPA ini, informasi dan analisis yang perlu kami sampaikan dalam kajian ini adalah;
1.      Bahwasanya mengapa unit pelayanan kefarmasian diberikan 3 SIPA memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas apoteker di ranah pelayanan yang memang secara riil terjadi kontak langsung dengan pasien.
2.      Bahwasanya mengapa 3 SIPA ini diberlakukan, mengutip dari pernyataan Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) beberapa waktu lalu ketika tengah ada seminar di Solo mengenai Permenkes ini, “3 SIPA sebenarnya dimaksudkan baik untuk para apoteker yang bekerja pada wilayah-wilayah minim apoteker. Misalnya saja di satu daerah terdapat beberapa apotek yang apotekernya hanya sedikit sekali, kami mencoba mengakomodir apoteker-apoteker tersebut agar diakui dan legal secara hukumnya.”
3.      Belum adanya aturan-aturan terkait yang bersifat detail dan benar-benar menyentuh ranah teknis kebijakan di lapangan.
4.      Belum adanya sanksi-sanksi untuk penyalahgunaan/pelanggaran 3 SIPA ini, kontrol yang ada hanya sebatas himbauan apabila menemukan apotek yang tidak ada apotekernya maka bisa diadukan, nantinya tindak lanjutnya bisa bermacam-macam, bisa hanya sebatas teguran lisan bahkan sampai penutupan apotek. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengambilan keputusan ini tidak bersifat one-size-fit-all atau berlaku di semua daerah.
5.      Terjadi perdebatan panjang antara pro dan kontra disebabkan karena regulasi yang belum jelas.
6.      Terdapat multifaktor dari berbagai dimensi mengapa terjadi perselisihan pendapat; ketidakadilan, salary/gaji, komitmen apoteker di apotek/unit pelayanan, pengetahuan apoteker sendiri terhadap kebijakan, branding apoteker di masyarakat, maupun kontrol sosialnya.

IV.             Sikap dan Rekomendasi
Maka dari latar belakang, dasar hukum kebijakan, dan analisis dari kajian isu strategis yang dilakukan dengan melibatkan mahasiswa umum. Kami, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta menyatakan sikap:

MENDUKUNG SECARA BERSYARAT kebijakan 3 SIPA.
Adapun syarat-syarat yang kami ajukan adalah sebagaimana yang disampaikan pada poin-poin dibawah;
1.      Mendesak pemerintah dan organisasi profesi IAI untuk lebih detail membahas petunjuk pelaksanaan dan teknis mengenai tata laksana 3 SIPA secara riil berdasarkan kenyataan di lapangan.
2.      Menggerakkan Pengurus Daerah ataupun Pengurus Cabang untuk lebih proaktif mensosialisasikan terhadap kebijakan 3 SIPA ataupun kebijakan-kebijakan selanjutnya untuk tidak hanya disampaikan kepada apoteker-apoteker lapangan, tapi juga turut serta mencerdaskan para calon apoteker tingkat pendidikan tinggi.
3.      Menuntut untuk IAI lebih dapat hadir sebagai organisasi yang menjadi jembatan antara seluruh elemen kefarmasian dengan cara menampung berbagai aspirasi dari berbagai sudut pandang.

Sementara, poin REKOMENDASI SOLUSI yang kami tawarkan adalah;
1.      Memperjelas teknis 3 SIPA terutama terkait regional dan jam kerja. Terkait regional, apakah 3 SIPA diberlakukan untuk seluruh Indonesia, atau wilayah-wilayah yang memang dalam hal ini kekurangan apoteker sehingga apoteker-apoteker yang ada memiliki legalitas hukum dalam bekerja. Sementara pada daerah-daerah yang ‘membludak’ secara kuantitas jumlah apoteker dilakukan tindakan tegas untuk oknum-oknum yang menyalahgunakan kebijakan untuk kepentingan individu. Terkait jam kerja, teknisnya harap diatur berapa jam dalam sehari apoteker harus bekerja yang ekivalen dengan pemberian konseling secara konsisten dan penerimaan gaji apoteker yang mejadi salah satu dimensi utama dalam pro-kontra 3 SIPA.
2.      Melibatkan organisasi-organisasi kesehatan tingkat pendidikan tinggi dan menjalin kerjasama serta komunikasi intens agar dapat menjadi perpanjangan tangan dari setiap informasi dan kebijakan yang ada.

Salam hormat,

Koodinator Biro
Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa
Aulia Noor Husna
K100150139

Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Farmasi UMS
Ghiyats Ramadhan
K100140151

1 Response:

Anonymous said...

King Of Casino - Aloha, CT (813) 585-4390
King of 1xbet app Casino, Aloha, CT (813) 585-4390. The Resort Casino & 토토 사이트 도메인 Hotel in Aloha 유로 스타 도메인 is a luxury hotel and casino located jordan 10 retro clearance on the beach in หารายได้เสริม

Ur Feedback

BEMF Farmasi UMS

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta adalah sebuah lembaga eksekutif dalam menjalankan miniatur government yang berkemajuan, menjadi motor dari perubahan civitas akademika dan inspirasi bagi masyarakat.

Lt.1 Fakultas Farmasi UMS

Jl. Achmad Yani - Tromol Pos I Pabelan Kartosuro Sukoharjo

SOLOTOPRO

Solidaritas, Loyalitas, Totalitas, Profesionalitas

Email

solotopro[at]gmail.com