*teks
NOTULENSI KAJIAN ISU KEFARMASIAN
NOTULENSI KAJIAN ISU KEFARMASIAN
ADILKAH 3
SIPA? INDUSTRI VS PELAYANAN
Hari, tanggal: Jumat, 24 Maret 2017
Waktu: 15.15 – 17.30
WIB
Lokasi: Ruang K.4.B Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Diskusi mengenai 3
SIPA dan adil tidaknya kebijakan tersebut terhadap apoteker yang bergerak di
bidang industri maupun pelayanan diawali dengan pemaparan (pemantik) singkat
mengenai perubahan pada Permenkes No. 31 Tahun 2016 dan perbandingannya dengan
yang lama, latar belakang secara umum yang melahirkan perubahan Permenkes ini,
dan fakta-fakta hasil survei di lapangan mengenai kinerja apoteker di daerah
kota tertentu di Indonesia oleh pembicara, Raissa Kurnia, selama 15 menit. Dipaparkan bahwa, kebijakan ini
memperbolehkan seorang apoteker yang bekerja di bidang pelayanan kefarmasian
mendapat sebanyak-banyaknya 3 SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker) untuk bekerja
di 3 tempat. Akan tetapi, bagi apoteker yang bekerja di bidang industri, mereka
hanya dapat memiliki 1 SIPA. Di suatu sisi kebijakan ini terlihat dapat
mengundang kecemburuan sosial.
Terlepas dari
kecemburuan sosial, realita kinerja apoteker di Indonesia khususnya di beberapa
kota besar menurut hasil survei masih terbilang memprihatinkan dimana menurut
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lebih dari 50% apotek tidak dijaga
oleh apotekernya, sedangkan di papan nama apotek jelas tertera bahwa apotek
buka 24 jam lengkap dengan nama apotekerya. Hal ini tentu menjadi salah satu
poin yang perlu dikritisi pula, karena perlu dipertanyakan tanggung jawab
seorang apoteker, agar kebijakan 3 SIPA ini tidak justru memperburuk realita
yang sekarang terjadi di lapangan.
Usai dilakukan
pemantik oleh pembicara, diskusi dilanjutkan dengan mekanisme tanya-jawab dan sharing oleh peserta yang dipandu dan
diklarifikasi oleh pembicara.
Faridatul menanyakan mengapa
apoteker yang bergerak di bidang pelayanan dapat memiliki 3 SIPA sedangkan yang
bergerak di bidang industri hanya 1 SIPA.
Kartika memaparkan bahwa hal ini
dilandasi oleh jam kerja dari apoteker yang bergerak di kedua bidang tersebut
dimana terlihat jelas perbedaan yang signifikan, yakni apoteker yang bergerak
di bidang indsustri memiliki jam kerja hampir seharian penuh, sedangkan apoteker
yang bergerak di bidang pelayanan hanya sekitar 2-4 jam dalam satu harinya.
Kebijakan 3 SIPA memperbolehkan seorang apoteker bekerja di 3 tempat, yang mana
jika hal ini diterapkan oleh seorang apoteker industri, maka tidak akan ada
kesempatan atau waktu seorang apoteker industri berkumpul (memiliki quality time) bersama keluarga.
Inesya menuturkan, sekarang ini
lulusan apoteker di Indonesia masih belum merata dan kebanyakan menumpuk di
pulau Jawa. Sedangkan kebutuhan akan apoteker tidak hanya di pulau Jawa.
Diharapkan, adanya 3 SIPA bisa meratakan pengabdian apoteker.
Windy menanggapi, apakah
“bekerja di tiga tempat berbeda” berarti bekerja dalam 1 daerah, atau bisa di daerah yang berbeda?
Diana menuturkan, selama ketiga
tempat bisa dijangkau dalam waktu 24 jam, maka sah-sah saja.
Raissa mengklarifikasi,
bahwasanya saat ini belum ada regulasi yang jelas mengenai jarak daerah yang
diperbolehkan oleh Pimpinan Daerah maupun Pimpinan Cabang.
Diana menanyakan apakah 3 SIPA
sudah diterapkan di IAI. Raissa mengklarifikasi bahwa 3 SIPA sudah diterapkan.
Inesya menanyakan apakah 3 SIPA
apakah 3 SIPA memungkinkan seseorang dapat menjadi apoteker penanggung jawab di
ketiga tempat berbeda.
Raissa menjawab bahwa 3 SIPA
memiliki pembagian dimana 1 SIPA dapat digunakan sebagai apoteker penanggung
jawab, sedangkan 2 SIPA untuk apoteker pendamping maupun pembantu.
Ghiyats menuturkan, “SIPA”
sebenarnya juga ada pada bidang lain, hanya berbeda namanya saja. Kedokteran
mengenal istilah SIPD, sedang keperawatan
mengenal istilah SIPP. Perbedaannya dengan
SIPA, bercermin pada SIPD milik kedokteran, mereka sudah memiliki regulasi yang
jelas seperti tempat (di rumah, rumah sakit, atau puskesmas) dan waktu.
Sementara 3 SIPA yang telah dicanangkan, masih belum ada regulasi yang jelas
mengenai waktu kerja. Sehingga, hal ini membuka kesempatan untuk
apoteker-apoteker yang kurang bertanggung jawab untuk bekerja semena-mena,
tidak mengindahkan kewajiban untuk memberikan edukasi kepada masyarakat secara
tatap muka.
Hal ini memicu
kekhawatiran lain, bahwasanya apoteker justru menjadi lebih “money-oriented”
ketimbang “patient-oriented”. Tsaniyatul
memaparkan, income atau pendapatan apoteker yang bergerak di bidang
industri cenderung lebih tinggi dibanding apoteker yang bergerak di bidang
pelayanan.
Menurut Inesya, jika apoteker bisa dengan benar
bertanggung jawab sebagaimana mestinya, kemungkinan UMR bisa naik dan kembali
ke 1 SIPA.
Raissa menambahkan, bahwanya 3
SIPA telah berlaku, dan untuk mengembalikan ke peraturan semula, dapat
terbilang cukup sulit. Hal ini menuntut mahasiswa mampu berpikir kritis untuk
memberikan tanggapan bahkan solusi terhadap permasalahan yang timbul dari
adanya kebijakan ini.
Tanggapan Inesya, terhadap apoteker yang
mengeluhkan gaji yang di bawah UMRnya, sebenarnya hal ini kerap diakibatkan
oleh apoteker itu sendiri. Ketika seorang apoteker diberi tawaran pekerjaan
dengan gaji di bawah UMR, persepsi “Yang penting kerja” merupakan mindset salah
yang kebanyakan dimiliki oleh para apoteker pencari kerja. Hal ini yang
lama-lama menjadikan gaji apoteker di bawah UMRnya menjadi suatu yang lumrah,
yang biasanya dicover dengan tanggungan makan.
Solusi untuk
menghadapi permasalahan 3 SIPA ini menurut Kartika
ialah adanya kontrol (baik dari masyarakat maupun IAI), pembagian jam kerja
yang jelas, dan pemberlakuan punishment kepada apoteker yang tidak
bekerja sebagaimana mestinya. Ditambah, harus ada ketentuan jarak atau daerah
yang diperbolehkan untuk seorang apoteker dapat bekerja dengan SIPA yang
berbeda.
Sedangkan menurut Amelia, perlu adanya edukasi kepada
masyarakat untuk tidak selalu menganggap semua yang melayani di apotek
merupakan seorang apoteker.
Diana menambahkan, untuk poin
kontrol dari masyarakat, perlu adanya suatu forum yang mudah diakses atau wadah
untuk melapor apoteker yang kurang bertanggung jawab.
Ghiyats menegaskan, perlu
penekanan kepada IAI maupun petingginya mengenai regulasi waktu kerja yang
harus jelas. Baik jam, hari, bahkan bulan. Peraturan 3 SIPA bertolak belakang
dengan keharusan seorang apoteker penanggung jawab untuk berada 24 jam jika
tertera tulisan bahwa apotek buka 24 jam.
Tsaniyatul menanyakan apakah
apoteker penanggung jawab yang harus selalu berada di apotek, atau boleh
apoteker pendamping. Inesya
menanyakan apakah reaksi IAI terhadap perubahan Pemenkes ini. Sementara Ajeng menanyakan apakah 3 SIPA sudah
disosialisasikan kepada apoteker.
Raissa menyatakan bahwa siapa
saja boleh asal apoteker. IAI sendiri sebenarnya tidak setuju. Mengenai
sosialisasi, sebenarnya sudah ada, namun belum optimal.
Menurut Kartika, untuk mendapatkan 3 SIPA
sebaiknya apoteker perlu memenuhi syarat-syarat tertentu. Agar apoteker menjadi
“patient-oriented” ketimbang “money-oriented”.
Inesya menambahkan, untuk check
and balance kinerja apoteker, alangkah baiknya jika IAI mengikutsertakan
mahasiswa farmasi yang sekarang ini banyak bekerja sambilan di apoteker,
bercermin pada IDI. IAI seharusnya mengubah mindset terhadap mahasiswa.
Safira menanyakan, terlepas dari
keadilan antara apoteker industri dan pelayanan, apa pendapat Raissa terhadap kebijakan ini,
pro/kontra.
Raissa menjawab kontra, meski
diakui tidak semua apoteker punya kinerja yang kurang baik.
Ghiyats menuturkan, dalam pembicaraannya dengan Wakil Ketua IAI Pusat mengenai
3 SIPA, terdapat realita di Gunung Kidul dimana terdapat beberapa apotek
namun tidak terdapat apoteker. Keadaan seperti inilah yang mampu mendorong 3 SIPA
ke ranah aslinya dimana dengan adanya 3 SIPA, seorang apoteker dapat berkerja
di banyak tempat dan pekerjaannya dapat “diakui” secara sah.
Dalam meningkatkan
pemahaman apoteker mengenai 3 SIPA ini, menurut Inesya IAI perlu mengadakan sosialisasi yang bersifat wajib kepada
apoteker dalam bentuk seminar dengan HTM yang tidak terlalu tinggi.
Ajeng berpendapat, mengenai
realita dimana masyarakat kurang mengetahui apakah apoteker yang melayaninya
atau bukan ketika datang ke apotek, ada baiknya apoteker memakai jas khusus
sebagai pertanda bahwa ia merupakan seorang apoteker. Hal ini tentu dapat
meningkatkan eksistensi dari seorang apoteker itu sendiri.
Riyani menanyakan bagaimana
sistem apotek di Indonesia.
Raissa memaparkan bahwa tidak
ada aturan di apotek harus semuanya apoteker. Kembali lagi pada kebutuhan
apotek itu sendiri dan kemampuan PSA untuk
membayar apotekernya.
Untuk solusi
menghadapi 3 SIPA ini, Diana
menambahkan, perlunya melihat urgensi wilayah yang membutuhkan apoteker. Untuk
kota-kota besar yang sudah memiliki banyak apotek, perlu sebuah sinkronisasi
mengenai perlu tidaknya. Di samping itu, harus ada punishment untuk
apoteker yang tidak berada di apotek pada jam kerjanya serta pemberdayaan
masyarakat sebagai agent of control kinerja apoteker.
PERNYATAAN
SIKAP #1
BEM FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TERKAIT 3
SIPA
I.
Latar Belakang
Kami masih meyakini,
bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan seharusnya lahir dan berangkat dari
keresehan, kegelisahan, dan keluhan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada dengan cara yang sebaik-baiknya. Mengutip pernyataan dari Thomas Jefferson,
filsuf sekaligus presiden ketiga Amerika Serikat, “Sebuah pemerintahan yang
bijaksana dan cermat, yang akan mencegah orang-orang melukai satu sama lain,
akan membebaskan mereka untuk menjalankan tujuan dari industri dan kebangkitan
mereka sendiri, dan tentunya tidak akan menyia-nyiakan tenaga orang lain yang
membantunya.”
Apoteker, sebagai
salah satu tenaga kesehatan dan garda terdepan dalam kebijakan perobatan di
Indonesia tentu memiliki hak dan kewajiban dalam membantu masyarakat untuk
berada pada garis kesehatan yang menentramkan. Namun, objek dari pekerjaan
kefarmasian tidak hanya sebatas pasien dan masyarakat, jauh lebih besar di atas
itu ada; tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai keterkaitan satu sama lainnya,
pemerintah sebagai pengayom, organisasi profesi, dan tentunya adalah apoteker
itu sendiri. Baru-baru ini, melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes/PMK)
menelurkan salah satu kebijakan berupa 3 SIPA (Surat Izin Praktik Apoteker)
yang secara lengkap akan kami paparkan pada bagian analisis. Kami melihat
bahwasanya kelahiran kebijakan ini terdapat urgensi untuk ditetapkan apa-apa
saja yang sekiranya menjadi perhatian kami selaku sudut pandang
mahasiswa-mahasiswi yang beberapa tahun lagi akan menjalankan profesi
kefarmasian ini nantinya di lapangan. Maka, berangkat dari keresahan
teman-teman sejawat dan juga minimnya pengetahuan mengenai kebijakan 3 SIPA,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
mengadakan kajian isu strategis pada Jumat, 24 Maret 2017 yang menghasilkan
beberapa poin rekomendasi untuk kemudian bisa dijadikan sarana evaluasi dan
bahan pertimbangan IAI sebagai organ kontrol profesi dan pemerintah sendiri
sebagai regulatory affair.
II.
Dasar Hukum Kebijakan
a.
Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No. 31 Tahun 2016 tentang Perubahan Registrasi, Izin Praktik, dan
Izin Kerja Tenaga Kefarmasian pasal 18.
b.
Surat Edaran H.K.
02/02/MENKES/24/2017 tentang Petunjuk Pelaksana Pemberian Surat Izin Prakti
bagi Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
III.
Analisis
Pada Permenkes No. 31
Tahun 2016 ada beberapa pasal yang berubah baik secara nomenklatur atau
keseluruhan. Digarisbawahi perubahan-perubahan tersebut adalah pasal 17, 18,
dan 19. Di mana penyesuain pasal tersebut, disadur langsung dari peraturan
terkait adalah sebagai berikut:
Pasal 17
(1)
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasin
wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.
(2)
Surat izin sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
SIPA bagi Apoteker, atau
b.
SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.
Pasal 18
(1)
SIPA bagi Apoteker di fasilitas
kefarmasian hanya diberikan untuk 1
(satu) fasilitas kefarmasian.
(2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) SIPA bagi
apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian
dapat diberikan untuk paling banyak 3
(tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
(3)
Dalam hal Apoteker telah memiliki Surat Izin Apotek, maka apoteker yang
bersangkutan hanya memiliki 2 (dua) SIPA pada fasilitas pelayanan kefarmasian
lain.
(4)
SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
kefarmasian.
Pasal 19
SIPA atau SIPTTK sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kefarmasian menjalankan praktiknya.
Berdasarkan
ketiga pasal di atas, pasal yang paling penting menjadi landasan bergerak 3
SIPA adalah pasal 18, secara ringkas dan gamblang apa yang dimaksud pasal
tersebut adalah;
1.
Apoteker yang bekerja di unit
kefarmasian (contohnya industi farmasi) hanya memiliki 1 SIPA.
2.
Apoteker yang bekerja di unit
pelayanan kefarmasian (contohnya puskemas, apotek, klinik maupun rumah sakit)
memiliki 3 SIPA.
3.
SIPA yang ada diatas mempunyai
keterkaitan dengan Surat Izin Apotek (SIA). Apabila seorang apoteker yang
bekerja di unit pelayanan kefarmasian menggunakan SIA-nya untuk mendirikan
apotek, maka SIPA yang tersisa tinggal dua.
Selanjutnya, yang menjadi persoalan-persoalan kebijakan
ini di ranah grassroot atau yang tidak
tersentuh oleh pemerintah maupun organisasi profesi, atau bincang-bincang kaki
lima para kalangan apoteker maupun calon apoteker dan tentunya menjadi pokok
persoalan pada kajian yang telah dilakukan adalah;
1.
Anggapan bahwa kebijakan ini
timpang sebelah karena bersifat diskridit dan diskriminasi terhadap
apoteker-apoteker yang bekerja pada unit kefarmasian, contohnya industri.
2.
Apakah ada sanksi-sanksi yang
mengatur apabila seorang apoteker menyalahi aturan 3 SIPA yang contoh paling
umumnya adalah tekan kontrak kabur
alias tekab yang terjadi. Padahal
secara quo apoteker tersebut telah
terikat hukum dengan peraturan 3 SIPA?
3.
Apakah telah ada
peraturan-peraturan lebih detail mengenai jam kerja setiap 1 SIPA, berapa jam
dalam sebulan apoteker tersebut harus bekerja apabila menggunakan 1 SIPA dan
tempat-tempat yang seharusnya 3 SIPA ini diterapkan atau tidak diterapkan?
4.
Bagaimana sesungguhnya pengawasan,
controlling dan tindakan stakeholder terkait dalam penerapan
kebijakan 3 SIPA?
5.
Bagaimana sesungguhnya komitmen
dari IAI sendiri sebagai jantung organisasi profesi secara masif dan menyeluruh
menginformasikan setiap kebijakan pada daerah-daerahnya? Padahal IAI sendiri
mempunyai sub-sub seperti pengurus daerah ataupun pengurus cabangnya, namun
mengapa pencerdasan-pencerdasan sangat minimal sekali?
Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta,
penjaringan terhadap aspirasi-aspirasi dilakukan guna mencari titik terang dari
kebijakan 3 SIPA ini, informasi dan analisis yang perlu kami sampaikan dalam
kajian ini adalah;
1.
Bahwasanya mengapa unit pelayanan
kefarmasian diberikan 3 SIPA memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas
apoteker di ranah pelayanan yang memang secara riil terjadi kontak langsung
dengan pasien.
2.
Bahwasanya mengapa 3 SIPA ini
diberlakukan, mengutip dari pernyataan Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI) beberapa waktu lalu ketika tengah ada seminar di Solo
mengenai Permenkes ini, “3 SIPA sebenarnya dimaksudkan baik untuk para apoteker
yang bekerja pada wilayah-wilayah minim apoteker. Misalnya saja di satu daerah
terdapat beberapa apotek yang apotekernya hanya sedikit sekali, kami mencoba
mengakomodir apoteker-apoteker tersebut agar diakui dan legal secara hukumnya.”
3.
Belum adanya aturan-aturan terkait
yang bersifat detail dan benar-benar menyentuh ranah teknis kebijakan di
lapangan.
4.
Belum adanya sanksi-sanksi untuk
penyalahgunaan/pelanggaran 3 SIPA ini, kontrol yang ada hanya sebatas himbauan
apabila menemukan apotek yang tidak ada apotekernya maka bisa diadukan,
nantinya tindak lanjutnya bisa bermacam-macam, bisa hanya sebatas teguran lisan
bahkan sampai penutupan apotek. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengambilan
keputusan ini tidak bersifat one-size-fit-all
atau berlaku di semua daerah.
5.
Terjadi perdebatan panjang antara
pro dan kontra disebabkan karena regulasi yang belum jelas.
6.
Terdapat multifaktor dari berbagai
dimensi mengapa terjadi perselisihan pendapat; ketidakadilan, salary/gaji, komitmen apoteker di
apotek/unit pelayanan, pengetahuan apoteker sendiri terhadap kebijakan, branding apoteker di masyarakat, maupun
kontrol sosialnya.
IV.
Sikap dan Rekomendasi
Maka dari latar
belakang, dasar hukum kebijakan, dan analisis dari kajian isu strategis yang
dilakukan dengan melibatkan mahasiswa umum. Kami, Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta menyatakan sikap:
MENDUKUNG SECARA BERSYARAT kebijakan
3 SIPA.
Adapun syarat-syarat
yang kami ajukan adalah sebagaimana yang disampaikan pada poin-poin dibawah;
1.
Mendesak pemerintah dan organisasi
profesi IAI untuk lebih detail membahas petunjuk pelaksanaan dan teknis
mengenai tata laksana 3 SIPA secara riil berdasarkan kenyataan di lapangan.
2.
Menggerakkan Pengurus Daerah
ataupun Pengurus Cabang untuk lebih proaktif mensosialisasikan terhadap
kebijakan 3 SIPA ataupun kebijakan-kebijakan selanjutnya untuk tidak hanya
disampaikan kepada apoteker-apoteker lapangan, tapi juga turut serta
mencerdaskan para calon apoteker tingkat pendidikan tinggi.
3.
Menuntut untuk IAI lebih dapat
hadir sebagai organisasi yang menjadi jembatan antara seluruh elemen
kefarmasian dengan cara menampung berbagai aspirasi dari berbagai sudut
pandang.
Sementara, poin REKOMENDASI SOLUSI yang kami tawarkan
adalah;
1.
Memperjelas teknis 3 SIPA terutama
terkait regional dan jam kerja. Terkait regional, apakah
3 SIPA diberlakukan untuk seluruh Indonesia, atau wilayah-wilayah yang memang
dalam hal ini kekurangan apoteker sehingga apoteker-apoteker yang ada memiliki
legalitas hukum dalam bekerja. Sementara pada daerah-daerah yang ‘membludak’
secara kuantitas jumlah apoteker dilakukan tindakan tegas untuk oknum-oknum
yang menyalahgunakan kebijakan untuk kepentingan individu. Terkait jam kerja,
teknisnya harap diatur berapa jam dalam sehari apoteker harus bekerja yang
ekivalen dengan pemberian konseling secara konsisten dan penerimaan gaji
apoteker yang mejadi salah satu dimensi utama dalam pro-kontra 3 SIPA.
2.
Melibatkan organisasi-organisasi
kesehatan tingkat pendidikan tinggi dan menjalin kerjasama serta komunikasi
intens agar dapat menjadi perpanjangan tangan dari setiap informasi dan
kebijakan yang ada.
Salam hormat,
Koodinator Biro
Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa
Aulia Noor Husna
K100150139
Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Farmasi UMS
Ghiyats
Ramadhan
K100140151
1 Response:
King Of Casino - Aloha, CT (813) 585-4390
King of 1xbet app Casino, Aloha, CT (813) 585-4390. The Resort Casino & 토토 사이트 도메인 Hotel in Aloha 유로 스타 도메인 is a luxury hotel and casino located jordan 10 retro clearance on the beach in หารายได้เสริม
Post a Comment